Dua tahun hilang kontak, saya blas nggak berpikiran bahwa tiap sudut Jogja itu berisi senyumnya. Padahal tiap sudut Jogja sudah pernah kami lewati bersama. Entah ngguya-ngguyu ketika melintasi Tugu, atau saling cemberut ketika melewati Lempuyangan. Semua kenangan bersama mantan rasanya biasa saja bagi saya.
Di suatu malam ada kawan mencurahkan hatinya kepada saya. Katanya, ia merasa benci dengan tempat-tempat tertentu, bahkan ia emoh melewati jalan yang penuh kenangan bersama mantan itu. “Hambok tenan, aku merasa sedih, keinget setiap kata yang pernah ia lepaskan untuk aku,” begitu katanya.
Saya yakin, wajah kawan saya ini pasti ndembek walau kami berhubungan via Discord kala main Genshin Impact. Ia bertanya kepada saya, selama empat tahun pacaran sama yang telah lalu, kok ya etel-etel saja melewati jalan atau tempat yang biasa saya lalui. Setelah saya pikir, iya juga ya. Kok saya blas nggak ngerasa ada yang aneh.
Alasannya bukan karena nggak terlalu sayang atau tetek bengek khas percintaan lainnya. Akan tetapi karena saya punya kiat-kiatnya. Kiat yang semoga saja berguna bagi handai tolan move-on sekalian.
Pertama, kebutuhan. Coba pikir, kalau tempat itu adalah tempat yang kudu dilalui atau disinggahi tiap hari, kemudian kita membenci, ya kojor, Dab!
Misal stasiun, entah berapa kali saya dan mantan singgah di tempat itu. Pikir saya, kalau saya membenci stasiun, lantas emoh menginjakkan kaki di Lempuyangan atau Tugu lagi, ya bisa jebol dompet saya. Lha naik pesawat itu mahal. Iya kalau tujuannya Jakarta, lha kalau cuma Solo dan kebetulan pegal-pegal naik motor dan memeng naik bus, bisa edan naik pesawat.
Nih ya, dari Adisucipto ke Adi Sumarmo masak naik Lion Air. Eh, sekarang bandara di Jogja sudah pindah nding. Adoh e ra ngetang-ngetang. Nah untuk ke NYIA, ada rute yang memudahkan, yakni naik kereta. Bagaimana kita kudu mengelola perasaan, kadang kebutuhan itu porsinya harus lebih besar dari kenangan bersama mantan. Itu.
Kedua, tutup dengan kenangan baru. Yang ini memang agak jahat, tapi sebagai pelepasan luka dan masa lalu yang kelam, nggak ada salahnya. Misal Ring Road kadung penuh dengan kenangan bersama mantan, ajak teman atau pacar baru kamu ke sana. Buat sejarah baru, buat kenangan baru entah itu bahagia, kemekelen, atau mengharukan.
Saya pernah mengajak kawan untuk ngobrol di Perpustakaan UGM guna menghapus kenangan bersama mantan di masa lampau. Dan cara itu worth-it banget karena ketika ke Perpustakaan UGM, yang saya ingat justru kawan saya, bukan mantan. Lha gimana nggak ingat, suasana sepi, semua khusyuk baca buku, tiba-tiba kawan saya—sebut saja Doli—tiba-tiba ngentut dengan berdesibel-desibel kerasnya. Doli hanya prengas-prenges dan melanjutkan baca buku.
Ketiga, sing uwis ya uwis atau nama lainnya nrimo ing kenangan. Urusan nrimo me-nrimo, saya yakin orang Jogja jagonya. Namun, ini bukan perkara UMR Jogja lho ya, ini perihal bagaimana kita menyikapi masa lalu. Perkara menghapus kenangan bersama mantan itu ya paling enak memang nrimo. Ketika melewati tempat penuh kenang, saya hanya bisa senyum dan mengucapkan sayonara seperti anak Pramuka yang habis pulang kemah.
Lha mau apalagi coba? Waktu itu berjalan maju, kecuali kita adalah Marty McFly, itu beda cerita. Daripada kembali bersama dengan mantan dan menciptakan luka baru bak upgrade dari masa lalu, yo mendingan nrimo ing kenangan mawon to, Buos! Wes to, sing tenang, ada orang baru yang siap menemani penyembuhan ingatan kelam akan suatu tempat. Entah cepat atau lambat.
Keempat, berdiam diri di tempat penuh luka itu dan rasakan sensasinya. Saya pernah berdiam diri di Stasiun Solo Balapan. Saya datang ke sana ya hanya diam sampai jam 5 sore, lalu pulang dengan Prameks rute paling akhir. Dari jam 12 sampai jam 5, saya hanya ngalamun seperti orang kena gendam.
Saya sengaja duduk di tempat-tempat di mana saya dan mantan pernah bersama. Walau bentuknya dan tata letak sudah sama sekali berbeda, tapi atmosfernya sama saja. Setelah saya pulang naik kereta, saya akhirnya merasakan efek luar biasa dari tindak tanduk saya. Ya, saya tertawa lepas. Amat lepas. Sampai-sampai beberapa orang di kereta mendelik ke saya.
Saya tertawa bukan karena mbajingi masa lalu, tapi sampai pada satu titik pemikiran, lantas mak sliwer sebuah petuah. Begini petuahnya, “Nganggur sih ya nganggur, tapi mbok ya jangan kelihatan banget-banget gitu lho selo-nya, Buos, Buos!”
Melupakan masa lalu terhadap tempat atau jalan bersama mantan, kadang memang butuh effort lebih, Mylov. Salah satunya ya itu tadi, terlihat goblok dan pekok seakan pamer sebagai pengangguran.
BACA JUGA Bahasan ‘Ditinggal Nikah Mantan’ Makin Usang dan Sudah Saatnya Ditinggalkan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.