Membaca artikel di Terminal Mojok berjudul Jangan Ajak Orang Ngawi Merantau karena di Ngawi Banyak Lowongan Pekerjaan membuat saya sebagai warga Blora merasa terkejut dan mengelus dada. Bukan tanpa sebab, saya jadi lebih sadar akan perbedaan mencolok antara kondisi Blora dan Ngawi. Padahal keduanya hanya berjarak sekitar 1 jam perjalanan jika melalui Cepu atau Randublatung.
Dalam artikel tersebut, Mas Hammad Riyadi menggambarkan Ngawi sebagai daerah yang bersiap menjadi pusat industri. Sementara saya melihat Blora masih saja berkutat pada persoalan lama yang belum menemukan solusi akurat.
Lebih jauh lagi, saya juga teringat pada tetangga Blora di sebelah barat, Kabupaten Grobogan. Kini, ia tengah menikmati hasil dari geliat industri di wilayahnya. Grobogan berhasil mencatat tingkat pengangguran rendah, bahkan lebih baik dibanding rata-rata nasional, dengan angka 3,23% pada tahun 2024. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Grobogan juga terus menunjukkan tren penurunan seiring dengan peningkatan jumlah angkatan kerja dan penduduk yang terserap dalam dunia kerja.
Sementara itu, situasi di Blora cukup berbeda. Berdasarkan data BPS Desember 2024, angka pengangguran terbuka di Blora justru naik menjadi 3,67 persen atau sekitar 19.801 orang. Kenaikan tersebut jelas menjadi indikasi perlambatan ekonomi yang sedang dihadapi Bumi Samin. Lantas pertanyaannya, apa yang membuat Blora belum menarik minat investor dan pelaku industri untuk menanamkan modal di sini?
Potret ketertinggalan yang justru terus diromantisasi
Masalah utama Blora bukan disebabkan minimnya sumber daya alam. Masalahnya ada pada pola pikir pembangunan yang berjalan seperti odong-odong: berisik, berputar-putar di tempat, tapi tak pernah sampai tujuan.
Saat kabupaten tetangga berlomba menggaet investor dengan penyederhanaan perizinan, insentif pajak, hingga promosi gencar, Blora masih sibuk membuat rencana induk kawasan industri yang entah sudah berapa kali disuarakan. Misalnya impian pembangunan kawasan Cepu Raya. Padahal investor tentu saja tidak bodoh. Mereka tidak akan menanam modal hanya karena dijanjikan “potensi besar”. Mereka butuh kepastian infrastruktur, stabilitas birokrasi, dan kemudahan usaha. Sayangnya ketiga hal ini masih menjadi barang mewah di Blora.
Lebih memprihatinkan lagi, ketika keterbelakangan pembangunan justru dikemas dengan narasi romantis yang berlebihan. Seolah-olah seni tradisi dan kuliner lokal adalah jawaban atas semua persoalan ekonomi. Tak bisa dimungkiri, promosi budaya dan makanan khas daerah memang memiliki nilai strategis. Namun jika keduanya hanya dijadikan tameng untuk menutupi stagnasi dan kegagalan menghadirkan pertumbuhan ekonomi riil, itu bukan langkah pelestarian. Tetapi bentuk lain dari pembiaran terhadap kemalasan birokratis yang sistemik.
Baca halaman selanjutnya: Warga Blora tidak sedang kekurangan…
Warga Blora tidak sedang kekurangan agenda festival budaya atau rekomendasi warung nasi pecel legendaris. Justru yang mereka butuhkan adalah akses terhadap pekerjaan yang layak. Fakta bahwa generasi muda Blora tumbuh dengan keyakinan bahwa kesuksesan hanya mungkin diraih di luar tanah kelahiran adalah alarm sosial yang seharusnya segera ditanggapi serius. Bila hal ini terus berlanjut, Blora secara tidak langsung sedang membentuk paradigma bahwa bertahan di kampung sendiri sama saja dengan menyerah pada keterbatasan hidup.
Bukan anti kemajuan zaman
Bumi Samin sama sekali bukan penentang kemajuan zaman. Permasalahan sebenarnya terletak pada salah tafsir terhadap nilai-nilai luhur Saminisme itu sendiri.
Tak jarang dalam berbagai diskusi santai bersama rekan-rekan sambil menikmati kopi khotok khas Cepu, sering kali saya mendengar pertanyaan mengapa Blora tak kunjung berkembang. Kemudian pertanyaan ini dijawab dengan anggapan keliru bahwa masyarakat Samin lah yang enggan mengikuti arus zaman. Entah itu candaan atau serius, saya berharap itu hanya guyonan untuk meredakan kekecewaan atas kondisi yang stagnan ini.
Anggapan bahwa masyarakat Samin menolak kemajuan dan perubahan jelas sebuah kesalahan besar yang harus segera diluruskan. Pada hakikatnya, Saminisme bukanlah sikap antipati terhadap perkembangan teknologi atau kemajuan zaman. Tetapi perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan kebijakan yang menindas rakyat kecil.
Oleh sebab itu, pengasingan yang dilakukan masyarakat Samin di masa lalu tak bisa disamakan dengan penolakan terhadap kemajuan zaman. Justru sikap prihatin dan luapan kekecewaan rakyat yang selalu diperas oleh pemerintahan kolonial. Sehingga Bumi Samin bukanlah sebuah kutukan yang menjadikan daerah ini terbelakang dan terisolasi. Justru kondisi ini harus menjadi peringatan serius. Tanpa kepemimpinan visioner, berintegritas, dan bertanggung jawab, kemajuan hanya akan menjadi ilusi yang terus dipupuk nostalgia kosong dan retorika tanpa tindakan.
Pemerintah Kabupaten Blora harus segera bergerak nyata. Jika tidak, Blora akan terus menjadi saksi bisu dari janji-janji pembangunan yang tak kunjung jelas juntrungannya.
Blora punya berbagai akses transportasi dan daya saing yang mesti diperjuangkan bukan ditinggal saat kegiatan seremoni usai
Blora sebenarnya telah memiliki berbagai aset transportasi yang sangat strategis. Seharusnya hal ini bisa menjadi kekuatan utama untuk mempercepat kemajuan daerah dan menarik minat para investor. Seperti keberadaan Stasiun Cepu yang tersambung ke jaringan kereta api nasional, terminal tipe A yang sudah melayani arus mobilitas masyarakat dan distribusi barang, serta bandara yang mestinya menjadi keunggulan kompetitif. Semua itu adalah aset yang jika dikelola dengan serius dapat membantu kesejahteraan masyarakat Blora.
Sudah saatnya para pemimpin daerah berhenti memperlakukan potensi besar yang dimiliki Blora sebagai pajangan semata. Jika terus dibiarkan telantar atau tidak dimanfaatkan dengan optimal, bukan hanya kemajuan Blora yang terhambat, harapan dan masa depan warga juga bisa habis terkikis oleh waktu.
Blora bukanlah daerah tanpa harapan, melainkan daerah yang menunggu keberanian dan komitmen nyata dari pemimpinnya untuk bergerak cepat dan bertindak nyata. Jangan sampai Blora hanya dikenang sebagai daerah dengan aset besar yang berujung menjadi sia-sia karena ketidaktegasan dan sikap tidak acuh para pejabatnya.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
