Cianjur Berduka: Hancur oleh Gempa, Dikubur oleh SARA dan Preman

Cianjur Berduka: Hancur oleh Gempa, Dikubur oleh SARA dan Preman

Cianjur Berduka: Hancur oleh Gempa, Dikubur oleh SARA dan Preman (Pixabay.com)

Beri manusia ujian, niscaya sifat aslinya akan keluar. Kata-kata yang kerap didengungkan oleh orang-orang tua pada kita semasa muda, makin hari makin terlihat kebenarannya. Apa yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, adalah bentuk nyata kata-kata tersebut. Isu politik identitas dan SARA malah mewarnai distribusi bantuan. Gempa memang menghancurkan, tapi isu SARA yang mengubur Cianjur lebih dalam.

Sebelumnya, saya sampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya bagi warga Cianjur. Sebagai penyintas gempa Jogja 2006, saya paham betul kengerian pasca bencana ini. Seolah hidup sudah tidak ada harapan, dan bahkan merasa ini kiamat. Saya juga ingat bagaimana bantuan pasca gempa sangat membantu kami. Dan salah satunya dari wilayah Jawa Barat, dan pastinya ada dari Cianjur juga.

Pada saat kami sekeluarga jadi korban gempa, melihat kardus bantuan jadi kebahagiaan tersendiri. Kami merasa tidak hidup sendiri, terutama saat dihadapkan situasi yang tak pasti. Entah kenapa beberapa oknum di Cianjur tidak merasakan hal yang sama. Menerima bantuan malah membangkitkan amarah, dan membuat gesekan SARA yang goblok itu makin membara.

Di lain pihak, masih ada saja orang yang memanfaatkan situasi genting. Pungli dan aksi premanisme mewarnai upaya relawan untuk menolong warga Cianjur. Yang membuat saya tidak habis pikir, kok bisa-bisanya mikir uang saat bencana. Ini sama buruknya—jika tidak lebih buruk—dari pencurian toko ban saat gempa Palu. Gempa lho, kok masih kepikiran nyolong ban.

Di sinilah logika mati, dan bukan karena situasi terancam, tapi karena politik identitas serta logika aji mumpung. Ini sudah bukan bicara hati dan moral. Karena logika berpikir paling dasar saja sudah cacat di benak oknum gempa Cianjur.

Pertama dari isu SARA. Beberapa oknum keberatan dengan bantuan yang dikirim oleh gereja. Terutama karena ada label nama gereja di bantuan itu, terutama tenda. Paling parah adalah aksi perobekan label gereja di beberapa tenda bantuan, bahkan direkam dan disebar luaskan. Seolah ada hal besar yang sedang diperjuangkan oleh para perobek itu.

Logikanya, itu cuma tenda! Label nama gereja itu tidak akan berarti banyak ketika dalam kondisi terdesak. Beberapa waktu lalu, banyak warga yang harus tidur bersama jenazah sanak saudara dalam satu tenda. Belum lagi beberapa warga yang perlu tenda terisolir agar tidak menularkan penyakit. Label tersebut juga tidak lebih dari alat bantu untuk pelaporan pengeluaran organisasi. Tapi, fungsi tenda yang krusial ini masih diganggu oleh isu SARA.

Kalau memang yang ditakutkan adalah mengganggu iman, sudah berapa banyak orang Aceh murtad karena makan bantuan dari gereja? Berapa banyak orang Jogja jadi mualaf karena mengungsi di halaman masjid? Ketika bencana berarti semua dalam mode survival, kok bisa-bisanya berpikir politik identitas? Saya nggak akan tanya otaknya di mana, karena pasti sudah menciut karena mental goblok identitas.

Premanisme yang memperburuk keadaan

Masalah premanisme juga sama saja. Situasi serba genting, masih saja berpikir uang. Jika kita amati beberapa laporan relawan, pungli ini kemungkinan bukan dilakukan oleh korban. Atau korban yang tidak terdampak parah. Pungli ini tidak hanya merugikan relawan, tapi menghambat distribusi bantuan yang sangat dibutuhkan korban.

Saya tidak membenarkan, tapi penjarahan untuk kebutuhan bersama di beberapa bencana masih lebih logis. Lha ini bukannya untuk memenuhi kebutuhan bersama, tapi malah meraup keuntungan dari kesusahan orang lain. Saya pikir cuma influencer dan vlogger yang segoblok itu, dan ternyata saya salah.

Dampaknya sudah terlihat. Tidak hanya ribut di media sosial, yang jelas nggak penting itu. Tapi juga keputusan menarik diri dari beberapa kelompok relawan. Salah satunya IDN Grassroots yang terkenal independen dalam berbagai aksi kemanusiaan. Entah akan seperti apa penanganan pasca gempa Cianjur di beberapa waktu mendatang.

Inilah bukti bahwa warga Indonesia belum siap menghadapi bencana. Bukan hanya perkara bangunan anti-gempa, atau bunker anti-lahar panas, tapi perkara mental. Bencana adalah fase di mana seluruh urusan di luar bertahan hidup bisa ditinggalkan. Baik oleh korban, ataupun masyarakat lain termasuk relawan.

Bencana adalah fase untuk bertahan hidup sebagai komunal masyarakat. Siapa pun yang jadi korban, mereka jadi bagian dari komunal pasca-bencana. Siapa pun yang memberi bantuan, semua untuk bertahan hidup bagi komunal pasca-bencana. Sesederhana itu lho.

Padahal, sekali lagi, ini adalah logika dasar. Bahkan hewan saja bisa paham pentingnya bertahan hidup. Lha ini malah manusia yang katanya berakal malah kebanyakan ita-itu untuk survive. Urusan agama lah. Urusan politik lah. Urusan aji mumpung untuk mengeruk profit lah.

Wajar jika kita sebal karena hal ra mashok dalam bencana gempa Cianjur. Tapi, jangan sampai korban gempa jadi korban pungli dan politik identitas. Apalagi sampai berlanjut bahkan muncul di daerah lain. Karena Indonesia tidak akan bebas dari bencana. Dan bisa jadi, kita sedang menunggu giliran.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kok Ya Situ Tega Pungli untuk Pemakaman Jenazah Covid-19?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version