Dewasa? Ada yang berpikir bahwa dewasa adalah fase dimana kamu harus mapan dalam segala-galanya. Tak hanya pemikiran, emosi, ataupun mental. Akan tetapi juga pekerjaan dan pendapatan adalah tuntutan orang dewasa yang menjadi standar yang entah dari mana datangnya sudah terbaut di otak kita.
Namun, saya sendiri memaknai kata dewasa sama dengan besar atau gede. Pemaknaaan ini terinspirasi dari emak-emak kita di rumah. Dan saya yakin kalian juga sering mendengar kalimat cinta dari emak kita, “Kalau abis bangun tidur itu, tempat tidurnya diberesin, kamu kan udah gede!”, “Kamu kan udah besar, mengalah lah sama adek kamu!”, “Masa udah gede tidurnya sampai siang gini, gimana mau nikah!”
Yah, kurang lebih seperti itulah sedikit dari ratusan pernyataan emak-emak kita yang akhirnya membuat saya bisa mendefiniskan kata dewasa. Ketika kamu sudah dewasa, artinya kamu sudah dianggap gede untuk bisa bertanggung jawab dengan barang-barangmu, pilihanmu, hidupmu bahkan hidup orang lain. Jadi sebenarnya, dewasa itu bukan tentang usia, tapi tentang ‘kemampuan diri’ untuk bisa benar-benar berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri.
Kalau kata seorang psikolog, “Dewasa itu ketika kamu punya masalah, kamu tidak lantas menyalahkan ibumu, temanmu, orang lain atau negara.” Artinya, yah emang iya, ini kan hidup kita, yang milih A,B,C, D hingga Z juga kita. Yah, walaupun terkadang sering meminta pendapat orang lain, kan tetap aja kita yang nentuin mengambil pendapat yang mana. Meskipun ternyata itu salah.
Dua tahun lalu, ketika saya mengalami peralihan dari usia belasan tahun ke usia kepala dua, saya hanya berpikir, “Wah saya bukan anak kecil lagi, time for playing is over”. Cukup menggelitik sebenarnya, karena saya menganggap bahwa orang dewasa adalah orang-orang yang harus selalu serius. Artinya, tontonan sata harus diganti dari kartun menjadi berita dan neraca perdagangan. Cemilan saya yang banyak micin harus diganti jadi sayur-mayur. Waktu senggang yang biasanya digunakan untuk berleha-leha harus diganti dengan membaca atau mempercantik Linkedin.
Sebenarnya pemahaman seperti itu aman-aman saja, karena toh pengalihannya pada hal yang positif. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, bertemu dengan banyak orang, pengalaman, dan bagaimana saya mencoba untuk mengenali diri sendiri, ada kekeliruan dari pemahaman itu. Bahwa dewasa itu tak membosankan apalagi mengerikan. Belajar menjadi dewasa itu asyik. Dan menurut saya usia 20-an tahun adalah waktu yang tepat untuk terus preparation.
Usia 20-an merupakan fase di mana seseorang tak ingin dikekang dalam berekspresi dan berkarya. Dan itu yang saya rasakan saat ini. Ketika kamu dewasa, maka kamu harus bertanggung jawab atas berbagai pilihanmu. Memilih untuk menetap atau merantau. Lanjut kuliah atau bekerja. Bekerja di perusahaan A atau Z. Menikah atau jalan-jalan dulu. Dan masih banyak lagi pilihan dalam hidup kita yang harus ditentukan dengan matang. Meski memang setiap pilihan itu ada konsekuensi yang harus kita tanggung, tapi itulah bagian dari proses belajar bukan? Dan itulah tantangannya. Lagipula generasi milenial saat ini, suka dengan tantangan kok.
Selain itu, dengan belajar untuk menjadi dewasa kita akan semakin mengenali diri sendiri. Sebab, lebih banyak waktu untuk evaluasi diri ketimbang menyalahkan orang lain. Masih ingatkan waktu kecil atau bahkan mungkin hingga saat ini biasa kita lakukan, ketika telat bangun kita akan meyalahkan ibu karena tak membangunkan. Padahal kan jelas banget kalau kita sendiri yang salah. Udah tahu kudu bangun pagi, malah begadang nonton YouTube.
Ketika tugas numpuk, yang disalahin dosen. Padahal kan emang penyakit kita suka nunda-nunda pekerjaan. Ketika jatuh terpeleset karena kulit pisang, yang dimaki si kulit dan pemiliknya. Padahal itu karmanya karena sering buang sampah sembarangan dan nyinyirin SJW. Dengan belajar dewasa, merasa bahwa segala sesuatu dalah hidup kita adalah tanggung jawab kita, bakal buat hati ini takkan sering merasa kecewa. Sebab, kita dilatih untuk mengandalkan diri sendiri bukan orang lain.
Oh ya, yang juga selalu diidentikkan dengan orang dewasa, saya lebih senang menyebutnya ‘melepaskan’ daripada ‘mengalah’. Seperti yang sering disebutkan emak kita ketika rebutan tamia (mainan anak 90-an) dengan adik kita. Yah, menjadi dewasa memang tak melulu berbicara tentang tuntutan dan target, tapi juga kelapangan dalam melepaskan. Melepaskan ego, zona nyaman, mimpi, pekerjaan, sahabat, atau orang yang sangat berarti dalam hidup kita bukan perkara mudah. Namun, akan melatih hati kita untuk lebih luas memaknai hidup. Bahwa hidup tak hanya tentang memiliki, tapi juga melepaskan~
BACA JUGA Mempelajari 7 Fase Hidup Terberat Saat Menginjak Usia Kepala Dua atau tulisan Suci Fitrah Syari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.