Selama Arema FC belum memberikan sikap yang tepat, sepak bola Indonesia tetap tak ubahnya sebuah lelucon
Api itu muncul dari dinginnya Malang, nyaris sebelum hujan mengguyur. Satu per satu ledakan yang memekik dalam beberapa waktu terakhir, kini terkalkulasi menjadi ledakan yang lebih besar. Gelombang perlawanan menyisir jalan, menggulung siapa saja mereka yang membela tiran. Bergerak melawan, dan menyingkirkan mereka yang memilih diam.
Andai waktu bisa diputar, tak ada yang menghendaki bom waktu ini meledak. Sayang, Arema FC tak menghendaki itu. Selepas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa lebih, Arema FC memilih titian jalan yang sangat keliru. Tak bersuara menuntut keadilan, Arema FC memilih diam, abai, dan tetap melanjutkan kompetisi seakan tidak ada yang terjadi.
Berbagai suara menuntut Arema FC untuk mengambil sikap. Suporter dari berbagai kalangan, para korban Tragedi Kanjuruhan tak lelah, bahkan sampai berbusa, bersuara menuntut Arema FC mengambil sikap.
Tuntutan agar Arema FC menolak melanjutkan kompetisi menjadi tuntutan yang paling banyak disuarakan. Sayang, lagi-lagi Arema FC memilih diam, memilih abai, dan tetap ikut melanjutkan kompetisi seakan tidak ada yang terjadi.
Sedangkan federasi alias PSSI, ah, ngapain kita ngomongin sampah? Toh mereka juga tidak peduli, kan? Lupakan saja, dan doakan semoga mereka sembuh!
Bom waktu
Sikap abai Arema FC terhadap suara-suara dari suporter menjadi bom waktu yang tinggal menunggu kapan akan meledak. Berbagai macam penolakan muncul dari kelompok suporter lain, ketika Arema tak boleh berkandang di Kanjuruhan dan harus mencari stadion lain sebagai markas. Jogja, Boyolali, dua tempat ini tak menyambut Arema FC dengan baik. Sebuah sambutan yang pantas bagi mereka yang tak punya empati.
Arema FC juga terkesan berlindung di balik pantat PSSI. Ketidakpastian venue bertanding hingga izin kepolisian yang didapat H-7 pertandingan, seharusnya membuat sebuah tim dipastikan WO (walkover). Nyatanya, Arema FC seakan kebal dari hal itu.
Tak ada hukuman WO yang didapat Arema FC ketika tak mampu mendapatkan kepastian di mana venue bertanding dan izin dari kepolisian. Tapi, kita tahu sebenarnya siapa yang ada di balik Arema FC sehingga mendapat “privilese menjijikkan” seperti ini. Ya, tak perlu saya sebut namanya, kalian pasti sudah tahu. Kongkalikong dengan federasi nyatanya berhasil, kan?
Kemarahan suporter generasi baru
Dari gumpalan kemuakan, gelembung-gelembung suara perlawanan yang diabaikan, semakin mempercepat ledakan bom waktu. Dan salah satu bom waktu itu benar-benar meledak. Minggu, 29 Januari 2023, di tengah mendung yang memayungi langit Malang, suara-suara perlawanan itu bergerak dengan satu tujuan. Didominasi warna hitam, suara-suara perlawanan dalam wujud generasi baru suporter ini menyambangi tempat yang katanya “Kandang Singa”, kantor Arema FC. Suara perlawanan menggema dari sana.
Para elit yg sengaja membiarkan hal ini terjadi sedang santai2 aja di atas sana menikmati pemandangan suporter kita yg diolok2 SDM rendah. 😊 https://t.co/U7ZG9BCa6F
— Rere (@rreeere) January 29, 2023
Jalan Mayjend Pandjaitan seperti menjadi miniatur Kurukshetra. Lalu gesekan terjadi antara suporter Aremania generasi baru dengan keamanan (sebut saja preman bayaran atau pion dari tiran yang bernama Arema FC). Dan kita tahu apa yang terjadi setelahnya. Bagian depan kantor Arema FC hancur, dan preman-preman bayaran babak belur. Sebuah ganjaran yang meski jauh dari kata setimpal, namun cukup pas untuk sebuah keabaian, pengkhianatan, dan kezaliman yang dipelihara.
Kon enak, aku enak (Kamu enak, saya enak). Apakah pengkhianat yang sudah babak belur itu masih berani bilang begitu?
Lalu dalam rilis resminya, Arema FC menyesalkan adanya kerusakan kantor Arema. “Terlebih di situasi saat semuanya tengah berproses untuk menjadi lebih baik.” Lebih baik, kata mereka. Apanya yang lebih baik? Apakah sikap abai terhadap hilangnya nyawa 135 lebih Aremania itu pantas dikatakan sebagai “berproses untuk menjadi lebih baik”? Ayolah, apatis terhadap isu kemanusiaan itu bentuk degradasi moral, Bung! Dasar klub cangkeman!
Baca halaman selanjutnya….
Momentum bagi suporter generasi baru yang menolak tunduk pada kekuasaan
Dari deretan peristiwa sejak Tragedi Kanjuruhan di awal Oktober 2022, kita sebenarnya sudah tahu bagaimana klub (dalam hal ini Arema FC) memosisikan suporter. Arema FC hanya menganggap suporter sebagai mesin uang, entah itu dari tiket atau merchandise. Arema FC seakan tak peduli dengan suporter dalam posisi sebagai seorang manusia. Suara-suara dari suporter yang diabaikan, bahkan dianggap angin lalu, memunculkan gelombang protes dan kemarahan yang lebih besar. Sebuah bom waktu.
Dan perlawanan itu muncul dari suporter generasi baru. Kemunculan suporter generasi baru ini seakan menjadi tamparan bagi dunia suporter, khususnya Arema FC dan Aremania. Nyatanya, selama ini wajah Aremania diwakili oleh mereka-mereka generasi tua yang problematik, mereka-mereka yang lebih memilih menjilat pantat klub alih-alih berdiri di sisi suporter, dan memperjuangkan hak-hak suporter. Pengkhianat.
Coba saja lihat wajah-wajah suporter Aremania yang muncul di media beberapa pekan selepas Tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah suporter generasi tua problematis. Suporter generasi tua yang didominasi preman, anggota ormas, yang tak peduli dengan kepentingan suporter secara umum, dan tidak pernah terlihat ikut turun ke jalan (atau bahkan bersuara) menuntut keadilan dari klub dan federasi.
Mereka hanya memedulikan kepentingan mereka sendiri, bagaimana agar mereka tetap mendapatkan belaian manja klub. Sebuah sikap yang hina, pengkhianat, yang pantas dienyahkan, diganti oleh mereka yang menolak tunduk.
Yang muda yang lebih bijak
Dari aksi yang berlangsung Minggu (29/1) siang, suporter generasi baru ini juga menunjukkan sikap legowo mereka dengan meminta maaf kepada pihak-pihak yang dirugikan. Kepada masyarakat Indonesia, kepada masyarakat Malang Raya, kepada klub sepak bola lain, kepada pemain dan mereka yang bekerja di dunia sepak bola, kepada keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, dan kepada seluruh suporter di seluruh Indonesia. Tak terkecuali kepada Persebaya.
Tolong di up juga permohonan maaf dari Aremania untuk Persebaya, seluruh suporter, seluruh tim Liga 1/2/3, yang utama dari tujuan pergerakan yang seharusnya didulukan. Nuwus. pic.twitter.com/t6QsF09LSN
— GonDes! (@GonDesign_) January 29, 2023
Ini adalah secuil titik terang yang coba disebarkan oleh suporter generasi baru. Meminta maaf kepada klub rival atas apa yang terjadi adalah langkah besar hati yang harus diapresiasi.
Persebaya, melalui kelompok suporternya, juga menyambut hangat permintaan maaf ini. Sebuah tamparan bagi federasi atau siapa saja mereka yang masih ingin memelihara permusuhan dengan alasan bisnis belaka. Termasuk bagi kelompok suporter generasi tua yang tak menghendaki perdamaian.
Maka dengan kemunculan suporter generasi baru ini ke permukaan, sepertinya akan menjadi senjakala dan mimpi buruk bagi suporter generasi tua yang kolot dan nirempati. Sudah saatnya suporter generasi tua bermental jongos, pengkhianat, dan penjilat ini enyah, digantikan oleh suporter generasi baru yang berpendirian dan menolak tunduk pada tiran.
Kedamaian memang harus disemarakkan. Pengkhianat dan penjilat harus segera dienyahkan. Dan keadilan harus segera diperjuangkan dan ditegakkan. Jika tidak, bom waktu dengan ledakan yang lebih besar, menunggu di depan sana.
Saya Aremania
Shame on you, Arema FC!! Alih-alih berada di pihak Arek Malang dan para korban, Arema FC malah memberi makan para penjilat. Para generasi tua penjilat dan problematis berkumpul di kantor klub tak tahu malu tersebut pada (31/1). Tak ada solidaritas terhadap korban. Yang ada hanya solidaritas kepada logo klub yang sehari sebelumnya dihancurkan. Ternyata logo leboh penting dari nyawa. Nurani memang sudah mati.
Sementara para penjilat dan pengkhianat diberi ruang, para pejuang dibungkam, dipolisikan. Dan solidaritas kini tertuju kepada para pejuang. Solidaritas untuk Sam Ambon Fanda dkk yang sedari awal selalu menyuarakan usut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Mereka pejuang, bukan kriminal, bukan penjilat, dan bukan pengkhianat.
Jika mereka, generasi tua penjilat, menyebut diri mereka sebagai Aremania, maka boleh lah kita memisahkan Aremania dengan Arek Malang. Kita Arek Malang, generasi baru, adalah pejuang, bukan pengkhianat, bukan penjilat. Saya dengan bangga melepas identitas saya sebagai Aremania yang sudah melekat selama ini. Saya tak sudi bergabung dengan para penjilat berjubah Aremania, yang alih-alih bernurani dan berperikemanusiaan, malah menunjukkan sikap pengkhianat, penjilat, dan abai, sama seperti Arema FC.
Sebab penjilat selamanya hanya akan berada di bawah pantat!
Maka, mengakhiri tulisan ini, sekaligus untuk menjaga agar api perlawanan tetap menyala sampai keadilan didapat, izinkan saya mengutip lirik lagu “Tantang Tirani” dari Homicide.
Ini adalah monumen tenggat kesabaran dan angkara
Satu barisan, ribuan mimpi
Titik berangkat yang tak pernah dapat kami datangi kembali
Terbuang serupa fotokopian pamflet aksi di setiap perempatan
Harapan kami akan berakumulasi menyaingi nyalak senapan kalian
Kami merayap dalam lamat menyaingi hantu-hantu pesakitan
Hingga waktu kalian mencapai tenggat
Kebebasan yang datang saat kau tak memiliki lagi harapan
Saat opsi tersisa adalah berdiri menantang para tiran
Saat momen terhidup dalam hidupmu
Adalah memasang badan di tengah medan
Kawan, mana kepalan kalian
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Yang Belum Tersentuh di Tragedi Kanjuruhan