Dosen pembimbing, mulai sekarang siapkan mental dan pikiran Anda untuk menghadapi tantangan baru. Kini tugas Anda tidak hanya mengoreksi kesalahan skripsi, tetapi juga harus menerka apakah yang Anda bimbing beneran mahasiswa, atau malah ChatGPT. Kenapa bisa begitu?
Baru saja kemarin, saya mengobrol panjang terkait dunia skripsi dengan beberapa kawan eks mahasiswa S1. Mereka lulus tepat waktu, dan sebagian mengaku kalau skripsinya full menggunakan ChatGPT. Bahkan, satu di antara mereka saat wisuda berhasil mendapat penghargaan dari kaprodinya—sekali lagi—KAPRODINYA, sebagai “penulis skripsi terbaik”.
Kalau Anda nggak percaya, ya sama, saya pun awalnya skeptis. Bagaimana mungkin seorang dosen, kaprodi pula, nggak curiga dengan kalimat-kalimat hasil ChatGPT. Tapi, teman saya ini memang kelewat kurang ajar dan licik. Saya dikasih tahu mengapa dari mulai dosen pembimbing, sistem Turnitin AI, hingga AI Detector tidak mencurigai skripsinya.
Daftar Isi
Dosen pembimbing hanya fokus pada substansi skrsipsi
Jadi begini. Saat awal bimbingan, teman saya ini sebenarnya cuma iseng mengerjakan proposal skripsi dengan ChatGPT. Niatnya pun hanya satu: biar segera sempro dan ngebut menyelesaikan skripsi. Mereka bahkan sudah siap malu jika seandainya ditegur karena proposalnya ketahuan full pakai tulisan buatan AI.
Tapi, entah karena apa, mereka lolos dari bayang-bayang teguran itu. Proposal skripsinya hanya dapat revisi terkait substansi, seperti pemilihan teori, relevansi data di bab 1, dan penelitian terdahulu. Benar-benar nggak ada revisi mengenai tata bahasa akibat penggunaan AI. Itulah mengapa, teman saya akhirnya pede melanjutkan penggunaan ChatGPT sampai selesai skripsi.
Saya nggak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau musibah akademik. Tapi yang jelas, kalau saya boleh kasih saran, sebaiknya dosen pembimbing sekarang tidak hanya mengoreksi substansi skripsi, tetapi juga penulisan yang sekiranya dihasilkan melalui mekanisme ChatGPT. Sebab, Turnitin AI dan AI Detector nggak bisa membantu jika mahasiswa pakai cara licik.
Mencari, menduplikasi, dan prompt “parafrasa” ChatGPT
Selama mengerjakan skripsi pakai ChatGPT, teman saya menyusun 3 tahap untuk membuat bab 1 sampai bab 5 bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pertama, dari awal pengajuan judul, mereka sudah mencari beberapa skripsi dan artikel jurnal yang semua isinya dapat diduplikasi. Kedua, literatur ini dipilih berdasar judul, kasus, teori, dan metode penelitian yang hampir persis sama skripsi mereka. Gap penelitian yang mereka pilih pun cuma satu di antara dua hal: lokasi atau fokus penelitian.
Secara etika, cara itu tentu tidak bermasalah walau isi skripsinya jelas kurang berkualitas. Tapi, ketika beralih ke tahap kedua, terjadilah permasalahan akademis. Mereka menduplikasi alias copy-paste isi setiap bab skripsi atau bagian dalam artikel jurnal yang sebelumnya dipilih. Dan itu, sama sekali tidak terdeteksi sebagai tindakan plagiat setelah diproses pada tahap ketiga, alias melalui mekanisme ChatGPT.
Tujuan teman saya menggunakan ChatGPT ini ada dua: memparafrasa hasil copy-paste, dan mengembangkannya agar sesuai gap penelitian yang dipilih. Nah, kedua tujuan itu tidak terdeteksi plagiat kalau prompt yang dibuat memakai kata “parafrasa”. Jadi, mau copy-paste atau mengembangkannya, si AI harus disuruh mengedit hasilnya dengan prompt “parafrasa”.
Saya awalnya ragu, sempat juga meminta file skripsi mereka untuk saya cek sendiri. Dan hasilnya memang beneran aman; cuma sedikit kalimat yang terdeteksi plagiat. Tetapi Bapak/Ibu dosen pembimbing tak perlu khawatir. Saya sudah mempelajari skripsi mereka, dan menemukan ciri-ciri penulisan yang “besar kemungkinan” menggunakan ChatGPT.
#1 Secara teknis penulisan skripsi terlalu sempurna
Skripsi yang menggunakan ChatGPT, hampir dipastikan aspek teknis penulisannya terlihat amat sempurna. Mulai dari tata bahasa, SPOK, ejaan, tanda baca, semuanya tersusun sangat rapi. Bahkan kalau dibaca berulang kali terlalu sempurna untuk tulisan hasil buatan manusia.
Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh James Thorley, Wakil Presiden Regional Turnitin Asia Pasifik. Mengutip Detik, James menjelaskan bahwa perbedaan antara tulisan ChatGPT dan manusia terletak pada “prediktabilitasnya”. Kata-kata atau kalimat buatan ChatGPT cenderung mudah ditebak ketimbang buatan manusia. Sebab AI secara prinsip, memang selalu memilih kata yang paling mungkin untuk konteks kalimat yang dibuat.
#2 Berusaha wajar dalam menjelaskan suatu masalah
Ketika disuruh menjelaskan suatu masalah atau gap fenomena dalam skripsi, ChatGPT selalu berusaha merangkai kata-kata dan menyusun kalimat-kalimatnya secara wajar. Yang saya maksud “wajar” di sini bukan menormalisasi atau menutupi dampak masalah yang dimaksud. Tetapi lebih ke penggunaan frasa yang membuat logika dari kalimat jadi tidak terasa tajam dan mendalam.
Kalau saya boleh mengeklaim, ChatGPT ini seperti manusia yang tidak mau dicap sebagai provokator. Ia selalu berusaha netral kendati konsep-konsep yang dijelaskan sangat sensitif. Bahkan juga tak jarang ia menutup penjelasannya terkait suatu masalah dengan kalimat-kalimat saran.
#3 Terdapat pengulangan ide pokok paragraf
Ketika ChatGPT disuruh untuk mengembangkan suatu gagasan, ia sering kali melebih-lebihkan kalimat bahkan juga paragraf. Ide pokok yang seharusnya sudah cukup dijelaskan dalam satu paragraf tertentu, tapi dijelaskan kembali di paragraf berikutnya dengan pemilihan kata yang berbeda.
Untuk mengenali ciri yang ketiga ini sebetulnya susah-susah gampang. Susah, karena perlu ketelitian untuk membaca setiap kata, kalimat, dan paragraf yang penyusunannya terlampau sempurna. Gampang, karena biasanya terletak pada bab 4 atau pembahasan. Kenapa di bab 4? Karena mahasiswa biasanya, biasanya lho ya, kesulitan untuk mengembangkan hasil analisisnya.
#4 Penggunaan diksi-diksi yang canggih dalam skripsi
Ciri yang terakhir adalah penggunaan diksi-diksi yang canggih. Mengutip Universitas Sains & Teknologi Komputer, ChatGPT ini berisi miliaran kalimat dari berbagai sumber. Itulah kenapa ia bisa mengeluarkan bahasa yang paling mungkin untuk konteks tertentu, termasuk skripsi. Maka tidak heran, jika diksi-diksi yang dikeluarkan untuk kebutuhan skripsi pun terlihat sangat ilmiah.
Saran saya, Bapak/Ibu dosen pembimbing perlu skeptis kalau ada skripsi yang punya ciri ini. Suruh saja mahasiswa untuk mengelaborasi paragraf-paragraf yang terindikasi memakai diksi-diksi canggih. Dan ini semakin mudah jika mahasiswa tersebut selama diskusi kelas tak pernah menunjukkan jiwa-jiwa akademisi.
Terakhir, untuk teman-teman mahasiswa di luar sana, kalian boleh menggunakan ChatGPT untuk membantu pengerjaan skripsi. Silakan pakai si AI itu sebatas teman diskusi untuk menemukan inspirasi. Cuman pesan saya satu: tolong tahu diri. Sebab yang akan jadi sarjana itu kalian, bukan ChatGPT. Oke?
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.