Cristiano Ronaldo, nyatanya, tak lagi seperti dulu
“Dulu saya melakukan hal yang benar. Saya bermain di kompetisi bola basket kelas satu. Dan setelah kau terbiasa jadi yang pertama dalam suatu hal, apa pun itu, menjadi yang kedua itu sungguh menohok,” ucap Harry “Rabbit” Angstrom kepada Jack Eccles dalam novel Rabbit, Run (1960).
Kalimat tersebut adalah jawaban untuk pertanyaan Jack mengenai alasan Harry menelantarkan Janice, istrinya. Janice adalah perempuan menjana yang, seandainya tak berasal dari keluarga kaya, mungkin takkan Harry nikahi.
Pria jangkung, tampan dan berambut emas itu adalah mantan jagoan basket SMA tingkat lokal. Alih-alih melanjutkan karier ke jenjang profesional, pada umur 26 Harry terjebak di kehidupan normal yang mengenaskan. Ia jatuh ke lembah mediokritas kelas menengah Amerika Serikat 1950-an.
Dalam kisah yang kerap disebut sebagai fiksi terbaik mengenai Amerika Serikat pascaperang ini, pembaca disuguhkan kebejatan moral Harry dan pandangan sinisnya terhadap konvensi umum. Mundurnya ia dari kancah bola basket kerap dihadirkan John Updike, sang penulis novel, sebagai kontras untuk kehidupan sepele yang Harry jalani.
Berbeda dengan Harry si tokoh fiksi, di usia 26 tahun Cristiano Ronaldo mengakhiri musim 2010-11 sebagai pencetak gol terbanyak Real Madrid dengan raihan 53 gol di segala ajang. Walau hanya mampu membantu Madrid meraih Copa Del Rey, dunia akan segera terbelalak dengan rekor demi rekor yang ia ukir bersama Los Blancos.
Wayne Rooney, yang akhir-akhir ini rajin mengkritik Ronaldo, sama-sama berumur 37 tahun. Di musim comeback-nya bersama Everton (2017-18), Wazza cuma mampu menggelontorkan 11 gol. Di masa yang sama, Ronaldo sanggup membawa klub meraih Liga Champions, Super Copa, Piala Dunia Antarklub, dan Piala Super UEFA. Di musim terakhirnya bersama Madrid itu ia juga digdaya sebagai pemain tersubur dengan 44 gol.
Nama Ronaldo senantiasa kita bubuhi dengan berbagai predikat superlatif yang menggambarkan superioritasnya sebagai pesepakbola. “El Bicho” juga moncer bersama tim nasional Portugal, yang ia pimpin saat meraih mahkota Euro 2016, satu-satunya gelar prestisius tim senior negeri semenanjung Iberia tersebut.
Di pertandingan final Euro 2016 kontra Perancis, penggemar sepakbola akan mengingat bagaimana Ronaldo, yang tak bisa melanjutkan pertandingan akibat tekel Dimitri Payet, mencuri spotlight dengan segala tingkahnya di pinggir lapangan. Ia menampilkan dua tangis kontras malam itu: saat dirinya harus ditarik dari lapangan; dan saat ia mengangkat piala kemenangan.
Belakangan ia meradang. Satu minggu jelang Piala Dunia 2022, pria asal pulau kecil di Portugal itu mengungkapkan banyak pandangan kontroversial tentang Manchester United, Erik Ten Hag, juga bekas rekan setimnya, Gary Neville dan Wayne Rooney.
Mengubah cara bermain saja tak cukup
Di mata saya, pertandingan kontra Perancis itu mencerminkan karier sekaligus sikap Ronaldo. Bagaimana seorang manusia super penggenggam ratusan rekor berusaha membuat publik untuk terus merayakan dirinya. Rekan setim, pemain lawan, bahkan pelatih Fernando Santos dan pencetak gol tunggal Eder adalah kameo belaka.
Jika Madrid saja tak sanggup menampung terpaan sinarnya, apa lagi cuma United, yang kepayahan mengais kejayaan pasca ditinggal Alex Ferguson.
Ini adalah pemain yang awal tahun ini menargetkan untuk terus bermain sampai ia berusia 40 tahun. Dalam pernyataan yang dikutip ESPN, Ronaldo juga merasa bahwa secara genetik, ia merasa fisiknya masih sesegar saat ia berusia 30.
Saat musim 2021-22 selesai, raihan 18 gol Ronaldo di Liga Primer Inggris menempatkannya di urutan kedua daftar pencetak gol terbanyak (di bawah Mohamed Salah dan Son Heung-min yang sama-sama mencetak 23 gol). Ditambah 3 asis yang ia catat, ini tentu bukan catatan buruk bagi seseorang yang berkali-kali didakwa tamat.
Ternyata hanya butuh tujuh bulan dan satu manajer baru untuk menjungkalkan targetnya tersebut. Ronaldo dianggap sebagai penghambat. Ia mungkin masih sanggup menyetor gol. Tapi ia tak memberi kontribusi lain sehingga cenderung menghancurkan skema tim.
Gaya bermain tim-tim besar Liga Inggris menuntut semua pemain untuk melakukan pressing, yang harus dilakukan tak lama setelah tim kehilangan bola. Ini membutuhkan intensitas dan konsentrasi tinggi, sesuatu yang Ronaldo tak bisa berikan bahkan sejak ia berlabuh ke Juventus.
Sejatinya Ronaldo telah lama beradaptasi. Gol-gol yang diawali dengan mengibrit sendirian—dengan atau tanpa bola—sudah lama ia tinggalkan. Ronaldo makin kerap mencetak gol melalui bola mati (tendangan bebas atau penalti), mengonversi sepak pojok dan tendangan bebas dengan sundulan, atau lewat sontekan ala penyerang no. 9 klasik.
Sayang itu saja tak cukup. Permainan United yang diidealkan Ten Hag dan Ralf Rangnick—mahaguru gegenpressing—menuntutnya untuk memacu fisik dan berlari lebih sering. Ronaldo paham sudah waktunya mengepak koper lalu angkat kaki dari klub yang melejitkan namanya itu.
Sebelum musim 2022-23 bergulir, angin segar sempat berembus dari selatan. Todd Boehly, pemilik baru Chelsea, berhasrat mendatangkannya ke London. Sayang, di mata Thomas Tuchel, yang merupakan murid Rangnick, kehadiran Ronaldo takkan membawa faedah apa-apa selain keuntungan finansial. Ditambah beberapa hasil buruk, keengganannya merekrut Ronaldo lantas menjadi alasan pemecatan Tuchel yang mengejutkan.
Perlakuan Ten Hag kepada Ronaldo sebenarnya tak sekejam yang ia keluhkan. Pelatih gundul itu mencoba mengintegrasikan Ronaldo ke permainan tim. Ia menjadi starter sekaligus kapten United di beberapa pertandingan. Bandingkan dengan bagaimana Ten Hag memperlakukan Harry Maguire, kapten tim sekaligus bek termahal sejagat.
Senjakala pertama menuju pensiun
Karier dan kehidupan Ronaldo adalah puncak dari segala kisah gembel-naik-kelas dunia olahraga. Sebuah wiracarita tentang seseorang yang berasal dari keluarga yang, saking miskinnya, hampir saja diaborsi sang ibu.
Forbes mencatatnya sebagai pesepakbola pertama yang mampu meraih $1 miliar. Ronaldo menjadi atlet ketiga yang mampu meraih harta sebanyak itu saat masih aktif berkarier (setelah pegolf Tiger Woods dan petinju Floyd Mayweather).
Terkait hiruk-pikuk Ronaldo ini, eks penyerang Arsenal Ian Wright menganggap Ronaldo sebagai atlet yang sedang mengalami dilema menghadapi masa pensiun. Di gelar wicara bertajuk The Kelly and Wrighty Show, Wright bahkan menyarankan Ronaldo untuk meminta pertolongan profesional demi kesehatan mentalnya.
Setiap atlet mati dua kali. Pertama saat mereka pensiun; kedua saat mereka menutup mata sebenar-benarnya karena ajal. Ronaldo, di mata Wright, tengah berada di senjakala sebelum menghadapi “kematian” pertamanya.
Jika dibandingkan dengan profesi nonkonvensional lain, masa produktif atlet kelewat singkat. Dalam tulisannya untuk Four Four Two, Andrew Murray mengutip laporan PFA yang mengatakan bahwa rata-rata durasi karier pesepakbola adalah delapan tahun. Masa keemasan pemain bola biasanya terjadi di pertengahan dan akhir usia 20-an.
Di awal 30 tahun para pekerja kantoran umumnya sedang menapaki karier cemerlang. Mereka yang berkarier lancar, yang sekian tahun mengabdi di satu perusahaan, memiliki kans untuk menjadi supervisor. Di pertengahan 40-an mereka akan menduduki posisi manajer senior.
Sekarang kita bandingkan atlet dengan mereka yang berkarier di bidang musik dan sastra. Mengacu Billboard, selama 30 tahun (1985-2014), rerata usia peraih gelar album tahun ini di ajang Grammy Awards adalah 39.9 tahun. Data ini tidak bisa mencerminkan keadaan secara utuh, memang. Tapi setidaknya mengindikasikan bahwa usia musisi global untuk mencapai puncak kesuksesan (dari segi estetika dan penilaian kolega) jauh melebihi usia pensiun pesepakbola.
Di arena sastra, usia rata-rata peraih nobel sastra menurut perhitungan The Hindu pada 2019 adalah 64.6 tahun. Dalam sebuah penelitian amatir yang dilakukan penulis fiksi ilmiah Jim C. Hines (2010), usia rata-rata penulis saat menerbitkan karya perdananya adalah 36 tahun. Terdapat lebih dari 20 tahun bagi penulis untuk mencapai “usia emas” peraih nobel sastra.
Yang lebih penting dari itu semua, musisi dan penulis dapat terus memanen hasil karya dalam bentuk royalti, yang dapat diwariskan ke anak-cucu. Maka wajar jika kecemasan di masa pensiun menghantui banyak atlet.
Dalam tulisannya di The Conversation, Paul Gorczynski dari University of Portsmouth menjabarkan dua hipotesis tentang mengapa mantan atlet cenderung rentan menderita kesehatan mental. Pertama adalah hilangnya identitas diri sebagai atlet; kedua, perubahan tingkat aktivitas fisik.
Atlet berada di alam yang berbeda dengan manusia kebanyakan. Demi mencapai level profesional, setiap atlet menempa diri sejak belia. Mereka menyiksa tubuh dengan latihan fisik, diet ketat, dan gaya hidup disiplin. Burger keju dan nongkrong sampai pagi telah tersingkir dari kosakata kehidupan mereka. Ronaldo pun terkenal dan bangga dengan pola dietnya yang luar biasa ketat.
Bukan perkara uang
Hidup Ronaldo mungkin takkan berakhir tragis. Ia adalah gembel yang telah melompati tangga kelas dan memugar tempat tersendiri di langit kemewahan.
Ia sukses menjadi pengusaha jaringan hotel yang terserak mulai dari Marrekesh hingga New York. Akunnya adalah akun yang paling banyak diikuti di Instagram. Menurut taksiran perusahaan konsultan media sosial Hopper, satu unggahan bersponsor di akun tersebut bernilai $2.4 juta. Itu semua hanya seujung kuku dari himpunan kekayaan serta perjanjian bisnisnya dengan beragam produk dan perusahaan.
Di balik tuduhan memoles citra, mungkin ada kritik tulus dan jernih di antara hal-hal yang ia katakan di wawancara bersama Piers Morgan. Pendapatnya tentang keluarga Glazer dan bobroknya keadaan klub toh diamini jutaan pendukung Setan Merah—secara diam-diam maupun blak-blakan.
Mungkin, menilik kekayaan yang ia miliki, ini semua memang bukan tentang uang. Berkat citra dan imaji brand personalnya, Ronaldo sanggup meraih pundi-pundi yang menyokong kekayaannya lebih dan lebih lagi.
Identitas Ronaldo tidak lagi dapat didefinisikan oleh kategori-kategori kecil macam klub, bonus fee, maupun selebrasi ‘siuu’ yang menggelikan itu. Identitas Ronaldo, bersama sang seteru abadi Lionel Messi, adalah sepakbola itu sendiri. Identitas yang, tak seperti Harry “Rabbit” Angstrom, menghindarkan mereka teramat jauh dari kategori manusia sepele.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lionel Messi dan Argentina: Hubungan yang Dipaksakan