Selain identik dengan bulan yang penuh berkah, Ramadan identik juga dengan petasan. Benda berdaya ledak rendah atau low explosive ini sejarahnya dibawa oleh orang-orang Tiongkok berabad-abad yang lalu ke Indonesia yang kemudian digunakan untuk memeriahkan berbagai acara seperti resepsi pernikahan hingga festival kebudayaan. Tak ketinggalan, petasan pun kerap kali “memeriahkan” Bulan Suci Ramadan di Indonesia.
Tentu, yang saya maksud dengan “memeriahkan” itu bermakna negatif. Sejak saya kecil, saya menyaksikan banyak orang yang sibuk main petasan alih-alih fokus ibadah saat Ramadan. Mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang dewasa. Umumnya, petasan yang saya maksud dimainkan setelah salat subuh maupun saat pelaksanaan ibadah salat tarawih.
Mereka-mereka yang memainkan petasan saat Ramadan mungkin hanya mengekspresikan kebahagiaan mereka saat bulan Ramadan. Tapi mereka lupa, memainkan petasan setelah salat subuh maupun saat pelaksanaan ibadah salat tarawih itu mengganggu umat Muslim yang lagi fokus beribadah. Tahu sendiri, salat itu kan harus khusyuk. Kalau dengar suara kerasnya, bisa-bisa kehilangan konsentrasi. Hitungannya zalim, MyLov!
Daftar Isi
Orang yang rugi karena suara ledakan petasan
“Kalau main petasan di luar waktu tersebut gimana?”
Tetap nggak boleh atuh! Di luar waktu tersebut bakal banyak yang dirugikan oleh suara barang yang kalian mainkan. Ada orang sakit yang butuh istirahat. Kalau dengar suara petasan pasti bakalan terganggu. Ada bayi yang bakal terbangun karena mendengar suara petasan. Kalau dengar suara petasan, bukan cuma si bayi yang terganggu, kedua orang tuanya juga bakal terganggu dan bisa ngamuk karena mereka sudah susah-susah bikin si bayi bisa tidur.
Ada juga lansia yang istirahatnya bisa terganggu karena mendengar suara petasan. Kalau istirahat yang terganggu sih mending. Gimana kalau kena serangan jantung coba? Mikirnya harus kesana dong, Ramadan kok malah bikin berisik.
Teman saya yang sudah memiliki anak bahkan selalu mengeluh pada saya tiap kali nongkrong. Dia berkata suara suara petasan sering membangunkan anaknya. Ujung-ujungnya nggak cuma si bayi yang kurang tidur, orang tuanya pun jadi kurang tidur dan kurang bergairah saat kerja karena terganggu suara petasan yang kerap kali dimainkan saat bulan Ramadan. Demikian juga saya, yang kerap kali terbangun sebelum waktu sahur atau saat tidur siang karena suara petasan yang dimainkan.
Hargai umat lain
Saya jamin, tidak sedikit juga umat beragama lain seperti umat Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu yang terganggu dengan bunyi petasan jegar-jeger yang selalu terdengar saat Ramadan tiba. Tapi karena mereka minoritas di Indonesia, mereka nggak berani protes deh.
Selain itu, kasihan juga hewan-hewan yang ada di sekitar kita, seperti kucing, anjing, kelinci, burung, hingga kelelawar yang nggak cuma berpotensi trauma akibat suara petasan, tapi berpotensi terluka, cacat, hingga meninggal dunia akibat ledakannya. Coba mikirnya ke sana, tolong.
“Ah, kamu mah nggak asyik! Kaku banget jadi orang kayak kanebo kering!”
Dibilangin ngeyel ya! Main petasan tuh nggak sekadar merugikan orang lain seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Main petasan juga berpotensi merugikan diri sendiri, tahu! Nih ya, beberapa bulan yang lalu, Wakil Bupati Kaur, Bengkulu harus rela kehilangan dua jarinya karena main petasan saat merayakan malam pergantian tahun. Emang kalian mau kehilangan jari akibat main petasan? Peristiwa tersebut pun nggak cuma terjadi sekali doang, tapi tiap Ramadan ada aja kejadian serupa. Mikirnya harus ke sana dong, tolong.
Perayaan ya perayaan, tapi tolonglah empatinya
“Terus apa gunanya diciptakan petasan? Bukannya untuk memeriahkan perayaan?”
Memang betul, benda tersebut diciptakan untuk memeriahkan perayaan. Tapi ya tolong jangan dimainkan (tiap saat) di bulan Ramadan. Nyalakanlah dengan aturan, seperti dilakukan pada saat perayaan resmi yang dilaksanakan di lapangan terbuka dengan jarak yang aman dari masyarakat umum, serta dilakukan oleh profesional di bidangnya untuk meminimalisir ledakan yang berpotensi bikin cedera orang lain maupun meminimalisir risiko kebakaran.
Saya juga berharap, Pemerintah melalui aparat kepolisian yang ada di bawahnya bisa menegakkan aturan yang ketat terkait peredaran barang ini, yang bisa merugikan banyak orang di bulan Ramadan seperti yang saya sebutkan di atas. Saya juga berharap, para Ustad/Ustadzah, para guru di sekolah, hingga orang tua bisa menasihati para generasi muda biar nggak sembarangan main, biar nggak merugikan diri sendiri maupun orang lain supaya kita bisa jadi bangsa yang lebih beradab.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengenang Asyiknya Main Petasan Setelah Tarawih