Apa yang pertama kali muncul di pikiran kalian begitu mendengar kata “Marvel”? Saya yakin mayoritas orang akan menjawab mengenai nama-nama superhero favorit mereka ataupun film-filmnya yang dalam satu dekade ini dapat dikatakan menjadi ikon tersendiri di dunia perfilman Hollywood. Bila berbicara perihal karya layar lebar yang diproduksi oleh Marvel Studios, sejatinya kurang lengkap jika tak membahas pula mengenai satu ciri khas yang hampir selalu muncul di setiap mereka: credit scene.
Bagi Anda yang tidak tahu, credit scene adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut adegan yang muncul setelah filmnya usai dan kredit filmnya mulai bergulir. Adegan itu dapat muncul di pertengahan ataupun ujung sekali ketika filmnya benar-benar telah menyentuh kata “tamat”. Sebutan yang digunakan pun cukup bermacam-macam, antara lain seperti mid credit scene, post-credit scene, after-credit scene, dan sebagainya.
Perbedaan penyebutan tersebut didasarkan pada penempatan adegan bersangkutan, tentunya dengan tujuan masing-masing sesuai keinginan dari pihak studio. Namun, tulisan ini tidak akan saya peruntukkan untuk membahas panjang-lebar mengenai istilah-istilah teknis seperti itu. Melalui artikel ini, saya akan membahas perihal credit scene yang biasa muncul di film-film Marvel dan mengapa hal tersebut bisa menjadi salah satu senjata ampuh mereka untuk mendaki tangga kesuksesan.
Menurut saya, salah satu tujuan utama Marvel dalam memberikan adegan setelah kredit dalam kebanyakan filmnya adalah sebagai pembeda dari karya bergenre serupa yang diproduksi oleh studio lain. Berdasarkan apa yang saya ketahui, credit scene pertama yang muncul di Marvel Cinematic Universe itu terjadi pada film Iron Man (2008) yang dibintangi oleh Robert Downey Jr. Saat itu, Tony Stark dikisahkan bertemu dengan Nick Fury, seorang direktur SHIELD yang hendak mengajaknya untuk membentuk sebuah tim yang kala itu dinamai “Avengers Initiative”. Dan benar saja, kisah mengenai kelompok Avengers akhirnya betul-betul dibuatkan menjadi film yang dirilis pada 2012.
Lantas, di manakah perbedaannya dengan film pahlawan super non-Marvel? Bila kita telusuri lebih mendalam mengenai film superhero apa saja yang dirilis pada tahun yang sama dengan Iron Man, kita akan mengetahui bahwa The Dark Knight karya Christopher Nolan juga dirilis pada tahun tersebut. Apakah film yang biasa disingkat menjadi The Dark Knight itu memiliki credit scene? Tidak ada, bukan? Nah, di sinilah fungsi pertama dari credit scene-nya Marvel, yakni sebagai pembeda dan pembentuk ciri khas tersendiri dari Marvel agar produksi-produksinya memiliki keunikan tersendiri.
Mengenai “pembeda”, saya seketika jadi teringat akan sebuah quotes dari komika Indonesia, Pandji Pragiwaksono. Beliau pernah mengatakan bahwa “Sedikit berbeda itu lebih baik daripada sedikit lebih baik”. Bagi saya, ungkapan tersebut benar-benar telah dipraktikkan secara sempurna oleh manajemen Marvel Studios. Jika berbicara mengenai kualitas, saya rasa kebanyakan orang akan setuju bahwa The Dark Knight merupakan film yang lebih berkualitas daripada Iron Man di hampir semua aspek. Akan tetapi, karena film yang disutradarai oleh Jon Favreau itu memiliki perbedaan tersendiri, maka ia akan tetap “nempel” di hati dan pikiran pencinta film superhero. Meski tentunya, credit scene memang tidak menjadi satu-satunya faktor akan keberhasilan tersebut.
Selanjutnya, fungsi terpenting dari credit scene ala Marvel Studios menurut saya adalah sebagai bentuk promosi yang elegan tetapi “ngena”. Memang, bentuk promosi yang bagaimana, sih? Jadi, bagi yang sudah sering menyaksikan petualangan para member Avengers, maka kalian pasti sudah tahu bahwa adegan yang muncul setelah kredit biasanya merupakan sebuah adegan penting yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Adegan tersebut biasanya berisikan teaser atau sentilan-sentilan kecil mengenai apa yang kira-kira akan muncul di sekuel film itu sendiri ataupun proyek MCU berikutnya.
Sebagai contoh, pada film Ant-Man yang dirilis pada 2015, credit scene yang muncul adalah potongan dari film Captain America: Civil War, sebuah film yang dirilis satu tahun setelahnya. Dalam adegan tersebut, diperlihatkan bahwa Captain America dan The Falcon bertemu dengan sahabat lama Steve Rogers yang sempat dicuci otak dan bertindak menjadi musuh bernama Bucky Barnes atau nama jahatnya, The Winter Soldier.
Adegan tersebut dieksekusi dengan sangat keren dan sesuai dengan gaya film-film Captain America yang lebih berbau politik dan konspirasi. Dan menurut saya, yang lebih keren dari itu adalah kejeniusan otak dari orang-orang di belakang layar yang memutuskan untuk meletakkan adegan tersebut di bagian setelah kredit pada film yang ditayangkan sebelumnya. Dengan begitu, orang akan menjadi tertarik atau setidaknya familier akan proyek MCU selanjutnya karena telah melihat salah satu potongan adegannya yang sebenarnya masih tergolong “aman dari spoiler” dan tidak membocorkan plot cerita secara terlalu besar itu.
Bila mereka akhirnya tertarik untuk menonton film selanjutnya, hal itu tentu sangat bagus bagi pemasukan pihak studio. Namun, jika mereka tidak tertarik, hal ini pun masih dapat dianggap sebagai suatu keuntungan, karena dengan cara tersebut Marvel telah menyebarkan branding terhadap produk-produk mereka dengan cara yang halus dan tidak terkesan “ngiklan banget”. Lagipula, bukankah iklan yang baik adalah iklan yang tidak terasa seperti sebuah iklan?
Itulah dua faktor yang membuat credit scene menjadi salah satu senjata ampuh Marvel Studios dalam meraih kesuksesan. Meski tidak diakui secara terang-terangan, nyatanya DC Comics, saingan abadi mereka, pun akhirnya beberapa kali mencoba meniru gaya khas Marvel tersebut. Dalam film Suicide Squad (2016) dan Justice League (2017), pihak manajemen DC dan studio Warner Bros memutuskan untuk memasukkan sebuah credit scene sebagai “jembatan” bagi karya-karya layar lebar mereka di masa mendatang.
Namun nahasnya, mereka gagal untuk mendapatkan kesuksesan yang sama dengan Marvel. Meski sejatinya, kesalahan tersebut lebih tepat dilayangkan kepada pihak studio yang dikabarkan terlalu banyak ikut campur dalam visi kreatif para sutradara. Akan tetapi, pada intinya kegiatan tiru-meniru itu memang bukan suatu hal yang baik. Cobalah menciptakan inovasi tersendiri yang unik dan berbeda dari yang lain, seperti apa yang telah manajemen Marvel lakukan dengan credit scene-nya yang sangat ikonik itu.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Audian Laili
BACA JUGA Melihat MCU 10 Tahun yang Akan Datang Setelah Nonton Doctor Strange 2