Kurang dari tiga puluh hari ke depan, Indonesia kembali menggelar hajatan demokrasi. Tahun ini, muncul banyak “anak muda” yang tiba-tiba nyaleg. Rekan-rekan pembaca pasti menemukan hal-hal serupa: muncul baliho atau postingan caleg-caleg muda yang bikin mikir “ni orang beneran nyaleg?”
Bukan bermaksud meremehkan, tapi sangat menjengkelkan melihat pemuda-pemuda yang nyaleg ini kebanyakan hanya menjual statusnya sebagai anak muda. Padahal, lahir sebagai Gen Z belum tentu memiliki jiwa yang muda. Gen Z yang gaptek? Banyak. Konservatif? Banyak. Cuma bisa retorika? Apalagi.
Bisa jadi, salah satu faktor fenomena banyaknya caleg muda ini disebabkan oleh jumlah pemilih tahun 2024. Merujuk data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional tahun ini adalah 204.807.222 jiwa. Dari total angka tersebut, pemilih muda menyumbang 55-60 persen atau sekitar 106.358.447 jiwa.
Hal ini tentu sebuah catatan kemajuan bagi demokrasi kita. Pemuda-pemudi bangsa kini menjadi penentu arah bangsa, key pieces, king maker, game changer, apa pun itu. Lebih dari itu, sebagian dari kami juga terjun dalam perebutan kursi, mulai dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, hingga DPR RI!
Indonesia itu memang butuh anak muda (baik sebagai pemilih maupun yang dipilih). Tapi anak muda yang seperti apa dulu nih?
Muda dalam politik itu overrated!
Tingginya angka DPT dari kalangan anak muda membuat para parpol juga berlomba-lomba menggaet anak muda untuk duduk di parlemen, dengan harapan dapat ikut menggaet pemilih muda. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan selama kampanye juga makin variatif. Mulai dari penggunaan AI hingga memulai tren di aplikasi sosial media tertentu.
Penggunaan kata ‘muda’ dalam politik itu overrated, hiperbola, berlebihan. Muda tak semata-mata cerdas, melek politik, dan yang paling penting, muda tak semata-mata bijak. Iya dong, memangnya generasi muda yang kemarin buat tren nangis-nangis di TikTok gara gara debat capres itu bijak?
Selama masa kampanye ini, FYP TikTok penulis cukup beragam. Ada yang mendukung salah satu calon presiden karena punya hewan favorit yang sama, ada pula yang dukung karena alasan gemas dengan salah satu capres. Tolong dicatat, ini tidak salah. Kita berhak mendukung siapapun itu dan karena apa pun itu. Tapi tolong banget ini mah, memangnya nggak ada alasan lain yang lebih masuk akal?
Anak muda, alangkah baiknya mempelajari rekam jejak, visi-misi, atau program Capres-Cawapres untuk menentukan pilihan. Game Changer kok cetek. Jika telah memutuskan untuk berpihak, ayo dong jangan nanggung. Speak up, sosialisasikan dukungan dengan cara yang ‘muda’. Persuasif tanpa provokatif, mengajak tanpa menginjak.
Caleg muda cukup riskan
Manuver anak muda dalam pentas politik ini, dilihat dari manapun cukup riskan. Muncul pertanyaan, bagaimana caleg-caleg muda ini memenuhi ongkos politik mereka? Oke, mungkin bisa diatasi dengan hasil usaha atau tabungan (ehem, harta orang tua) mereka. Namun, bagaimana dengan caleg muda yang tidak memiliki hal itu?
Politikus-politikus muda yang tidak cukup kuat secara finansial sangat rawan akan titipan-titipan iblis dari (sebut saja) investor. Apalagi, status mereka adalah junior. Nggak kebayang tekanannya kayak apa. Maka dari itu intervensi dan politik balas budi kemungkinan besar terjadi.
Legislator itu tugasnya mewakili apa yang menjadi kegelisahan rakyat. Diperlukan adanya paradigma antara legislator dan masyarakat yang sinkron, dan hal itu tentu tidak mudah. Legislator harus pintar dan mampu bersosialisasi untuk memahami aspirasi masyarakat sebelum diperjuangkan di ruang sidang parlemen. Nah, mampukah caleg muda melakukan hal itu dengan berbagai tekanan intervensi dari pihak lain?
Kurangnya pengalaman para caleg muda ini menjadi salah satu hal yang patut dipersoalkan. Selain itu, proses seleksi kelayakan caleg juga perlu dipertanyakan kepada partai politik. Bagaimanapun, legislator merupakan refleksi dari masyarakat. Ketika legislatifnya joss, maka begitu juga dengan rakyatnya.
Mendingan BA Esports yang nyaleg
Kalau sekadar muda tapi kosong, mending yang nyalon ke DPRD atau DPR RI itu Brand Ambassador (BA) Esport aja udah.
Daripada merekrut anak muda random yang kebetulan ingin nyaleg, partai politik juga lebih untung jika merekrut BA Esport. Massa banyak, modal finansial awal sudah pasti aman, dan yang paling penting (kayaknya) gampang disetir. Rigen dan Kiky Saputri aja bisa kok, masa ketum-ketum partai yang notabene politikus ulung itu nggak bisa~
Sepertinya, BA Esport memiliki massa yang cukup untuk mengamankan satu dapil DPRD Kabupaten. Kalaupun diminta maju di DPR RI, para BA Esport ini masih bisa bersaing, yakin deh. Lihat saja followers TikTok atau Instagram mereka.
Sebagai disclaimer, tak sedikit pula muda-mudi di negara ini yang nggak kosong, nggak modal omon-omon. Tak dapat disangkal, terdapat caleg muda yang bersungguh-sungguh ingin memainkan peran sebagai anggota dewan yang berbakti. Rian Ernest dan Tina Toon salah dua contoh yang sudah membuktikannya. Anak muda yang progresif ini perlu diapresiasi.
Pesan saya untuk caleg muda, menjadi legislator itu bukan lapangan uji nasib, bukan mata pencaharian, bukan pula alat kepentingan partai politik semata. Kursi parlemen itu bukanlah kursi nyaman yang bisa dijadikan tempat bermain. Dikira kursi gaming kali ah.
Lagi-lagi, penggunaan kata ‘muda’ dalam konteks politik itu glorifikasi semata. Generasi saya nggak se-istimewa itu kok pak, bu.
Penulis: Rivyan Bomantara
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Baliho Caleg Muda dengan Pose Saranghaeyo Hanya Bikin Mual, Nggak Bikin Tertarik untuk Memilih