Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan Raden Muhammad Wisnu di Terminal Mojok berjudul Saya Bersyukur Tidak Terlahir di Negara India. Intinya, belio mau bilang bersyukur telah lahir di Indonesia karena selamat dari permasalahan-permasalahan yang ada di India. Isi tulisannya mengesankan, bahkan usaha belio memaparkan permasalahan akut di India mampu membuat mata saya berair, sebab sedih.
Tapi, belio melupakan satu hal, bahwa apa yang belio bilang sebagai mimpi buruk di India juga terjadi di Indonesia kita ini. Yang terjadi belio terlalu cepat bersyukur sehingga lupa melihat kiri-kanan yang masalahnya adalah replika dari yang belio paparkan tentang India.
Soal pertama, belio menggambarkan lonjakan kasus corona di India yang disebabkan karena pemerintah setempat di India sana tidak tegas atau membiarkan kegiatan keramaian seperti Festival Kendi. Padahal Indonesia juga dalam masalah yang sama, di Tanah Abang Sabtu-Minggu kemarin, mendadak menjadi “lautan manusia” oleh mereka yang ingin belanja kebutuhan Lebaran, belum lagi tempat wisata, ya walau pemerintah masih lanjut larang mudik part 2. Tapi ya sama aja, ada yang dibiarkan berkerumunan karena tidak tegasnya pemerintah sehingga lonjakan kasus corona bisa kapan saja terjadi.
Selanjutnya masalah buang air besar sembarangan, memang India terkenal dengan kebiasaan buang air besar sembarang. Bahkan, praktik buang hajat sembarangan telah ada sebelum India merdeka pada 1947. Kendati demikian, jangan bersyukur dulu karena Anda lahir di Indonesia dan bukan di India. Sebab, dalam peringkat buang air besar sembarang di WHO, kita bersaing ketat dengan India. Ya India di posisi pertama, dan Indonesia di posisi kedua. Menurut Laporan gabungan WHO/UNICEF di tahun 2017, lebih dari 31 juta penduduk Indonesia masih BABS dan itu menjadikan kita negara di urutan kedua terbanyak di dunia.
Benar saja, saya sendiri lahir di lingkungan masyarakat yang masih belum BAB secara normal sesuai anjuran hidup sehat. Di sana Anda akan menemukan anak-anak yang berak di selokan pinggir jalan baik pagi, siang, sore, atau kapan pun alam memanggil mereka. Kalo yang sudah beranjak dewasa biasanya memilih sawah yang jauh dari pemukiman warga, kadang ada juga yang berak dalam kantong plastik lalu diterbangkan ke arah yang jauh dari jangkauan hidungnya, namun dekat dengan hidung yang lain. Yang paling ekstrem, praktik berak di halaman belakang rumah, dengan modal menggali tanah untuk kemudian ditimbun dengan kotoran penghuni rumah, bayangkan nasib tetangganya. Dan sialnya saya adalah tetangganya itu.
Tentu bukan cuma di desa di mana saya dilahirkan. Hampir setiap desa di kabupaten saya, yang pernah saya lihat atau kunjungi pasti memiliki satu-dua yang memilih buang air besar sembarangan. Ada yang karena memang tidak punya toilet di rumah, hingga alasan kebiasaan. Dan perlu digarisbawahi saya bicara Indonesia ya, ini bukan di India.
Berikutnya alasan Mas Wisnu bersyukur tidak lahir di India adalah karena angka pemerkosaannya begitu tinggi di sana. Belio lupa lagi, jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia selalu tinggi. Bahkan Komnas Perempuan pernah menyebut setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Maka jangan heran dengan headline di media massa kita, yang hampir setiap harinya pasti punya kata pemerkosaan di dalamnya.
Gambaran masalah di India lain, yang cemaskan Mas Wisnu adalah soal sapi yang dibiarkan berkeliaran, di kabupaten saya itu juga terjadi. Hewan peliharaan masyarakat seperti sapi, kambing, kerbau bahkan. Bebas berkeliaran, merusak tanaman, memakan bunga-bunga yang sedang mekar-mekarnya, halaman rumah warga yang lupa menutup pintu pagar pasti akan dihadiahi “kue” (kotoran hewan), dan itu merupakan sekumpulan kegelisahan orang yang terdampak dari kurangnya tanggung jawab pemilik hewan.
Kadang-kadang hewan tersebut berakhir dengan ditabrak kendaraan di jalan, karena hewan-hewan itu saking bebasnya berkeliaran sampai ke jalan raya. Tidak heran, bila kecelakan disebabkan hewan adalah tragedi yang terus menghantui daerah saya.
Jadi, tidak dapat dimungkiri memang ada satu-dua yang bernasib baik di negara ini maupun di India sana. Saya yakin di India sana juga ada yang sangat senang karena telah dilahirkan di negaranya, dan saya turut yakin di India juga ada yang bernasib buruk yang setiap hari membayangkan hidup di tempat atau negara khayalan yang menjanjikan kehidupan sempurna.
Mungkin Mas Wisnu hidup di salah satu kota di Indonesia yang sudah bebas dari permasalahan-permasalahan tadi, maka wajar bersyukur tidak lahir di India untuk merasakan problem akut itu. Akan tetapi, ada tempat atau daerah di Indonesia yang belum bisa bebas dari permasalahan yang menakutkan tersebut. Oleh demikian, saya yakin cukup banyak warga negara Indonesia alih-alih bersyukur tidak lahir di India. Wong, lahir di Indonesia nasibnya sama dengan ketakutan Mas Wisnu seandainya lahir di India.
BACA JUGA Saya Bersyukur Tidak Terlahir di Negara India dan tulisan Muhammad Sabri lainnya.