Wis to, ndak usah ndakik-ndakik bilang; baca buku, maka ubahlah dunia. Duh abot tenan. Nyatanya daripada dibaca, masyarakat kita lebih gemar menjadikan buku sebagai bungkus sego kucing, atau petasan saat puasa dan menjelang lebaran. Minat baca memang rendah, dan itu tidak bisa dimungkiri.
Menurut dataindonesia.id yang mengutip data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas), tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat indonesia, pada 2022 sebesar 63,9 poin. Skor tersebut bahkan meningkat 7,4 persen jika dibanding tahun sebelumnya, dengan perolehan poin sebesar 59,52. Itu pun angkanya sudah tergolong tinggi. Jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, tingkat kegemaran membaca Indonesia hanya selalu berada dalam kategori sedang.
Jadi kalau melihat data tersebut, berarti sebenarnya nggak rendah minat baca masyarakat kita? Tapi, mungkin rujukan datanya berbeda. Oke oke, biar opini kita berimbang saya coba hadirkan data yang lain.
Data minat baca yang mengerikan
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menginisiasi adanya Program for International Student Assessment (PISA). PISA itu intinya adalah fokus studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti lebih dari 70 negara di seluruh dunia.
Nah pada 2019, PISA melakukan survei yang dirilis oleh OECD dengan memperlihatkan posisi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang memiliki tingkat literasi rendah. Atau dalam kata lain, berdasarkan survei ini Indonesia berada pada peringkat 10 terbawah dengan tingkat literasi terendah.
Pada 2022, Presiden direktur Big Bad Wolf Indonesia Uli Silalahi pada kesempatan press conference acara tersebut, menyebutkan, “Minat baca masyarakat kita di tahun 2016 sampai sekarang belum berubah.” Berdasarkan data BPS tahun 2022, Uli menjelaskan kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52, dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu, dan 4-5 buku per triwulan.
Sedangkan pada 2016, UNESCO menyebut minat baca masyarakat Indonesia hanya 0.001 persen. Dengan kata lain, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca. Bahkan lebih ngeri lagi, masih di tahun yang sama, Central Connecticut State University merilis riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, menunjukkan posisi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal rendahnya minat membaca.
Sek sek. Kalau dilihat berdasarkan data perpusnas, sebenarnya tingkat membaca masyarakat kita tidak rendah. Namun setelah melihat data-data lain di atas, rasanya kok mengerikan, ya.
Ini memang minat baca kita rendah, atau jangan-jangan memang budaya kita yang mendidik membentuk menjadi seperti itu?
Faktor keluarga
Pertama, kita mulai dari keluarga. Faktor keluarga adalah yang paling penting, untuk mengarahkan setiap kita akan menjadi bagaimana dan seperti apa. Termasuk gimana kita memandang penting tidaknya kegiatan membaca.
Tingkat kemiskinan yang masih tinggi, menjadi salah satu akar persoalan di lingkungan keluarga. Sebagai orang yang lahir dan besar di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah, saya menyaksikan betul persoalan ekonomi mengalahkan hal-hal lain. Ojo kok mengajari dan membiasakan anak-anak membaca buku, para orang tua lebih keras mendidik untuk kerja kerja kerja, jauh sebelum Jokowi menggaungkan itu.
Mungkin, bagi orang tua membaca adalah kegiatan yang sia-sia. Makanya daripada sibuk membaca, mereka lebih gemar mendidik anak-anak untuk membantu kegiatan di ladang, kebun, dan sawah. Maklum, saya tinggal di tengah masyarakat agraris.
Dengan membantu para orang tua untuk kegiatan perekonomian, setidaknya mereka bisa memastikan hari esok tidak akan kelaparan. Urusan baca membaca, itu belakangan.
Siklus seperti itu, hampir setiap hari terjadi. Pada akhirnya, tak jarang setelah anak-anak tumbuh dewasa lebih suka kerja kerja kerja. Kalau nggak kerja nggak makan. Jadi dear Pak Jokowi, ndak usah ajari kami untuk giat kerja, Jauh sebelum bapak bilang, orang tua kami sudah dengan keras mengajarkan, walau juga hasilnya ndak kaya-kaya.
Baca halaman selanjutnya
Disuruh menghafal, bukan disuruh membaca