Jogja memang memabukkan. Tapi kalau tingkat mabuknya terlalu parah, jatuhnya ya aneh
Konon katanya, hal paling tersulit di dunia adalah menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Saya rasa anggapan tersebut cukup tepat. Contohnya sudah banyak sekali. Nggak usah jauh-jauh ke kisah cinta orang lain. Kisah cinta diri saya sendiri juga begitu.
Tapi saya mempunyai contoh kasus dimabuk cinta yang unik. Beberapa teman saya ini bukan jatuh cinta kepada manusia, apalagi jatuh cinta ke harta benda yang nggak dibawa mati. Mereka jatuh cinta kepada Jogja, daerah yang kerap dianggap romantis, yang katanya sinar lampu malamnya menerangi tiap titik-titik pikiranmu.
Sebenarnya sih, biasa saja hal ini. Siapa yang nggak jatuh cinta sama kota ini? Kota ini, tak bisa dimungkiri, punya aura yang bikin siapa pun tersihir dan tak ingin pergi dari kota ini. Tapi masalahnya, orang-orang yang kelewat mabuk sama Jogja, entah kenapa, jadi spesies paling menyebalkan di dunia ini. Loh, dimabuk Jogja? Apa maksudnya?
Biar kalian tahu apa itu dimabuk Jogja dan kek mana tandanya, ini saya kasih tahu tanda-tanda orang sudah mabuk parah.
Daftar Isi
Menganggap klitih biasa saja
Fyi, saya ini merantau ke Sulawesi. Dan di kantor, saya adalah satu-satunya orang asal Pulau Jawa. Bukan cuma itu, saya juga (mungkin) orang yang paling banyak mendapatkan informasi dan plesiran ke Jogja, di antara teman setongkrongan di sini.
Makanya, banyak teman yang tanya-tanya ke saya terkait Jogja. Sebelum mereka liburan ke sana. Atau melakukan perjalanan dinas dan urusan kantor lainnya.
Kalau ada teman yang sudah berniat liburan ke Kota Istimewa, saya selalu mewanti-wanti tentang adanya klitih. Sayangnya, banyak teman saya yang terlalu mabuk. Bukannya khawatir atau berhati-hati selama plesiran, mereka malah menganggap klitih sebagai kenakalan remaja biasa. Ngelu.
Baca halaman selanjutnya
Macet di Jogja dibilang romantis…
Macet di Jogja dibilang romantis
Saya pernah memberi tahu salah satu teman yang mau liburan akhir tahun di Jogja, kalau tiap libur akhir tahun, pada beberapa titik kerap terjadi kemacetan. Sama halnya dengan Jakarta atau Makassar. Tapi, dia nggak mengindahkan informasi saya.
Soalnya, menurut dia, macet di Kota Istimewa itu beda dari kota-kota lain. Macet di Jogja itu romantis. Ketika mengalami kemacetan, dia malah bisa lebih khusyuk menikmati romantisme setiap sudut kota ini.
Mendengar jawaban tersebut, saya cuma bisa bergumam dalam hati, mana ada macet yang romantis? Kalau beneran romantis mah, nggak ada orang protes tentang kemacetan di Jogja.
Semua tergantung selera
Ketika plesiran di Jogja, teman-teman saya asal Sulawesi biasanya bisa sampai satu minggu di sana. Jujur, saya bingung kenapa mereka begitu betah. Padahal, selera makan orang Sulawesi itu berbanding 180 derajat ketimbang cita rasa beberapa menu makanan khas Jogja.
Umumnya, orang Sulawesi itu suka makan yang pedas dan kecut. Sedangkan, makanan khas Jogja rata-rata identik dengan manis. Pernah saya menanyakan hal ini kepada teman yang kerap liburan di Jogja. Menurut teman saya, soal selera itu dapat dicocok-cocokin saja, lagian indahnya Kota Pelajar bukan dinikmati lewat lidah, tapi lewat mata, lalu turun ke hati. Sepertinya, teman saya ini sudah mengalami “mabuk” Jogja stadium empat.
Terbuai lagu tentang Jogja
Begitu banyak lagu tentang Jogja, dan tak bisa dimungkiri, lagunya bagus-bagus. Saya pikir itu tak begitu mengagetkan, karena Kota Istimewa memang gudangnya seniman. Bikin lagu bagus tentu keahlian mereka, terlebih tentang kota tempat mereka berproses.
Nah, orang yang dimabuk Jogja, pasti mendengarkan lagu tentang kota tersebut on repeat. Nggak tahu kenapa, mereka bisa betah beratus kali mengulang lagu yang sama. Mungkin bagi mereka, saat dengerin lagu-lagu tersebut, mereka terbawa suasana Malioboro, tapi saya nggak tahu juga sih, nggak ikutan soalnya.
Pulang, rindu, dan angkringan
Ini tanda mabuk tingkat akut. Kalau kawanmu sering bikin video ala-ala dengan latar lagunya Adhitia Sofyan, teksnya pakai puisi Jokpin, gambarnya kopi atau Tugu Jogja, yakin, temanmu lagi mabuk parah. Kalau nggak sadar-sadar, coba guyur air.
Begitu sekiranya beberapa ciri orang “dimabuk” Jogja. Saya prediksi, nggak begitu sulit untuk mencari orang seperti ini di sekitar pergaulan kamu. Jika di sekitar kamu nggak ada orang seperti itu, jangan-jangan kamu sendiri yang sudah mabuk.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi?