Bagi masyarakat yang tinggal di Jogja dan sekitarnya, tentu sudah tak asing lagi dengan kesenian jathilan. Pada zaman dulu, saat televisi baru dimiliki oleh para orang kaya saja dan saat gawai beserta pasukan internetnya belum menyerang dunia ini, bisa dibilang jathilan ini merupakan tontonan paling hits di masyarakat. Dari mulai anak-anak, remaja, hingga para manula sekalipun, akan berbondong-bondong menyaksiakan kesenian tradisional yang satu ini.
Jathilan merupakan sebuah sebuah perpaduan kesenian tari dan sentuhan magis. Awalnya penari yang sudah mamakai kostum dan sudah didandani ini akan menari menggunakan jaran kepang (kuda-kudaan mainan yang terbuat dari anyaman bambu). Saat menari ini mereka akan diiring musik gamelan beserta sinden yang akan mengiringi dengan nyanyiannya. Setelah menari-menari begitu, sebagian penari akan karasukan makhuk halus. Inilah hal yang paling ditunggu-tunggu masyarakat, apalagi kalau yang kesurupan itu yang menggunakan kostum buto-nya. Wuih, bikin penonton berteriak histeris ketakutan tapi juga semakin semangat menontonnya. Di akhir pertunjukan, nantinya penari jathilan ini akan disembuhkan oleh sang pawang yang biasanya berbaju hitam dan menggunakan pecut.
Meski ada unsur magisnya, tapi lagu-lagu yang dibawakan ini kebanyakan lagu daerah dan lagu-lagu religius. Biasanya setiap lagu yang dibawakan oleh sang sinden ini syarat akan nilai moral sebagai pengingat kita. Lagu favorit saya saat pertunjukan jathilan ini tentu saja lagu Perahu Layar. Kalau lagu ini yang dibawakan, sudah pasti saya akan ikutan nyanyi paling kenceng di barisan paling depan sambil manjat pembatas bambu dan ikutan angguk-angguk.
Dulunya orang desa yang relatif kaya sangat suka menanggap pertunjukan ini kalau ada acara. Entah itu nikahan atau khitanan anaknya. Di kecamatan pun tiap Hari Kemerdekaan juga suka menyelenggaran pertunjukan jathilan di lapangan sehabis upacara. Saya paling senang sekali kalau ada tetangga yang sunat dan mau menanggap jathilan. Pagi-pagi jam enam saya biasanya sudah mandi dan siap-siap menuju TKP. Padahal pertunjukannya itu dimulai jam 11 siang. Hadeh dasar aku!
Saya sendiri, sejak kecil bisa dibilang merupakan fans garis keras jathilan. Di mana pun terdengar suara gamelan ala jathilan, tak peduli panas atau hujan, saya langsung otewe. Kadang acaranya itu cuma di desa sebelah, tapi tak jarang juga saya harus berjalan kaki sejauh lima sampai lima belas kilo meter hanya buat menonton kesenian yang satu ini. Saya biasanya berjalan kaki bersama teman satu kampung. Tak ada keluhan capek dan sebangsanya, karena selama perjalanan itu pikiran kami sudah dipenuhi kebahagian tak terkira akan pertunjukan jathilan.
Kadang ya, saya juga nggak tahu di mana letak pertunjukan jathilannya. Hanya berjalan saja mengikuti irama lagunya. Itu pun sambil manggut-manggut dan nari-nari ala penari jathilan. Sesekali kami akan bergunam, ‘Hak e hokya… hak e hokya!’. Jathilan sudah kayak candu pada zaman itu bagi saya. Padahal yah cuma gitu-gitu doang, tapi kalau nggak nonton seperti ada yang kurang. Lagipula jathilan pada zaman itu merupakan bahan ghibah paling yahud di kalangan anak-anak usia saya.
Selama nonton, murni kalau saya cuma nonton doang. Sebab, jarang sekali saya punya uang saku buat nonton jathilan. Yah, gimana lagi, mau saya nangis kejer–kejer pun, orang tua saya nggak punya uang. Alhasil saya cuma bisa membawa bekal air putih yang saya masukan pada botol bekas air mineral untuk persedian kalau saya haus selama perjalanan. Nyedihi, ya. Wkwkwk.
Padahal sedih juga sih kalau ingat masa itu, di mana anak-anak sebaya saya pada sibuk membawa jajanan di tanganya. Tahu sendirikan kalau ada pertunjukan jathilan kayak gini tuh, ada banyak pedagang dadakan yang berkerumun. Dari penjual es dung-dung, penjual gulali, penjual ondol-ondol (cilok), penjual grontol, penjual dawet, dan penjual mainan anak-anak. Tapi tak mengapa, fans jathilan sejati tak akan surut hanya karena hal remeh kayak gitu. Hehehe.
Pernah suatu hari ada pertunjukan jathilan di desa sebelah. Suaranya menggema jelas dari rumah saya. Waktu itu pertunjukannya malam hari, orang-orang desa berbondong-bondong berjalan kaki ke sana melewati depan rumah saya. Sayang waktu itu tengah THB di sekolah, jadi bapak tak mengizin saya buat menonton jathilan. Meski Mas Anang bilang “yes” dan semua juri juga bilang “yes”, tapi kalau bapak saya sudah bilang “no”, maka sudah tak bisa diganggu gugat.
Akhirnya saya cuma bisa menatap buku matematika saya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama gamelan. Paginya saya harus berlapang dada menahan kesakitan, gara-gara teman sekelas pada cerita tentang pertunjukan jathilan malam itu. Hmm…sebal!
Dulu sempat juga saya berpikir, kalau besar nanti ingin jadi penari jathilan. Entah kenapa, saya suka sekali melihat mbak-mbak penari jathilan ini yang menari begitu luwes dan didandani cantik-cantik sekali. Pokoknya itu keren banget. Tapi keinginan saya itu pupus, karena saya sadar diri, jangankan buat nari, buat jalan aja saya nggak demes banget kok. Yang ada malah kayak robot narinya nanti.
Setelah menonton jathilan, kebahagian itu tak berhenti sampai di situ. Biasanya saya dan kawan-kawan akan berkumpul di tegalan desa. Sebagian anak akan menggamel dengan menggunakan toples dan perabot bekas. Sebagian lagi akan menari dan pura-pura kesurupan. Sebagian lagi akan jadi penonton, dan satu orang akan pura-pura jadi pawangnya. Meski hanya jathilan pura-pura, tapi kebahagian kami nggak pura-pura. Bahkan sampai di usia yang sudah dewasa ini, gambaran tentang pertunjukan jathilan pura-pura itu masih terus membekas di hati dan pikiran saya. Saat bertemu teman-teman masa kecil pun, kami akan menertawakan bersama kekonyolan masa kecil kami itu.
Sayang, kini jathilan tak sepopuler zaman dulu. Kesenian ini biasanya akan diselenggarakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Saya pun mendengar bahwa sekarang ini sudah semakin banyak sanggar kesenian jathilan yang gulung tikar karena sepi job. Sungguh disayangkan sekali, harusnya kesenian tradisional ini harus kita lestarikan. Semoga nanti jathilan akan kembali naik daun lagi. Kalau bukan generasi muda yang menjaga kebudayaan ini, lantas siapa lagi. Bangsa asing?
Salam hak e hokya!
BACA JUGA Ondel-Ondel dan Riwayatnya Kini atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.