Ada anggapan klise yang beredar di kalangan para suporter sepak bola Eropa bahwa para Kopites (pendukung Liverpool) adalah tipikal cowok yang layak dijadikan pacar karena secara personal mereka merepresentasikan tiga sifat cowok idaman—setia, optimistis, dan romantis. Pertama, setia—para Kopites tetap setia mendukung Liverpool walau sudah hampir tiga puluh tahun lamanya tim kesayangan mereka tidak lagi juara liga lokal. Kedua, optimis dengan selalu menyuarakan slogan next year. Ketiga, romantis—karena dikit-dikit nyanyi you’ll never walk alone.
Tapi apakah anggapan demikian itu benar? Bisa iya, tapi sepertinya juga bisa tidak, lho. Karena ada para Juventini (pendukung Juventus) yang kayaknya lebih layak dari pada Kopites menurut penerawangan saya. Untuk membuktikannya, mari kita simak argumen dan fakta-fakta berikut.
Juventini adalah tipikal pacar yang pemaaf
Para penggemar liga Seri A Italia pasti tidak akan melupakan skandal Calciopoli tahun 2006—skandal pengaturan skor yang menggegerkan dunia sepak bola Eropa terlebih sepak bola Italia. Ada empat tim yang terlibat tapi yang paling disorot adalah Juventus. Hal ini bisa disebabkan karena Juventus adalah tim yang juara pada musim itu dan direktur umumnya Luciano Moggi menjadi dalang utama kasus pengaturan skor tersebut. Sehingga tidak heran belakangan banyak yang menyebut skandal ini dengan nama moggiopoli.
Nah, ibarat di dunia percintaan, klub dengan julukan “Nyonya Tua” ini pernah melakukan kesalahan yang teramat sangat fatal—bisa lha dibilang selingkuh. Akan tetapi lihat kenyataaanya, para suporternya—baik lelaki maupun perempuan yang dipukul rata disebut Juventini—ternyata memaafkan kesalahan fatal ini. Bukan main para Juventini ini~
Juventini adalah tipikal pacar yang tidak gampang bosan
Ada ungkapan satire yang makjleb dalam rangka menggambarkan betapa membosankannya Liga Seri A Italia, yakni menyebut Liga utama negeri pizza itu dengan sinonim Liga Juventus. Bagaimana tidak, sejak musim kompetisi 2011-2012 titel scudeto tidak pernah bisa direbut oleh para kompetitornya—Napoli, AS Roma Duo Milan, Lazio dan yang lainnya cuma penggembira saja di Liga Juventus. Ini lho kompetisi atau apa?
Maka tidak lah heran jika kemudian pamor Liga Seri A Italia terus meredup. Lha siapa lagi yang suka dengan kompetisi yang mirip telenovela, bahkan sepertinya telenovela pun lebih menarik dari Seri A karena di tiap episodenya menghadirkan beragam drama, sedangkan Liga Juventus ini sudah bertele-tele dan berlarut-larut endingnya sudah bisa ditebak. Membosankan bukan?
Mari kita bayangkan, seandainya kita punya pacar para Juventini, nggak perlu modal terlalu banyak untuk tiap harinya dan tiap pekannya melakukan hal-hal istimewa dan berbeda supaya dia tetap terkesan, dijamin doi gak bakalan bosan.
Juventini adalah tipikal pacar yang cerdik mengelolah keuangan
Tidak bisa dipungkiri, saat ini di Italia Juventus adalah klub sepak bola paling sukses tiada tanding. Belum ada tim pesaing yang bisa menyamai levelnya—Juventus seakan memiliki segalanya, bahkan Juventus adalah tim satu-satunya di Italia yang memiliki stadion sendiri. Terdengar kuno ya?
Juventus pernah terpuruk gara-gara skandal pengaturan skor pada tahun 2006, titel juaranya dibatalkan, diturunkan kelasnya ke Seri B, dilarang mengikuti UCL pada tahun itu, mendapat denda pengurangan sembilan poin dan dipaksa membayar uang tilang.
Namun dengan kilat Juventus berhasil bangkit dan pelan-pelan membalik keadaan, banyak pengamat mengatakan semua itu didapat karena Juventus cerdik dalam mengelolah keuangan.
Kini Juventus menjadi club sepak bola terkaya di negaranya, kekayaanya dua bahkan tiga kali lipat dari kekayaan tim pesaingnya.
Jika ditarik di dunia asmara, Juventini ini tipikal pacar yang suka nabung dan rajin bekerja. Tidak sekedar kerja kerja kerja saja, tapi kerja cerdas dan berkualitas.
Juventini itu lucuk
Siapa yang tidak suka dengan pacar yang lucuk?
Pemirsa sekalian, Juventus itu lucuk, Juventini juga, pada tahun ini tepatnya. Silahkan kalian tertawa, karena setahun yang lalu legenda sepak bola mereka Gianluigi Buffon dilepas dengan banjir air mata keharuan oleh para Juventini baik yang di dalam stadion maupun yang menyaksikan di layar TV.
Setidaknya ada tiga alasan kenapa momen itu begitu mengharukan. Pertama, tentu saja kesetiaan Buffon. Kiper timnas Italia itu sudah membela Juventus sejak tahun 2001, bahkan di saat-saat Juventus terpuruk ia tetap setia dengan timnya ini. Alasan kedua menjadi emosional, karena di Juventus Buffon belum bisa mewujudkan impiannya mengangkat trofi UCL. Ada rasa sakit di sana mengingat betapa lama kebersamaan dia dengan mereka. Sudah banyak trofi yang didapat tapi untuk yang satu itu segalanya begitu dramatis. Adapun alasan ketiga adalah bayang-bayang perpisahan menuju keputusan untuk pensiun dari profesi yang dicintainya—mengingat usia Buffon pada saat itu sudah menginjak 40 tahun. Jadi wajar jika tergambar di banyak mata bahwa ini adalah momen langka, saat-saat terakhir melihat Gigi Buffon bermain di Juventus maupun di sepak bola.
Spanduk besar bertuliskan ucapan terima kasih dan perpisahan pun dibentangkan, nyanyian-nyanyian bernada pilu pun didengungkan, tak sedikit kiper-kiper ternama di banyak negara dan kompetisi menghadiahkan kepadanya ungkapan respek yang mendalam.
Sementara Buffon sendiri menulis di akun media sosialnya: “Enam ribu seratus sebelas hari. Enam ribu seratus sebelas momen penuh hasrat, kebahagiaan, air mata, kekalahan, dan kemenangan. Terima kasih. Terima kasih untuk kalian semua. Karena kalian semua sudah membuat hidup saya dalam balutan jersey Bianconeri terasa spesial. Jersey itu sudah menjadi seperti kulit kedua saya. Kulit yang saya pakai, cintai, dan hormati. Saya menghargai dan melindunginya dengan seluruh diri saya. Memang saya punya batasan, tapi saya juga punya hasrat yang selalu menemani saya dan bla bla bla dan bla …”
Tidak disangka, mantan penjaga gawang andalan Parma FC ini di musim 2018-2019 meneken kontrak dengan tim PSG dari liga utama Prancis. Dan di musim kompetisi tahun ini, secara mengejutkan pula penjaga gawang yang mendapat julukan “Superman” ini kembali lagi ke kandangnya yakni Juventus.
Jika mengingat momen yang sangat mengharukan di atas, lalu ketemu fakta bahwa dia—Gianluigi Buffon—balikan lagi ke pelukan hangat para Juventini, saya jadi ingat kelakar Om Jin di iklan rokok Djarum 76 yang penuh parodi itu—“ealaaaa~”