Kata kawula bijak, “kita ini sebenarnya belum merdeka, bagi saya pribadi sebenarnya kita hanya pura-pura merdeka.” Apakah benar?
Tepat tanggal 17 Agustus kemarin, negara kita telah merayakan hari kelahirannya untuk yang ke-74 tahun. Tentunya sebagai warga negara yang baik, sudah semestinya kita memberikan kado terbaik untuk dipersembahkan kepada negara tercinta ini. Persembahan tersebut tentunya bisa dengan berbagai wujud dan ekspresi sesuai dengan kemampuan kita sebagai warga negara.
Bisa dengan wujud kegiatan perlombaan, istighosahan berjamaah se-RT, muncak ke gunung dengan teman-teman, hingga syiar-syiar bijak mengenai kriteria menjadi warga negara yang baik dalam memaknai kemerdekaan melalui twitt ataupun postingan instagram dengan latar foto gagah berdiri di atas gunung dengan bendera merah putih yang berkibar. Aah benar-benar representasi patriotisme milenial yang aduhaai~
Untuk kategori yang terakhir, memang marak sekali dilakukan oleh banyak kalangan yang merasa bijak. Dan momen kemerdekaan ini menjadi waktu yang pas bagi kawula bijak untuk menebarkan pesan – pesan motivasi bernada peringatan. Yang paling sering didengar adalah penegasan bahwa “kita sebenarnya belum merdeka”. Pesan ini bahkan dianjurkan langsung oleh raja satire Indonesia yaitu Mojok.co. haha
Melalui akun Twitternya dengan nada ngegas, Mojok bahkan mengetwitt anjuran yang bertuliskan, “ini kesempatan kalian buat ngetweed “KITA SEBENARNYA BELUM MERDEKA !!!11!!!11”
Kemudian twit yang inspiratif ini dilanjutkan oleh para followersnya yang julid dengan menambahkan kata lanjutan seperti, “kita belum merdeka, wong nyatanya masih banyak yang ngetwit jangan lupa bahagia” atau “kita sebenarnya belum merdeka, warganya aja masih banyak yang jadi budak cinta” atau “kita sebenarnya belum merdeka, karena merdeka adalah bla bla bla dan bla” atau “kita sebenarnya belum merdeka, ha? Kita? Helooo, loe aja kali, gak usah ngajak-ngajak gue.”
Dan saya tidak bisa membayangkan apabila twitt ini dilihat oleh kalangan yang sukanya tereak aseng-aseng. Bisa-bisa kalimat yang muncul malah “kita sebenarnya belum merdeka, karena kenyataannya kita masih dijajah antek-antek aseng! Haduh benar-benar belum merdeka kita ini.
Secara temporal, makna kemerdekaan berkembang secara parsial dan kontekstual, bukan hanya perihal kemerdekaan bangsa saja, yang semuanya sudah dibuktikan dengan de facto dan de jure, namun tentang kemerdekaan berdaulat yang menyangkut sub terkecil dalam sebuah bangsa, yaitu individu-individu yang ada di dalamnya.
Meskipun dalam istilah terminologi kenegaraan berdaulat bermakna kekuasaan tertinggi, tapi bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berdaulat memiliki akar kata daulat, yang bermakna kebahagiaan. Dan pernyataan “kita sebenarnya belum merdeka” merupakan pernyataan yang menyangsinkan kemerdekaan dalam konteks berdaulat (kebahagiaan).
Kondisi ini tidak mengherankan bila setiap menjelang kemerdekaan, selalu saja ada pernyataan yang menyangsingkan kemerdekaan kita, karena pada dasarnya secara individu, menurut beberapa orang, termasuk mojok bisa dibilang bahwa kita memang belum merasakan kemerdekaan dalam konteks kebahagiaan.
Secara umum segala macam pernyataan bijak namun agak julid tersebut tidak salah, namun menurut saya pribadi, ada pernyataan yang lebih pas dalam merepresentasikan kondisi kemerdekaan (secara daulat) saat ini. Kalau kata kawula bijak, “kita ini sebenarnya belum merdeka, bagi saya pribadi sebenarnya kita hanya pura-pura merdeka”.
Iya, kondisi kita saat ini lebih tepat disebut pura-pura merdeka dari pada “belum” merdeka.
Apabila “belum” merdeka dimaknai sebagai sesuatu yang belum terjadi dan masih tidak terjadi, sedangkan “pura-pura” merdeka adalah sesuatu yang belum terjadi dan direkayasa dengan kebohongan untuk terjadi. “Kepura-puraan” kita untuk merdeka menghadirkan akibat yang lebih kompleks ketimbang hanya sekedar “belum” merdeka.
Diibaratkan seperti kamu yang mengetahui kalau si doi belum mencintaimu, dan berusaha membuat dia mencintaimu, karena ada kemungkinan dia akan mencintai dirimu. Bandingkan bila kamu mengetahui ternyata si doi selama ini pura-pura mencintaimu karena dia menginginkan uangmu untuk membeli skin care miliknya. Atau dia pura-pura mencintaimu karena kamu terlihat baik padanya.
Tentunya akan lebih melegakan yang pertama dengan konteks “belum” dari pada “kepura-puraan”. Kata “belum” mengindikasikan bahwa sesuatu belum terjadi karena beberapa batasan dan kekurangan. Sementara “kepura-puraan” menstimulusasi kebohongan sebagai sarana untuk membuat sesuatu seolah olah terjadi, padahal sebenarnya tidak. Dan itu dilakukan seseorang dengan penuh kesadaran.
Dalam konteks kemerdekaan yang berdaulat, secara individu kita kerap kali menerapkan kepura-puraan kita. Yang pada dasarnya kita sebenarnya terjajah secara sadar dan menerapkan kepura-puraan sebagai tameng kemerdekaan kita terhadap kedaulatan diri kita masing-masing.
Dari hal yang paling sederhana misalnya, keterjajahan mata kita. Yah nyuwun sewu, Banyak dari kita yang ketika melihat orang yang dikenal tetapi pura-pura tidak melihatnya, dengan dalih biarkan dia yang memanggilku duluan. Toh saya ini senior, toh saya ini lebih pintar, toh saya ini kan pejabat, dan ngeles-ngeles umbrus lainnya.
Dalam konteks kemerdekaan, mata kita mempertontokan kemerdekaan dibalik terselubungnya keterjajahannya terhadap tindakan yang kita lakukan. Nah iya to wong mata kita ini lihat kok, malah mbok paksa buat nggak lihat.
Perilaku keterjajahan ini kemudian memunculkan keterjajahan lainnya yaitu berupa terjajahnya kita terhadap sikap gengsi yang tinggi. Aah masak saya yang senior ini harus menyapa duluan, ah masa yang muda harus menyapa duluan kan nggak enak. Begitu terus sampai mbulet hingga akhirnya alam berkonspirasi dengan posisi berpapasan dan kemudian lahirlah salah tingkah.
Keterjajahan kita terhadap gengsi pada konteks lain bahkan semakin parah ketika kita memiliki status sarjana. Mosok sarjana kok jadi petani, mosok saya yang lulus cumlaude harus jadi driver ojol, masak saya yang lulusan UI cuma digaji 8 juta, heloooo di mana nalar gengsi kaliaan saudara-saudara, bangsa kita sudah merdeka tapi kalian masih saja terjajah oleh gengsi. Ramashoook !
Pada kasus lain, kita bahkan dengan polosnya mempertontonkan keterjajahan kita terhadap kegilaan eksistensial. Dan kita dengan bangga menyebutnya sebagai kemerdekaan individual. Ngeposting foto liburan di Instagram, bikin caption yang romantis badai, upload story belanja di mall, semua itu dilakukan demi sebuah like dan komen dan kebutuhan dahaga kita akan eksistensi kita masing-masing, kebebasan berekspresi coy, masak dibilang dijajah.
Yah coba deh rasain aja ketika kita sehari tidak posting di media sosial, bila hatimu terasa gundah gulana, maka artinya anda sudah terjajah.
Selain sedikit kasus di atas, masih banyak keterjajahan kita yang kita tutupi dengan kepura-puraan bahwa kita telah merdeka secara berdaulat. Misalnya, keterjajahan kita terhadap mindset yang salah, keterjajahan kita terhadap gaya hidup, hingga yang paling parah adalah keterjajahannya kita terhadap masa lalu. Sungguh yang terakhir benar-benar kita nikmati.
Pada kenyataannya, Jujur dalam hati kita tentu merasa benar-benar tidak nyaman dengan kondisi “kepura-puraan” kita atas kemerdekaan yang kita lakukan? Yah tapi mau bagaimana lagi, “pura-pura” merdeka adalah cara orang jaman sekarang untuk mengarungi kehidupan berbangsa yang telah merdeka ini.
Meski di satu titik kita sebenarnya perlu untuk memerdekan kedualatan diri sendiri dengan menerima keadaan dan kondisi di lingkungan sekitar kita dengan penuh keikhlasan.
Hingga akhirnya saya juga sadar, bahwa selama ini saya juga terjajah oleh mojok yang selalu menolak tulisan saya. Hadeeehhh. (*)