Seleksi berkas adalah salah satu bagian dari pekerjaan saya yang boleh dibilang semakin lama semakin menjemukan. Lha wong yang saya temui dari sepuluh tahun lalu sampai sekarang tidak banyak yang berubah. Gitu-gitu aja. Paling-paling template-nya yang diganti, warnanya dibuat beda, foto yang ada di kanan bergeser ke kiri, atau yang biasanya ditampilkan dalam diagram-diagram beralih ke batang-batang dan sebaliknya. Selebihnya CV kreatif yang dikirim tampak sama.
Padahal, kalau dianalogikan dengan perkara asmara, proses mengirim berkas dengan CV kreatif sama derajatnya dengan proses perkenalan awal, saling bertukar akun Instagram misalnya. Dan rumus keberhasilan dari proses perkenalan awal tentu adalah kesan pertama. Semua orang pasti ingin mendapatkan perhatian.
Anehnya, sedikit sekali yang mau membuat perkenalan yang mengesankan. Kalau setiap tahun—kecuali tahun ini konon katanya—nilai upah minimum terus naik, maka bisa dibilang varian curriculum vitae yang nangkring di meja HRD cenderung stagnan. Padahal CV kreatif itu bakal membantu pelamar kerja.
#1 Blangko dua ratus perak
Ini adalah entitas purba yang—percaya tidak percaya—masih ada sampai detik ini. Bahkan beberapa kali saya masih mendapatkan pelamar yang menggunakannya. Blangko ini masih bisa didapatkan di beberapa tempat fotokopian, utamanya yang pemilik tokonya adalah seorang baby boomer. Terakhir saya tahu, medio 2010-an, harganya masih dua ratus perak. Sekarang, di salah satu marketplace, saya pernah lihat ada yang menjual seharga Rp15 ribu per 100 lembar.
Blangko ini adalah selembar kertas dengan lambang burung garuda yang berada tepat di tengah sebagai background-nya. Sedikit ada variasi di bagian warna pola hiasan yang mengelilingi kotak utama. Biasanya kalau tidak biru terang ya hijau terang. Nanti warna burung garudanya baru mengikuti. Kalau mau menempel pas foto, ada kotak kecil yang ditaruh di pojok bawah. Pokoknya semua serba mudah. Tinggal isi dan tempel.
Tidak salah memang masih menggunakan blangko ini untuk melamar kerja. Nggak dosa juga. Hanya saja, tidak semua tulisan tangan itu dapat dibaca dengan baik. Terlebih, blangko ini sangat membatasi informasi penting di luar data diri. Apalagi bagi yang memiliki pengalaman kerja luar biasa banyak. Wah sudah pasti kerepotan ngisi beginian.
#2 Hasil unduhan dari aplikasi atau web CV maker
Kalau yang satu ini masih mending lah. Masih terlihat ada usaha daripada sekadar ngisi blangko. Perihal data informasi yang diberikan pun sudah mulai komplit dan variatif. CV kreatif model begini cukup membantu bagian rekrutmen dalam pengambilan keputusan. Selain itu, beberapa situs penyedia lowongan kerja juga telah menyediakan fitur semacam ini kepada setiap penggunanya. Mau lebih berwarna-warni, tinggal pindah ke web atau aplikasi seperti Canva. Urusan susun-menyusun CV kreatif jadi semudah menjetikkan jari.
Sayangnya, segala kemudahan ini malah membuat para pencari kerja terlalu nyaman dan cenderung malas untuk memutakhirkan datanya. Sehingga sering kali terjadi perbedaan antara yang disampaikan oleh pelamar saat wawancara dengan data yang disajikan di dalam CV. Belum lagi, banyak orang lebih suka menghiasi CV kreatif mereka dengan hal-hal kurang penting dan klise seperti menyatakan bahwa mereka adalah seorang pribadi yang jujur, disiplin, pekerja keras, rendah hati, dan takwa.
Sekarang saya tanya, memangnya perempuan mana yang percaya kalau ada seorang laki-laki mencantumkan keterangan di biodata Instagramnya bahwa ia adalah seorang yang romantis, humoris, dan setia? Kalau kata Cak Lontong: mikir!
#3 CV out of the box
Suatu ketika saya pernah melakukan walk-in interview untuk posisi penjahit di salah satu perusahaan garmen. Bisa ditebak pelamar yang datang pasti akan didominasi oleh emak-emak atau setidaknya orang yang sudah berumur. Di antara ratusan pelamar yang kebanyakan membawa blangko riwayat hidup, fotokopi KTP, dan ijazah sekolah, ada satu pelamar yang datang dengan tidak membawa berkas apa-apa.
Begitu saya tanya apakah ia membawa CV atau semacamnya untuk saya baca, ia malah melepas jaket dan memberikannya kepada saya sambil berkata, “Saya tahu perusahaan Bapak adalah produsen jaket. Anak saya membacanya di internet. Nah, jaket ini adalah hasil jahitan saya sendiri setelah melihat katalog produk perusahaan Bapak.”
Di detik itulah saya tidak ada keraguan untuk menerimanya. Blio adalah seorang pria lulusan SMP berusia 42 tahun. Kalimatnya singkat, tetapi banyak sekali yang bisa saya dapat dari pelamar ini. Pertama, ia telah mempelajari nilai-nilai perusahaan. Kedua, orang ini adalah pekerja keras karena jarak antara informasi wawancara dengan pelaksanaannya hanya selisih tiga hari. Ketiga, ia sangat kreatif. Meskipun waktu telah menggerogoti warna rambutnya, toh, nyatanya usia tidak berhasil menaklukkan kelihaiannya. Itu adalah salah satu CV terbaik yang pernah saya temui dalam karier. Sayang, hanya sesekali dalam setiap tahun saja saya bertemu dengan pelamar-pelamar yang luar biasa sepertinya.
#4 Video TikTok
Selama pandemi ini, kita tahu lapangan kerja semakin sedikit. Banyak perusahaan besar gulung tikar. Akibatnya, jumlah pencari kerja membludak. Persaingan dalam melamar kerja pun jadi lebih ketat. Ribuan CV akan berjibun di email perusahaan.
Di antara para pelamar, banyak juga sebenarnya yang tahu bahwa menjadi berbeda dan menimbulkan kesan yang dalam adalah strategi untuk lolos dalam seleksi berkas. Oleh karena itu, beberapa orang yang kreatif mulai mengubah format CV-nya menjadi video. Bukan video profesional, melainkan video kreatif ala TikTok.
Tiga bulan terakhir, banyak link video yang masuk ke email saya. Sebagian besar tentu adalah video TikTok. Awalnya saya pesimis mereka hanya akan mengirimkan video joget-joget ala Bowo, tetapi yang saya temukan justru adalah bentuk lain dari CV kreatif yang dikemas secara cantik dan menghibur.
Ada kolase foto, ada konten humor, konten “how to”, dan lain sebagainya. Setelah saya pelajari lebih lanjut, ternyata membuat video TikTok itu tidak mudah. Apalagi yang bisa mempresentasikan portofolio diri dalam waktu kurang dari satu menit yang bisa mengesankan bagian rekrutmen. Itu sungguh tidak mudah. Dibutuhkan ide dan eksekusi yang sangat matang.
Pembuktikan berikutnya adalah lewat wawancara dan pemagangan. Di luar dugaan, ternyata para pelamar jalur TikTok ini membuktikan bahwa mereka agile dan adaptif di lingkungan kerja baru. Hebat juga TikTok ini. Saya pun semakin yakin dan tidak kaget jika banyak perusahaan-perusahaan yang akan menggunakan konten TikTok sebagai bentuk standar CV kreatif yang baru.
Gimana? Tertarik bikin CV pakai TikTok? Saya sih cuma mau bilang, cobalah untuk tidak membenci sesuatu sebelum kita benar-benar telah mempelajarinya. Ingat, dunia terus bergerak maju, Gaes. Yang lalu akan tergilas dengan yang akan datang. Dalam hal ini, saya setuju dengan kutipan dari Pandji Pragiwaksono.
“Sedikit berbeda lebih baik daripada sedikit lebih baik.”
BACA JUGA Kultur Menulis Nama di Amplop Sumbangan Sebaiknya Ditiadakan dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.