Soal urusan teh, nggak diragukan lagi Solo adalah tempatnya. Itu semua tak lepas dari bagaimana orang Solo memandang teh lebih dari sekadar teh dan menjadikan perilaku wedangan sebagai salah satu keharusan. Konon katanya, wong Solo bisa melewatkan ngopi, namun tidak dengan wedangan (ngeteh). Teh di Solo memang enak-enak, tapi mencari teh yang enak di Solo kadang juga tak semudah itu.
Bagi saya, cara termudah untuk mencari teh adalah mencarinya ke wedangan atau HIK (angkringan). Sebenarnya tak sedikit warung makan biasa yang menjual teh tak kalah enak, tapi pergi ke wedangan merupakan jaminan yang lebih pasti dan sudah menjadi rujukan utama.
Akan tetapi, nggak semua wedangan ramai selalu menjanjikan teh yang mashok. Biasanya, orang nongkrong di wedangan lebih mengutamakan tempat dan kudapannya ketimbang teh. Jadi, jangan tertipu dengan ramai atau nggaknya sebuah wedangan. Kecuali, jika tujuan kalian hanya nongkrong atau yang-yangan, bisa dipastikan bahwa wedangan yang ramai itu nyaman.
Menebak wedangan yang punya teh enak atau nggak di Solo adalah dengan melihat mayoritas pelanggannya. Jika pengunjungnya hampir atau malah semuanya anak muda, berarti tempat itu menjanjikan sebagai tempat nongkrong saja. Sementara jika kalian melihat banyak pakdhe-pakdhe di sana, bisa dipastikan biasanya minumannya enak. Akan tetapi, bagi saya tebak-tebakan seperti itu nggak terlalu akurat, sih.
Wedangan yang menyajikan teh enak sebenarnya bisa dirasakan dari aroma di sekitar wedangannya. Indikasi teh yang enak dan nyolo adalah tehnya kental dan berwarna pekat sebagai hasil oplosan berbagai macam jenis teh dan digodok dengan matang. Sudah jelas teh yang demikian cenderung mengeluarkan aroma yang pekat di hidung.
Cara lain yang cukup akurat dan bisa kalian pakai untuk mencari teh enak di Solo adalah dengan melihat siapa pedagang wedangan dan bagaimana model wedangannya. Wedangan dengan model tradisional dan penjualnya “pakdhe-pakdhe”, biasanya memiliki teh yang enak. Cukup sulit mencari wedangan dengan gaya progresif dan penjualnya anak muda yang tehnya enak. Apalagi jika wedangannya hanya bermodal kompor, blas ra mashok.
Ada perbedaan bagaimana anak muda dan generasi tua menjalankan bisnis wedangan. Menurut saya, generasi tua yang membuka wedangan tak sekadar berjualan, mereka seolah menjadikan wedangan sebagai jalan hidup. Pakdhe-pakdhe itu seakan mengatakan, “This is my life” dalam hatinya tiap kali saya melihat mereka mengipasi arang. Beda dengan anak muda yang memandang wedangan sebagai salah satu tren usaha atau malah hanya untuk coba-coba. Anak muda lebih cenderung membuat wedangan yang bisa ramai dengan mengutamakan tempat dan kudapan, bukan cita rasa tehnya.
Lebih detail lagi, saya percaya teh yang enak adalah teh yang diracik oleh tangan pakdhe-pakdhe yang—maaf—penampilannya kucel. Penampilan kucel di sini bukan berarti mereka nggak bisa menjaga penampilan lho, ya, melainkan itu salah satu konsekuensi atas usaha besar mereka dalam mengipasi arang demi menyajikan teh yang mashok di lidah.
Salah satu rekomendasi wedangan enak Solo adalah Wedangan Pak Sin atau dikenal juga sebagai Wedangan Bu Warsinem yang dulu es tehnya sempat viral. Atau kalian juga bisa mencoba melipir ke wedangan di selatan perempatan Pasar Kembang, depan kantor PCNU Surakarta.
Dan sebagai penutup, kalian juga bisa mencari teh yang enak di Solo dengan pergi ke acara mantenan. Kebanyakan acara mantenan di kampung-kampung masih mempercayakan jayeng (pembuat teh) yang sudah sepuh dan berpengalaman. Namun, ini juga menjadi kekhawatiran saya lantaran saat ini terjadi fenomena seretnya regenerasi jayeng. Ketimbang menyerahkan tugas ke generasi muda, jayeng yang sepuh masih diberdayakan. Semoga saja beberapa tahun ke depan nggak ada degradasi cita rasa teh wedangan di Solo, ya.
Semoga tulisan ini bisa membantu kalian dalam berpetualang mencari teh enak di Solo. Jika belum menemukan teh yang mashok di lidah, jangan ragu untuk mencari lagi. Toh, modal mencari teh di Solo berkisar Rp2 ribu hingga Rp3 ribu saja. Murah, Jon, gaske!