Tidak semua hal yang muncul dan menjadi populer itu adalah hal yang bagus. Jika suatu hal, atau suatu tren muncul dan menjadi populer, itu karena cukup banyak orang yang suka dan orang yang mengikuti saja. Tapi ya nggak berarti populer itu jadi indikator bagus atau berkualitas.
Ini yang bikin saya kesal. Banyak orang yang berpikir kalau sesuatu yang populer itu sesuatu yang sudah pasti bagus atau berkualitas. Makanya ketika ada orang yang nggak ikut-ikutan hal populer itu, atau malah benci sama apa yang sedang populer suka dicaci, dihina, disebut sok elitis dan sok edgy karena nggak mau ikutan tren.
Tren tantangan #UntilTomorrow yang kemarin lagi rame misalnya, tren ini bikin banyak orang ikut-ikutan karena dianggap mengasyikan. Tapi buat orang yang nggak suka mengunggah foto, apalagi foto yang memalukan, ya wajar dong kalau nggak mau ikutan tantangan itu? Salahnya di mana coba? Hah???
Terus apa karena tantangan ini diikuti banyak orang, lantas membuat dia jadi tantangan yang bagus? Kan ya nggak. Tantangan yang bagus tuh yaa, yang bisa bikin vaksin corona, atau bisa bantu mewujudkan perdamaian dunia. Tantangan #UntilTomorrow kan nggak kayak gitu. Tantangan ini aslinya nggak ada faedahnya, cuma ngilangin bosen doang. Itu pun, nggak seberapa lama—soalnya besoknya tantangannya udah nggak rame lagi ckckc.
Tren yang cuma sementara ini jadi bukti kalau ini adalah tren yang jelek, yang kebetulan saja bisa populer. Makanya jangan marah atau sebel sama orang yang nggak suka sama tren begituan.
Saya pikir membenci sesuatu yang sedang populer ini marak di masyarakat kita. Apa pun, mau itu tren di media sosial, musik, film, dan sebagainya, selalu ada orang-orang yang memposisikan diri sebagai pembenci sesuatu yang populer. Mereka ini ya nggak salah karena pasti punya alasan kenapa mereka benci hal tersebut. Bisa jadi karena mereka paham soal suatu kualitas, atau emang karena mereka bukan pasar yang pas dengan hal yang populer tadi.
Contoh lain dari ranah musik misalnya. Beberapa waktu terakhir, banyak sekali musisi-musisi “solo” yang meroket naik menguasai panggung-panggung. You named it lah, tidak perlu saya sebut namanya. Mereka menarik banyak sekali penggemar, mulai dari yang fanatik sampai yang sekadar tahu saja. Lagunya yang cukup ramah telinga, hingga penampilan mereka yang menarik, menjadikan mereka dikelilingi oleh banyak sekali penggemar. Seperti nabi, apa yang mereka katakan akan diikuti oleh penggemarnya. Namun, tidak sedikit juga orang-orang yang tidak menyukai mereka, membenci mereka.
Apakah mereka yang membenci musisi-musisi ini hanya karena popularitas? Tentu tidak. Ada banyak alasan, banyak aspek untuk tidak menyukai sesuatu, atau musisi dalam hal ini, terlebih lagi ini di ranah musik.
Bisa jadi, mereka yang membenci musisi-musisi ini karena mereka menganggap musiknya jelek, atau live performance-nya sangat buruk, atau bisa juga karena pola pikir dan sikap musisi tersebut. Oke lah musik itu soal selera, tetapi kalau secara selera sudah tidak cocok, lalu teknik bermain musiknya masih bagus, mungkin masih bisa dimaafkan. Lha ini, sudah secara selera tidak cocok, teknik main musiknya biasa saja, ya good bye kalau gitu.
Para “pembenci” ini juga sering dicaci dan dihina oleh para penggemar musisi itu. Dibilang tidak mengerti musik, dibilang sok elit, dan macam-macam hinaan dan cacian lainnya. Padahal, bukan itu alasannya. Tapi mereka juga tetap tidak mengerti kalau dijelaskan, jadi percuma saja. Lagian, apa sih yang salah dari membenci sesuatu yang populer? Harusnya sih tidak ada. Kalau yang populer adalah sesuatu yang bagus, ya pasti semua suka, lah. Kalau yang populer adalah sesuatu yang jelek, ya wajar kalau ada pembencinya.
Jadi, jangan buru-buru menyalahkan atau menggeneralisir orang-orang pembenci hal populer sebagai orang yang sok elit, sok edgy, atau apa pun. Bisa jadi, mereka ini punya alasan membenci yang lebih logis dan lebih bisa diterima, dibandingkan alasan-alasan mereka yang menyukai dan mengikuti hal populer itu.
Intinya, mereka yang dicap pembenci hal populer itu bukan membenci populernya, mereka membenci hal-hal yang jelek, yang kebetulan saja sedang populer. Penekanannya bukan di populernya, tetapi di jeleknya. Jadi tidak salah kalau ada para pembenci ini. Meskipun, hal-hal yang populer sering kali jelek, hehehe.
BACA JUGA Membayangkan Kehidupan dan Kematian dalam Lagu Putih-nya Efek Rumah Kaca atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.