Bisa Nggak sih Kita Memanfaatkan Turnitin untuk Meminimalisir Plagiarisme Karya Sastra?

turnitin plagiasi mojok.co

turnitin plagiasi mojok.co

Kasus plagiarisme kembali terjadi. Kali ini menempeleng wajah para redaktur sastra yang kebablasan menerbitkan cerpen yang terbukti plagiat. Cerpen yang hanya mengedit sedikit karya yang sebelumnya terbit, dengan hanya mengganti tokoh dan profesi dari tokoh pada cerpen namun mempunyai ide dan alur cerita yang serupa. Bahkan profesi dari tokoh utama dalam cerpen pun mirip-mirip. Parahnya penulisnya bahkan melakukan auto plagiarisme karena mengirim naskahnya ke dua media berbeda dan terbit di waktu yang hampir bersamaan.

Seketika kasus ini ramai dikomentari publik sampai ada yang berkomentar sebaiknya para redaktur menggunakan aplikasi yang digunakan oleh perguruan tingi untuk mendeteksi plagiarisme. Meski ia tidak menyebutkan spesifik apa aplikasi yang dimaksud, saya mengerti yang dimaksud adalah Turnitin. Pertanyaannya bisakah Turnitin membantu para redaktur media pada umumnya dan redaktur sastra secara khusus?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak, tergantung pemahaman dari pengguna Turnitin itu sendiri. Turnitin sampai saat ini hanya mampu mendeteksi kasus plagiarisme murni atau kasus plagiat total. Artinya plagiarisme tidak hanya mencuri ide, tapi semua kata dan pola tiap kalimat yang ia tulis sama persis tanpa diparafrasa. Saya yakin tidak ada orang sebodoh ini melakukan plagiarisme total dan mengirimkan ke media untuk mendapat cuan. Pasti ia setidaknya sudah mengganti karakter, mengubah profesi, dan memparafrasa setiap kalimat agar tidak terlihat sama, seperti kasus baru-baru ini.

Turnitin sebagai aplikasi hanyalah mesin yang masih bisa diakali. Ia hanya membantu untuk menilai karya ilmiah yang ditulis akademisi atau para calon akademisi tidak semata-mata copy-paste dari sumber yang telah ada pada big data (internet). Turnitin tidak bisa menolong untuk mengungkap apakah idenya adalah plagiat atau tidak. Ia seperti halnya mesin penerjemah yang digunakan para penerjemah dalam membantu kerja mereka lebih cepat. Ia tidak bisa menggantikan para kurator manusia yang berakal, setidaknya untuk saat ini.

Turnitin bahkan bisa diakali jika sumber itu diambil dari media cetak ternyata belum diunggah secara daring. Ia hanya mesin bodoh yang bahkan membuat seorang peneliti yang merujuk penelitiannya sebelumnya harus tetap melakukan parafrasa ketika mengutip. Ia tidak peduli kamu mengutip dari tulisanmu sebelumnya atau tidak, selama ada kesamaan pola, pilihan kata, maka akan dideteksi sebagai plagiat.

Ada kasus menarik dari seorang dosen yang terlambat mengunggah hasil penelitian ke internet dan ia terdeteksi melakukan plagiarisme. Lucunya ia terdeteksi melakukan plagiarisme karena karya ilmiah milik mahasiswanya merujuk dengan copy-paste beberapa kalimat dari tesis si dosen yang belum dinggah daring. Ketika dosen itu mengirim ke jurnal ilmiah hasil penelitian, Turnitin mendeteksi adanya beberapa persen plagiarisme yang membawanya kepada karya ilmiah milik mahasiswanya yang mengutip bukunya. Menyedihkan bukan?

Turnitin hanya mampu mendeteksi cover paling luar dari suatu karya, tidak mampu menyelami sampai ke dalam teks, wacana, apalagi ide dari suatu karya. Mustahil rasanya menyerahkan segalanya pada Turnitin untuk menilai apakah suatu karya adalah plagiat atau tidak. Apalagi jika itu adalah karya sastra yang tidak mungkin mampu diselami mesin seperti Turnitin. Tapi tidak ada salahnya menggunakan Turnitin untuk membantu mempercepat menilai suatu karya itu plagiat atau tidak.

Kita sama-sama tahu kerja redaktur sangatlah melelahkan harus membaca banyak naskah sampai bisa menyatakan suatu naskah itu layak atau tidak untuk terbit. Sudah gitu beberapa kali redaktur masih saja kecolongan sehingga ada yang dengan tega mengatakan redakturnya kurang baca. Itu tuduhan agak berlebihan saya rasa mengingat begitu banyaknya karya yang masuk ke emailnya untuk ia baca. Mungkin ada baiknya juga redaktur memanfaat Turnitin untuk memudahkan kerjanya. Turnitin memang tidak mampu untuk mendeteksi plagiarisme sampai tataran ide tapi bisa digunakan untuk membatasi bacaan redaktur.

Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan memanfaatkan bank naskah yang ada di internet. Turnitin yang mampu melihat kesamaan pola tulisan, pilihan kata dari setiap naskah yang ada di internet akan memberikan redaktur batasan naskah yang harus dibacanya. Redaktur cukup membaca naskah-naskah yang dianggap punya kesamaan oleh Turnitin. Setiap tulisan pasti ada kesamaan pola dan pilihan kata. Tapi ketika ada kesamaan mohon untuk tidak cepat-cepat menyatakan plagiat karena mungkin saja hanya kesamaan pilihan kata dan pola namun hanya sebatas itu tidak sampai tahapan ide.

Dengan memanfaatkan Turnitin redaktur cukup fokus untuk membatasi hanya membaca naskah-naskah yang memiliki kesamaan 20 persen atau lebih. Jika tidak ada naskah yang memiliki 20 persen kesamaan maka redaktur bisa mengacuhkan, jika ada redaktur boleh membatasi hanya membaca itu saja.

Apabila redaktur sudah melewati proses ini masih juga kecolongan, tidak perlu khawtir, cepat atau lambat karya plagiat pasti ketahuan. Selama orang masih membaca, selama media sosial masih ada, selama manusia masih memiliki kepedulian terhadap karya yang dicuri, selama itu pula kasus plagiarisme akan terus terungkap.

BACA JUGA Mengenal Cara Bayi Memproduksi Bahasa dan Melakukan Kategorisasi dan tulisan Aliurridha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version