Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan kabar Dikta yang mengalami pelecehan seksual. Penyanyi bernama lengkap Pradikta Wicaksono ini diduga diremas alat vitalnya setelah manggung di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat (14/1/2023).
Dalam sebuah video yang beredar, mantan vokalis Yovie & Nuno ini tampak kesakitan saat memasuki sebuah restoran. Dia berjalan sambil memegangi alat vitalnya, bahkan hingga sempat jongkok menahan rasa sakit. Walaupun begitu dia masih berusaha tertawa, seolah menganggap kejadian itu merupakan peristiwa yang konyol.
Dalam beberapa artikel yang memberitakan kejadian ini, Dikta disebut-sebut mengalami pelecehan seksual dengan diremas alat vitalnya oleh seorang fans. Menanggapi kejadian ini, Dikta tidak ingin memperpanjang kasus ini maupun membawanya ke jalur hukum. Dia justru langsung membuat Instastory tentang jurus kung fu untuk memperkuat alat vital. Sebuah tanggapan yang cukup menggelikan dari seorang artis muda ini.
Kasus Dikta ini hanyalah puncak gunung es dari kasus pelecehan seksual pada laki-laki. Demikian pula kejadian ini hanyalah bagian kecil dari sisi gelap dunia entertainment yang memaksa artis untuk senantiasa terlihat baik-baik saja di depan kamera. Sebelumnya ada beberapa artis Indonesia seperti Cantika Abigail, Soraya Larasati, hingga Via Valen yang ketiban sial mengalami pelecehan juga.
Namun untuk korban laki-laki dari golongan artis nampaknya baru Dikta yang ramai diperbincangkan. Karena berita lain yang muncul merupakan artis sebagai pelaku maupun penyanyi laki-laki yang melakukan fans service di atas panggung. Seolah memberikan sinyal tanda bahaya semua bisa menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual!
Noraknya fans di Indonesia
Fans atau penggemar merupakan seorang yang antusias terhadap grup, artis, ataupun tim olahraga. Mereka bakal mengagumi dan mendukung artis maupun kelompok idolanya dengan sepenuh hati. Bahkan ada yang cukup ekstrem dengan selalu menonton pertunjukannya dan membeli karya serta merchandise dari idolanya. Ini biasa terjadi di kalangan fans K-Pop garis keras.
Di Indonesia, sayangnya kedewasaan untuk menjadi fans masih belum terbentuk. Banyak fans yang masih norak dengan terlalu mengkultuskan idolanya. Berani membela idolanya mati-matian walaupun kadang nggak tahu duduk perkara masalahnya.
Namun, yang lebih ekstrem tentu saja perilaku yang melecehkan idolanya. Tak hanya satu dua tiga kali, sudah sering artis Indonesia menjadi korban aksi nekat fansnya sendiri. Terbaru, kasus pelecehan yang menimpa Dikta menjadi perhatian kita.
Fans seperti dua mata pisau, bisa menjadi penyemangat dan bisa jadi bahaya terhadap seorang idola. Tentu kita masih mengingat betul bagaimana kematian John Lennon yang ditembak Mark David Chapman, fansnya sendiri. Alasannya pun konyol, ingin menjadi terkenal seperti John. Kan ramashok!
Risiko menjadi artis dan figur publik
Menjadi artis dan dan figur publik merupakan tugas yang berat. Diperlukan keluasan hati untuk mengemban amanah ini, karena jika tak kuat tentu iman bakal mudah goyah. Terutama untuk mendapatkan yang mereka mau.
Sebagai figur publik tentu semua orang bakal melihat dan memantau setiap kegiatan mereka. Tak ada lagi ruang privasi yang benar-benar privat lagi. Bahkan untuk sekadar menikmati kesendirian dan menenangkan jiwa. Dan yang paling memusingkan, kita tidak tahu apa yang bakal dilakukan fans kepada kita. Terlebih di dalam kerumunan yang padat, fans sering kali nekat untuk memenuhi keinginannya yang terkadang nyeleneh, bahkan berani untuk melakukan tindak pelecehan secara verbal maupun nonverbal.
Kekerasan seksual pada laki-laki
Membaca komentar-komentar yang menanggapi kejadian tidak mengenakkan ini ada sebagian orang yang menyemangati Dikta. Namun, sebagian lagi malah menjadikannya bahan tertawaan. Banyak dari mereka yang mengaitkan alat vital Dikta dengan latto-latto, mainan yang sedang hits. Alih-alih memberikan simpati dengan baik, sikap mereka malah tak lebih dari objektifikasi seksual.
Inilah realitas yang terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual pada laki-laki masih belum ditangani secara serius dan cenderung diabaikan. Padahal ini bukanlah kasus yang bisa ditertawakan begitu saja.
Pasalnya peremasan testis dapat berakibat fatal. Dikutip dari artikel detikHealth (18/1/2023), ahli urologi dan direktur San Diego Sexual Medicine, Dr Irwin Goldstein, mengatakan testis sangat peka pada sentuhan, sehingga tekanan yang terlalu keras pada testis bisa menyebabkan pingsan. Parahnya lagi cedera fisik yang langsung dialami buah zakar akan menyebabkan rasa nyeri disertai mual. Memar atau bengkak yang dialami bahkan bisa bertahan sampai beberapa hari. Rasa nyeri yang sangat ini bahkan dapat memicu kematian.
Menurut beberapa penelitian memang mayoritas perempuanlah yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku. Namun, ini tidak menutup kemungkinan terdapat kasus sebaliknya. Laki-laki juga dapat menjadi korban, khususnya anak-anak.
Masih jelas di ingatan tentang pelecehan yang dilakukan Reynhard Sinaga. Sebanyak 48 dari 159 korbannya adalah laki-laki. Pada tahun 2021 sebagaimana dilansir dari detikNews (21/4/2021) seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun berinisial FA, yang tinggal di Probolinggo, Jawa Timur, mengaku telah menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan berinisial DAP (28 tahun). Tentu saja ini merupakan puncak dari gunung es yang belum diketahui dasarnya.
Merangkum penelitian Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus di Indonesia Judicial Research Society, terdapat data kekerasan seksual terhadap laki-laki tetapi masih juga diabaikan. Selain itu korban laki-laki cenderung untuk bungkam. Mereka memilih bungkam karena menganggap ini merupakan hal yang tabu.
Bungkamnya para korban laki-laki ini tidak lepas dari toxic masculinity yang terjadi di masyarakat. Ini membuat kita tidak percaya bahwa laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual. Pasalnya laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual. Dengan fisiknya yang kuat laki-laki juga dianggap harusnya bisa melawan. Toh, kalaupun diperkosa akhirnya menikmatinya juga.
Anggapan-anggapan inilah yang akhirnya membuat korban laki-laki cenderung bungkam. Mereka malu kalau ceritanya hanya bakal jadi bahan lelucon alih-alih mendapat bantuan psikologis dan hukum.
Perlindungan hukum pun juga minim terhadap korban laki-laki. KUHP cenderung melindungi perempuan dalam kasus kekerasan seksual dibandingkan korban laki-laki. Demikian pula dengan proses penangannya, salah-salah korban hanya jadi bahan bercandaan di ruang penegak hukum.
Sekali lagi ini merupakan tanda bahaya! Seorang Dikta, yang merupakan artis dan figur publik saja bisa menjadi korban. Bagaimana dengan laki-laki, khususnya anak-anak di kampung-kampung yang minim edukasi dan perlindungan? Tentu saja risiko mereka mengalami kekerasan seksual sangatlah besar.
Untuk saat ini yang bisa kita lakukan adalah mencoba sedikit mengubah mindset, bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Hentikan semua toxic masculinity yang justru merugikan laki-laki itu sendiri. Mari kita bahu membahu saling menjaga untuk menghindarkan satu sama lain dari pelecehan dan kekerasan seksual. Wani!
Penulis: Ahmad Radhitya Alam
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pelecehan Seksual pada Anak Itu Tak Pernah Sepele dan Tak Akan Pernah Sepele!