Bulan Ramadan merupakan bulan penuh berkah. Berbagai kegiatan positif dilakukan untuk memperbanyak pahala. Salah satu kegiatan yang identik dengan bulan Ramadan adalah kegiatan sahur on the road (SOTR).
Kita pasti sudah tak asing saat mendengar kata SOTR ketika Ramadan tiba. SOTR sendiri merupakan kegiatan membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang kurang mampu atau musafir yang ada di jalanan untuk bersantap sahur. Nah, pada dasarnya kegiatan SOTR juga bisa membangun karakter yang baik. Menumbuhkan rasa empati, gotong royong, rela berkorban, dan rasa ikhlas berbagi kepada sesama.
Biasanya kegiatan ini dilakukan secara berkelompok, dari satu komunitas tertentu. Dimulai pada dini hari atau pada saat sahur. Tak jarang juga kegiatan SOTR ini ditandai dengan konvoi kendaraan yang berkeliling di jalanan.
Kegiatan ini sudah menjamur di Indonesia dan telah banyak organisasi, komunitas, bahkan individu yang melakukan kegiatan ini. Namun sayangnya beberapa tahun belakangan ini, SOTR yang awalnya punya positive vibes, bertansformasi menjadi ajang balap liar, bahkan tawuran yang bisa memakan korban jiwa. Hal ini juga yang mengakibatkan beberapa daerah kemudian melarang adanya kegiatan SOTR di bulan Ramadan.
Ingat kejadian di bulan Ramadan tahun 2019 silam? Seorang remaja yang sedang melakukan sahur on the road terlibat cekcok dengan segerombolan geng motor. Kejadian tersebut berujung dengan tewasnya sang remaja tersebut secara nahas. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi sekali. Bahkan di bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya pun sudah ada korban dari kegiatan SOTR ini.
Padahal pada bulan Ramadan yang suci ini, kita sangat disarankan untuk berbuat kebaikan dengan cara apa pun yang kita bisa. Sahur on the road memang salah satunya contohnya. Namun sayangnya banyak salah kaprah mengenai kegiatan ini.
Sering kali kegiatan ini justru hanya dijadikan ajang eksistensi suatu kelompok atau komunitas masing-masing. Akibatnya, tidak jarang ditemui orang-orang yang melakukan sahur on the road dengan berkonvoi menggunakan kendaraan yang bising: hanya agar dilirik atau disegani.
Bentuk-bentuk SOTR semacam ini yang seharusnya perlu dipertanyakan. Untuk apa berbuat baik kepada orang lain dengan cara berarogansi di jalanan? Dan apa bedanya dengan mereka yang hanya konvoi di jalan dengan menggunakan kendaraan knalpot bersuara besar yang justru membuat orang takut dan tidak nyaman?
Pernah suatu waktu, ketika saya dan teman-teman satu jurusan melakukan sahur on the road di area Malioboro, kami bertemu dengan segerombolan orang berkendara dengan knalpotnya yang bising. Selain itu, mereka juga menggunakan mobil dengan bak terbuka yang membawa sound system. Dan orang yang berada di atas mobil bak itu berteriak, “Banguuun… sahuuur… sahuuur….” sambil diiringi dengan knalpot yang suaranya bikin orang istighfar 1000 kali.
Lagipula, untuk apa berteriak di jalanan Malioboro yang notabene area pertokoan dan jarang sekali rumah penduduk? Mau bangunin satpam? Kok teriak-teriaknya sudah seperti konvoi kampanye saja? Kita yang melihat mereka jadi bertanya-tanya: Mereka mau ngapain, sih?
Kejadian-kejadian seperti ini yang kemudian membuat saya heran. Jadi sahur on the road tuh penting nggak, sih? Jika dilihat dari realita serta makna dan tujuan sebenarnya dari kegiatan SOTR, memang ada dua jawaban: penting dan nggak penting.
Tetap menjadi penting. Jika setiap orang yang melakukan kegiatan tersebut sadar betul dengan substansi dan tujuan SOTR yang sebenarnya. Sadar bahwa seandainya ribuan menu sahur itu benar-benar tersebar merata tepat sampai kepada orang yang membutuhkan, manfaatnya sungguh sangat besar sekali. Tentunya dengan tanpa membuat masyarakat di sekitar menjadi resah dengan perilaku yang tidak elok.
Tapi menjadi tidak penting, jika hanya untuk ajang eksistensi kelompok yang ujung-ujungnya berakhir brutal. Atau cuma mau dapat pengakuan baik dan eksistensi dengan gaya-gayaan foto di media sosial.
Yah, meskipun mereka mungkin merasa sedang melakukan ‘kebaikan’, tapi di saat yang sama ‘kebaikan’ yang mereka buat tertutupi dengan perbuatan yang justru mengganggu.
Pada dasarnya, semua memang kembali pada niat masing-masing individu ataupun kelompok tersebut. Memang ada beberapa hal yang kita pikir sudah kita lakukan dengan niat baik, tapi ternyata cara mengamalkannya kurang tepat. Alhasil, kita semua memang masih butuh banyak belajar dari setiap kejadian.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.