Saat saya menulis ini masih tersisa lima jam sebelum buka puasa. Pukul satu siang, terik matahari menembus ke dalam rumah lewat ventilasi. Saya yang selonjoran di ruang tengah, dengan mata menatap iklan-iklan di televisi, dilanda halusinasi. Hawa panas membuat saya membayangkan jus jeruk iklan nutrisari tumpah dari layar. Menyegarkan.
Moshi moshi moshi, moshi moshi moshi! Nada dering telepon pintar saya berbunyi nyaring. Tertulis di layar—‘Om Baudrillard’.
“Halo, Om!”
“Pelanggan yang terhormat, tekan satu untuk menanggung biaya telepon ini,” jawab customer service di ujung sana.
Kumatikan panggilan itu sambil memaki, “Dasar filsuf misqueen! Bisanya cuma missedcall”. Tetapi, rasa hormat pada paman filsuf yang satu ini, membuat saya memutuskan menelepon beliau.
Karena ku seloow,, sangat selow.—Anjir, NSPnya kece, uwuwuwu~ Om Baudrillard diam-diam seorang Vilanisti.
“Hello.”
“Halo, Om! Ada apa nih? Siang siang udah missedcall aja”.
“Ke mal yuk, Ham.”
“Ngapain di sana?”
“Jalan-jalan aja. Lama nggak ke mal. Lagian kamu kan mau lebaran, Om temenin belanja deh.”
“Wah, saya mau-mau aja, tapi sekalian ngasih THR ya”.
“Pemuda kayu mati (baca: pengangguran). Minta THR mulu”.
“Demi Outfit of The Lebaran (OOTL), Om. Gengsilah pakai baju lama.”
“Jancuk. OOTL OOTL gigimu!”.
“Filsuf gak boleh misuh. Ini bulan Ramadan”.
“Saya kafir, njing”.
“Oh lupa. Hihihi. Saya siap-siap dulu ya, Om”.
“Oke, setengah jam lagi kita ketemu di sana”.
“Ahsiyappp~”
Kami bertemu tiga puluh menit lewat lewat tiga puluh menit di parkiran sebuah mal besar di Makassar. Setahu saya, sejak kedatangan dari Prancis, baru kali ini Om Baudrillard menginjakkan kaki di mal Endonesah. Di Prancis pun, masuk mal baginya adalah kemustahilan. Kebiasaan baca buku di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu luangnya.
“Karya-karya intelektual, tak akan pernah lahir dari mal,” ucapnya lirih.
Segera saya mengajaknya masuk. Daripada beliau semakin bertele-tele mengkhotbahkan perkara kapitalisme, lebih baik membuatnya merasakan langsung. Biar makin greget mencibir kapitalisma—atau siapa tahu, beliau malah diam diam menikmati. hahaha
Pintu masuk mal sesak bukan main. Maklum, ini menjelang lebaran, orang-orang masih pada nyari diskonan buat outfit yang serba baru di hari yang fitri. Kami berjalan pelan, menembus keramaian. Sesekali harus baku senggol—semoga gak kena bacok. Om Baudrrilard menikmati senggolan ibu-ibu muda. “Dasar lelaki tua mesum,” gumamku. “Doyan mahmud juga dia.”
Semakin ke dalam, ruangan semakin luas. Sesak tak lagi seperti di pintu masuk. Saya mengajak Om Baudrillard ke lantai dua—di mana terdapat toko kaos bermerek. Sebelum sampai ke eskalator, Om Baudrillard tiba-tiba nyeletuk.
“Lihat sepatu orang itu. Nilai guna gak penting lagi, Ham. Sepatu orang itu masih bagus, malah keliatan baru lagi”.
Tangannya menunjuk ke orang berambut necis yang sedang membolak balik sepatu di outlet Sport Station.
“Emang napa, Om? Sepatu yang dia pengen beli itu merek Naiki—merek terkenal dari Mamarika sana. Om tahu kan, seberapa gengsinya kami anak muda yang pake sepatu merek itu. Bakal tampil kece dan trendi. Apalagi pas hari lebaran. Uwuwuwu banget tuh, Om,” bantahku.
“Kebutuhan bukan lagi prioritas. Masyarakat konsumsi lebih bersandar pada kehormatan, prestise, status dan identitas,”khotbahnya.
“Om menyebutnya nilai tanda dan nilai simbol kan?”
“Lah, kamu sendiri dan mereka malah menikmatinya.”
“Bangke.”
“Woy, ingat puasa.”
“Kafir kok sok ngedakwahin.”
“Ampyunnnn~”
Mata Om Braudrillard ke mana-mana, memperhatikan kesibukan orang-orang yang sedang belanja. Di lantai dua, beliau tiba-tiba berhenti di depan pakaian muslim muslimah yang mewah dan bermerek—halal pula.
“Ini dia nih, kapitalisme yang memanfaatkan ajaran agama.”
“Jangan suuzon dulu, Om. Berprasangka buruk gak baik. Bisa-bisa dicap penista agama loh. Mau karya Om dibakar massa? Mau buku-bukunya dibredel akhi-akhi?”
“Nggak peduli. Persetan dengan semua itu! Kamu sadar nggak, Ham? Embel-embel halal yang pernah diributin bakul hijab di negara ini atau perkara pakaian yang sesuai syariat dan sunah Nabi? Semua itu jualan aja. Demi dicap sebagai muslim soleh atau muslimah solehah.”
“Ya, itu kan tergantung niat Om”.
“Songkolo’. Kesalehan seseorang tidak bisa dinilai dari pakaian yang dikenakan. Outfit Islami, belum tentu berkelakuan baik. Istilah syar’i sekarang malah hanya sebagai simbol, Ham.”
“Apakah itu yang disebut simulacra dalam beragama om?
“Semua yang nyata kini menjadi simulasi,” ungkapnya santai.
Kami berjalan-jalan di mal—sambil diskusi segala hal. Om Baudrillard menepati janjinya dengan membelikan saya dua pasang kaos Planet Surf. Lebaran nanti bakal saya pamerkan ke teman-teman yang masih pakai kaos seratus ribu dapat tiga.
Pertemuan kami diakhiri dengan berbuka puasa di KFC. Beliau sebenarnya alergi makan di tempat kapitalisme mengakar. Tapi saya dengan sedikit memelas, pria asal Prancis ini mau mengalah. Saya memesan moccha float dan burger, sementara beliau minum air putih dan segepok kentang goreng.
Kami berfoto bersama, menjadikan logo KFC sebagai latar. Sedikit senyum tersungging dari bibir Om Baudrillard. Barangkali ia sudah merasa lebih keren—bisa makan di KFC—dibanding filsuf idolanya Karl Marx. Katanya, ia berencana memamerkan foto itu di instastory-nya, dengan caption, “Ini hanya simulasi.”
disclaimer: tulisan ini berbentuk fiksi dengan latar belakang saat bulan Ramadan.