Kira-kira seperti apa ya pengalaman orang Islam yang tinggal di Jepang?
Pernah nggak membayangkan bagaimana menjadi muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim? Bagi yang telah terbiasa nyaman di negeri sendiri, tentunya membutuhkan adaptasi. Perbedaan seperti hari raya bukan hari libur, menjadi minoritas, hingga rindu makanan halal tentunya menjadi gegar budaya tersendiri.
Meski banyak yang bilang orang Jepang tak beragama, sebenarnya mereka percaya agama Buddha dan Shinto, lho. Lantas, sebenarnya seperti apa sih pengalaman menjadi muslim di negara Jepang yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam?
Salat
Kalau nggak sedang berada di kos/apartemen/asrama, salat bisa dilakukan di mana saja asal memenuhi rukun sahnya. Salat di taman, lapangan, stasiun, balkon, dekat tangga gedung, hingga ruang menyusui juga bisa dilakukan. Biasanya, orang Islam di Jepang akan mencari tempat yang sepi karena bakal insecure juga kalau salat sendirian di tempat umum. Bisa jadi malah dilaporkan ke petugas lantaran melakukan gerakan yang orang Jepang anggap “tak biasa”. Waduh.
Kalau mahasiswa sih bisa saja salat di ruangan lab, waktunya pun lebih fleksibel di sela-sela jadwal kuliah. Nggak ada ruangan khusus untuk musala, kecuali kampus besar dan banyak mahasiswa muslimnya. Wudu pun masih bisa dilakukan di wastafel toilet kampus meski harus berhati-hati karena tipe toilet di Jepang adalah toilet kering. Kalau basah, otomatis harus kita lap sebelum mengganggu kenyamanan orang lain.
Di tempat kerja, orang Islam juga nggak boleh sembarangan meminta waktu untuk melaksanakan salat. Urusan agama ini nggak diatur oleh pemerintah Jepang. Karena hal tersebut adalah urusan pribadi yang berhubungan dengan ritual keagamaan, nggak boleh disangkutpautkan dengan pekerjaan.
Waktu salat di Jepang juga berubah karena perubahan musim. Contohnya saat musim panas, salat subuh biasa dilakukan pada jam 2 pagi, lho. Keren, kan? Jangan bayangkan juga ada azan dengan pengeras suara seperti di Indonesia, ya. Sudah jelas itu nggak mungkin terjadi. Di masjid saja kita nggak boleh pakai pengeras suara, lho.
Puasa Ramadan
Melaksanakan ibadah puasa di negara 4 musim ternyata agak berbeda dengan Indonesia. Waktu puasa berubah-ubah sesuai musimnya. Durasi puasa akan lebih panjang pada musim panas ketimbang pada musim dingin. Berbeda dengan di Indonesia yang durasi puasanya cenderung stabil, dari sekitar jam 4 pagi hingga jam 6 sore (kira-kira berpuasa sekitar 14 jam).
Kebetulan saya punya pengalaman menjalani puasa selalu pada musim panas. Terakhir sebelum kembali ke Tanah Air, kami sahur sekitar jam 2 pagi dan berbuka sekitar jam 7 malam. Durasi puasa di Jepang sekitar 17 jam. Kalau takut nggak makan sahur karena ketiduran, biasanya kami nggak tidur sekalian. Barulah satu dua jam setelah sahur, kami tidur dan bangun jam 7 pagi, lalu beraktivitas seperti biasa. Tidur di awal juga kadang membantu kalau ingin bangun saat sahur. Semua tergantung kebiasaan dan kemampuan orangnya, sih.
Buka puasa bersama biasanya dilakukan bersama diaspora Indonesia lainnya atau sesama muslim dari negara lain di masjid setempat. Dekat dengan komunitas muslim di Jepang enak juga karena bisa lebih irit dalam hal masak sahur dan buka puasa. Namun, kalau di kampus hanya ada 2 atau 3 mahasiswa muslim dan jauh dari masjid, ya seadanya saja. Biasanya bisa buka bersama di kos salah seorang teman atau makan bersama di restoran. Salat tarawih bersama juga dilakukan di masjid atau bersama komunitas muslim. Tapi, kalau nggak punya teman, ya sudah salat sendiri saja.
Jangan tanya gimana reaksi orang Jepang saat tahu kita nggak makan dan minum selama kurang lebih 17 jam. Biasanya mereka bakal kaget dan bilang, “Pasti rasanya seperti mau mati, ya?” Kadang ada juga sih yang penasaran dan menanyakan alasan kenapa orang Islam mau melakukan puasa. Nah, di situlah kita sebisa mungkin menjelaskan pada mereka dengan ramah tanpa menggurui.
Ada beberapa perusahaan yang melarang pekerja asingnya berpuasa saat Ramadan. Mereka khawatir kalau pekerjanya dehidrasi saat bekerja di lapangan, terutama dengan kondisi musim panas yang berat. Kalau pas hari libur, tentu boleh berpuasa di asrama.
Makanan halal
Dibanding sebelumnya, sekarang sudah banyak warung halal di Jepang, baik online maupun toko secara fisik. Bagi yang membutuhkan bumbu khas Indonesia seperti daun salam, kluwak, pandan, dll., bisa membelinya di warung Indonesia yang ada di Jepang. Kalau sudah ada bumbu dan bahannya, aman deh mau masak apa. Hemat, sehat, dan jelas halalnya.
Selain masak sendiri, makan di kafe atau restoran halal juga bisa menjadi solusi kebanyakan orang Islam yang tinggal di Jepang. Banyak restoran Indonesia, Pakistan, dan negara lain yang menjual masakan halal. Restoran ramen halal dengan harga 700 yen (sekitar Rp91.000) per porsinya juga ada di beberapa kota besar. Atau bisa juga memesan menu vegetarian, kalau ada.
Di supermarket yang menjual barang impor dari berbagai negara juga menyediakan daging, mi instan, susu, kue, bumbu, dan kopi dengan logo halal, lho. Sekarang malah tempe dijual juga di supermarket Jepang. Kalau di Jogja makan tempe harganya murah Rp3.000 saja, di Jepang harga tempe bisa 13 kali lipatnya alias sekitar Rp40.000/ Waduh. Tapi, percayalah, harga segitu nggak sebanding dengan rasa rindu akan masakan Indonesia, deh.
Kalau nggak bisa mendapatkan makanan berlogo halal, biasanya orang Islam di Jepang makan makanan Jepang dengan melihat komposisinya. Makanya kita harus paham tulisan “babi” dan “alkohol” serta turunan-turunannya. Kalau nggak paham juga, kita bisa cek di website atau bertanya pada teman.
Sebenarnya urusan halal ini adalah hal yang sensitif. Memang diusahakan sebisa mungkin menghindari makanan yang jelas-jelas ada kandungan babi dan alkohol, namun ada juga muslim yang meragukan logo halal negara tertentu. Kalau sudah begini, saya nggak mau debat lah.
Saat saya kerja paruh waktu di restoran ramen halal saja, ada kok yang menanyakan apakah semua bahan makanannya halal? Saya yang mengecek kalau bumbu dan bahannya dibeli di warung halal online dan menyaksikan sendiri si koki Jepang membuat ramen itu sih yakin-yakin saja, tetapi kalau hal tersebut masih diragukan, ya sudahlah…
Wisata moslem-friendly
Sebelum corona menyerang, Jepang sedang berusaha untuk membuat wisata moslem-friendly. Artinya, pemerintah Jepang mendukung dinas pariwisata daerah untuk menyediakan informasi mengenai restoran halal, prayer room, dll. Di stasiun besar tempat saya tinggal, juga disediakan prayer room dengan tempat wudu di dekatnya. Wisatawan muslim juga bisa mengecek melalui website halalmedia.jp. Corona telah membuat semua hal itu terhenti sementara waktu.
Suasana Lebaran dan Iduladha di Indonesia yang meriah tentu menjadi kerinduan tersendiri bagi para diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri. Namun, jauh dari semua kenyamanan menjadi mayoritas nggak mengurangi kekhusyukan mereka dalam beribadah. Terlebih, bisa juga bertemu dengan muslim dari negara lain. Semakin warna-warni hidup kita.