Ada berbagai hal yang membuat China dan Indonesia sangat berbeda dalam proses pengambilan kebijakan, dan ini bukan hanya soal kemampuan China yang dalam situasi gawat darurat mampu membangun 2 Rumah Sakit besar dalam hitungan 14 hari seperti sihir.
Dalam buku Billions Entrepreneurs yang menceritakan bagaimana China dan India menata kembali masa depan perekonomian mereka. Tharun Khanna penulis buku ini menjelaskan bahwa China mampu membangun fasilitas publik dalam semalam karena dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintahan China terhadap kepentingan pribadi. China menggunakan kekuasaannya demi kepentingan publik, sekalipun harus merusak kepentingan pribadi.
Di China, sebagai pengaruh dari satu partai penguasa di pemerintahan, semua kebijakan juga diambil dengan tidak berbelit-belit karena tidak membutuhkan musyawarah. Selain itu, sistem negara yang otoriter juga membuat hampir tidak ada kebijakan yang mendapatkan penolakan. Tapi karena kebijakan China selalu atas nama “kepentingan publik” rakyat China jadi lebih mudah menerimanya.
Sementara di Indonesia, kebijakan negara cenderung mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan publik. Hal ini bisa terlihat dari banyak kebijakan yang sebenarnya mendapat “perlawanan” dari publik, tapi tetap disahkan. Hal ini terjadi karena keberadaan oligarki atau segelintir orang yang menguasai eknomi juga menguasai pemerintah. Makanya tidak heran kalau ehmm pemerintah selalu menomorsatukan kepentingan pemilik modal bahkan jika pemilik modal ini bermain “curang”.
Salah satu kasus terjadi di kampung halaman saya Maluk, Sumbawa Barat, di mana terjadi proses divestasi “haram” dari saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang diakuisisi PT Medco Energy Internasional. Kenapa saya bilang haram, karena melanggar Pasal 112 Undang Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Dalam UU tersebut diatur bahwa setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing wajib melakukan divestasi saham atau penjualan saham asing pada Pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Dengan demikian berdasarkan ketentuan UU Minerba PT NNT wajib menjual sahamnya kepada Pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Namun faktanya saham perusahaan ini jatuh kepada badan usaha swasta nasional dengan proses yang kurang transparan.
Tapi tentu saja tidak apa-apa jika ketika diakuisisi sahamnya ke perusahaan swasta nasional nasib para pekerja lebih untung. Justru yang terjadi adalah kebalikan, pemutusan hak kerja yang cukup besar-besaran, sebagian yang bertahan mendapat gaji yang jauh lebih kecil ketika perusahaan itu masih PT NNT bukan dengan nama barunya PT Aman Mineral Internasional (AMI).
Itu belum apa-apa yang paling parah adalah ikatan kontrak PT NNT yang memungkinkan setelah kontrak berakhir maka lahan tambang ini akan dikembalikan seperti sebelum masuk tambang tidak akan pernah dilakukannya. Karena ia sudah hengkang dari tanah Sumbawa digantikan oleh perusahaan swasta, AMI. Apakah AMI akan melakukan itu?
Tentu saja tidak!
Mana mungkin mereka akan melakukan itu karena merugikan sama sekali. Modal yang dikeluarkan sangat besar untuk itu dan setiap kapitalis cuma punya satu tujuan dalam hidup, keuntungan. Mereka yang tidak terikat kontrak yang sama, tidak mungkin mau melakukan itu.
Logikanya seperti ini, jika A mengontrakkan rumahnya kepada B dan B berjanji akan memperbaiki apa saja yang rusak selama ia menempati rumah tersebut namun di tengah jalan datang si C yang menggantikan B untuk mengontrak di sana, maka si C tidak terikat kontrak perjanjian antara A dan B. Lantas siapa yang bodoh di sini?
Sudah jelaskan. Tidak perlu saya jelaskan lagi siapa yang bodoh di sini. Lantas kenapa A mau melakukan itu padahal dialah yang dirugikan dari kontrak ini?
Jawabannya karena A bukanlah individu, A adalah sebuah negara di mana banyak penunggang yang bermain untuk mencari untung dari proses divestasi saham ini. Mereka tidak terlalu peduli dengan lubang besar yang dikatakan sebesar kota Mataram, bahkan ada yang mengatakan sebesar pulau Lombok. Bagi mereka yang penting adalah keuntungan bukanlah perbaikan alam. Jika alam yang mereka pedulikan maka sedari awal pertambangan sudah ditolak.
Saya punya dua orang dekat yang di PHK setelah proses divestasi saham ini. Salah satunya Abah saya sendiri, salah duanya sepupu Abah saya. Keduanya hanyalah dua dari begitu banyak jumlah karyawan yang terpaksa di PHK. Meski begitu saya tidak menyesalinya, saya tidak punya romantisasi dari tambang ini. Bahkan saya cenderung menentangnya. Satu-satunya yang saya sesalkan adalah nasib dari alam di kampung halaman saya, pulau Sumbawa yang mungkin tidak akan pernah diperbaiki sesuai kontrak perjanjian di awal dengan PT NNT.
Saya bukan pengin Indonesia seperti China—menganut ideologi komunis, atau kemudian menerapkan sistem pemerintah otoriter—tapi pemerintah harus belajar dari China yang membuat kebijakan untuk kepentingan publik. Masa sebagai negara dengan ideologi pancasila yang salah satu silanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pemerintah terus menerus mengabaikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan rakyat, sih? Apa tidak malu?
BACA JUGA Kuba, Negara Kecil Bernyali Besar yang Ada di Garis Depan Hadapi Corona atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.