Dear Mbak Puan Maharani,
Selamat sebelumnya telah menjadi pilot perempuan pertama bagi DPR; setelah 74 tahun lamanya dominasi laki-laki lembaga legislatif itu berdiri. Semoga RUU PKS cepat disahkan dan revisi UU Perkawinan masuk prioritas Prolegnas setahun ke depan ya, Mbak.
Tapi Mbak Puan, saya mau bilang begini: agaknya tugas lima tahun ke depan sungguhlah berat. Pertama, sebab kepercayaan masyarakat telanjur ambyar kepada anggota DPR. Ya karena banyak betul kontroversi yang dibikin pendahulu-pendahulu sampean. Kemudian semua emosi itu terakumulasi; bertumpuk-tumpuk hingga puncaknya muntah pada hari-hari menjelang DPR 2014-2019 longsor, eh lengser.
Saya melihat sudah oke tuh pidato Mbak Puan pasca ditarik sumpah oleh hakim MA: kami (DPR) tidak anti kritik; saya akan menjadikan DPR menjadi rumah rakyat yang sesungguhnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Terdengar agak formil dan narasi yang hampir sama dari satu periode ke periode. Tapi cukup okelah sebagai permulaaan. Setidaknya terlihat niat baiknya, meski selalu begitu sih pidato-pidato.
Tapi tetap ada yang harus diingat—menyitir Sukab, dalam Sepotong Senja untuk Pacarku-nya Seno Gumira—siapa yang masih sudi mendengar kata-kata (DPR) di dunia ini, Mbak Puan? Sederhananya yang mau saya bilang hanyalah: ada semacam krisis kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya di parlemen. Dan krisis kepercayaan itu lebih m(u)asok diatasi dengan kerja-kerja anggota DPR setelah ini. Saya kira memang tidak mudah, tapi apa salahnya mulai memperbaiki? Sebab jika periode ini masih gagal mengembalikan kepercayaan masyarakat, ke depan bisa akan lebih buruk; demokrasi jangka panjang menjadi taruhan.
Kedua Mbak Puan, terkait fungsi legislasi yang menjadi sorotan belakangan. Baik dari segi kuantitas mau pun kualitas UU yang dihasilkan. Gaduh soal RKHUP, RUU Minerba, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan, revisi empat kali UU MD3, RUU Koperasi, revisi UU KPK, RUU KKS, dan banyak lagi mestilah menjadi refleksi dan evaluasi. Kuantitas UU yang dihasilkan juga mesti menjadi perhatian khusus. Atau dengan kata lain, harus ada target sekaligus sistem agar UU yang dirampungkan pada periode ini meningkat dari sejumlah 35 UU ‘murni’ pada periode lalu.
Sebab masyarakat menilai kerja-kerja DPR, salah satunya, melalui fungsi legislasi itu, Mbak Puan. Apakah yang menghambat perampungan UU adalah Pemerintah, misal, sejujurnya masyarakat tidak peduli-peduli amat. Ya bagaimana, kata Pemerintah justru UU inisiatif yang menghambat adalah DPR, kata DPR adalah Pemerintah. Kan hmm sekali jadinya.
Ketiga yang harus dihadapi adalah citra institusi dan integritas anggota dewan, Mbak. Periode lalu sebanyak 23 anggota dewan diciduk KPK. Itu sulit betul dilupakan oleh masyarakat tentu saja. Terlebih revisi UU KPK yang diketok senyap menjadi sorotan dan banyak menuai kontroversi. Salah satu pesan yang diterima masyarakat, dari pengesahan revisi UU KPK adalah: ada upaya pelemahan terhadap lembaga anti rasuah itu. Terbukti dari banyaknya gelombang penolakan dari berbagai kota.
Mau diakui atau tidak, Mbak Puan, institusi yang akan sampean pimpin 5 tahun ke depan memang telanjur punya citra buruk. Partisipasi rapat, misal, atau serba-serbi bobok nyenyak yang cepat viral di media sosial. Sejujurnya sudah sejak lalu kerja-kerja DPR banyak menjadi sorotan, tapi apa mau dikata, kritik—sepertinya—hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Hanya menjadi lucu-lucuan—ingat bagaimana DPR menggelar lomba kritik stand up comedy? Lord Fahri cs terlihat tergelak, penuh tawa, lebih fokus pada ‘humor’ yang dibawakan ketimbang substansi kritik; dan ini menjadi berbeda ketika masyarakat justru menolak terang-terangan pemilihan pimpinan KPK dan revisi UU KPK. Ada indikasi bahwa kritik masyarakat hanya menjadi semacam ‘hiburan’ dan tidak betul-betul ditanggapi.
Terakhir adalah komunikasi. Citra institusi dapat ‘dibersihkan’ melalui komunikasi kepada masyarakat. Di era komunikasi digital ini, media sosial, barangkali, bisa menjadi kunci. Entah misal, dengan membuat semacam infografik, video animasi, atau poster yang menggambarkan kerja-kerja DPR. Atau malah, potret-potret bobok nyenyak menjadi dasar untuk komunikasi kepada masyarakat.
Intinya adalah jangan ada kekakuan di antara kita ya, Mbak. Jangan sedikit-sedikit merendahkan kehormatan dewan, galak balik kalau dikritik, melapor ke polisi, dan lain-lain. Komunikasi kuno semacam itu, saya kira, tidaklah terlalu efektif dan justru semakin melebarkan jurang antara masyarakat dan wakilnya di parlemen. Humor tanpa menghilangkan substansi atau merendahkan harga diri. Mirip-miriplah dengan admin media sosial TNI-AU.
Akhirnya komunikasi menjadi ‘dua arah’; DPR benar-benar ‘hadir’ dan berkomunikasi dengan cara-cara ‘khas’ orang dulu dan pesantren: humor tanpa merendahkan dan menghilangkan substansi. Tapi komunikasi juga mesti ditunjang dengan kerja-kerja nyata ya, Mbak Puan. Maka saya menarik simpulan begini pada akhirnya, apa-apa yang dihadapi Mbak Puan dan DPR 2019-2024 adalah: krisis kepercayaan masyarakat, citra institusi dan integritas anggota dewan, fungsi legislasi, pengawasan, anggaran, dan pencarian tim serta admin media sosial yang ‘oke’ dan tidak kaku bin kenceng-kenceng amat.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat atas dilantiknya DPR 2019-2024 dan mari mengawal sejak dini. (*)
BACA JUGA Ibu Saya Anggota DPR yang Sedang Didemo dan Anak-anaknya Ribut di Grup WhatsApp atau tulisan Haryo Pamungkaslainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.