Beberapa ruas Jalan Sudirman dan perkampungan di daerah Sidareja, Cilacap, sudah beberapa hari terendam banjir sejak Selasa pagi (17/11). Hujan sejak sore yang mengguyur Cilacap pada hari sebelumnya, yang mengguyur hingga malam mungkin bisa dijadikan penyebab utama.
Tentu musibah ini membawa hal-hal yang tidak diinginkan untuk warga terdampak. Apalagi, menurut teman saya yang rumahnya juga terendam, banjir yang separah ini terakhir terjadi sekitar 2005 silam sehingga sekarang mereka menjadi sedikit kelimpungan.
Sementara saya yang merupakan pendatang, juga heran dan sedikit gumun. Sepanjang 22 tahun hidup, saya belum pernah mengalami langsung dan hanya melihat banjir di siaran berita setiap Jakarta kebanjiran yang hampir wajar. Tentu tak pernah saya bayangkan sebelumnya, sebuah wilayah di Cilacap yang masih tergolong pedesaan karena masih banyak sawah dan pepohonan, kok bisa ya sampai kebanjiran?
Akan tetapi, daripada ikut larut dalam penderitaan dan gerutu yang mengikutinya, saya mencoba melihat banjir ini dari sudut yang menggembirakan. Bukan sedang sok bijak atau semacamnya, saya juga kesusahan karena nggak ada warung makan yang buka dan hanya mengandalkan mi instan. Tapi, memang begitulah fakta yang saya saksikan di lapangan:
#1 Warga membantu pengguna jalan yang menerjang banjir
Selasa pagi di depan tempat saya bekerja dan tinggal, saya lihat sudah ada banyak warga di sekitaran Jalan Sudirman. Sebagian dari mereka membantu para pengendara yang kepayahan menerjang banjir dan sebagian lagi hanya menontonnya.
Sebagai gambaran, jalan tersebut merupakan jalan alternatif yang menghubungkan Provinsi Jateng dengan Jabar. Maka, setiap hari banyak yang melewatinya meskipun sedang banjir, mungkin karena terpaksa.
Di antara banyak kendaraan yang lewat, terkadang ada juga yang mogok. Tapi, tenang, dengan sigap para warga itu terjun membantu mereka untuk melewati genangan. Ada yang hanya mendorong dengan tangan kosong, ada juga yang menggunakan gerobak. Bahkan di jalan kampung, ada juga yang menggunakan sampan untuk membantu warga lain melewati banjir.
Selain itu, menurut teman kerja saya yang pernah dibantu dengan gerobak, ia hanya membayar seikhlasnya tanpa dikenai tarif minimal. Hal tersebut tentu sungguh menggembirakan dan mendinginkan batin.
#2 Wahana bermain air
Siang harinya, saat saya mencari warung makan yang tetap buka, saya mendapati seorang bocah yang mengenakan pelampung dan sedang mengambang di halaman rumahnya yang tertutup. Bocah itu sepertinya sangat menikmati banjir ini, sebab setahu saya, di daerah sini nggak ada tempat wisata air atau minimal kolam renang. Jadi saya kira, ia sedang memanfaatkannya untuk berwisata.
Selain bocah itu, saya juga menemukan bocah-bocah lain yang memanfaatkan banjir ini. Dengan pelepah pisang yang mungkin ikut hanyut dari hulu sungai, mereka merangkainya menjadi sebuah rakit. Di sungai kecil yang sudah nggak jelas tepiannya—yang terletak di samping tempat kerja saya—mereka menaiki rakit yang tak seimbang itu dan mendayung-dayungnya dengan bilah kayu.
Fiuh. Mereka benar-benar mampu membuat saya bernostalgia pada masa kanak yang penuh keceriaan.
#3 Posko darurat, pengungsian, dan dapur umum
Banjir belum ada sehari penuh, di malam pertama itu saya sudah mendapati sebuah posko bantuan dengan banner yang terpacak tulisan “Banser”. Kesigapan itu tentu sangat membantu warga yang tidak bisa mendapatkan makanan maupun bahannya. Ya, memang warung makan di hari itu banyak yang tidak berjualan dan jika ada pun kami harus menempuh jarak yang cukup jauh.
Bukan hanya posko yang menyediakan bahan makanan, keesokan harinya saya juga menemukan dapur umum dan tempat pengungsian di sebuah ruko yang masih kosong. Pengungsian itu juga langsung dipenuhi oleh warga.
Solidaritas dan kemanusiaan yang gercep ini menurut saya, merupakan kabar baik bagi keresahan kita pada keadaan negara yang ah-wis-mbuh-mbuhan dan nggak bisa diharapkan. Sebab, sudah tiga hari banjir melanda saja, pemerintah daerah Cilacap baru tilik ke sini. Mereka kalah sigap oleh aksi kolektif warganya. Memalukan.
Memang, sih, andai Cilacap diibaratkan Jogja maka Sidareja adalah Gunung Kidulnya: jauh dari pusat kota dan pemerintahan. Tapi, bukan berarti harus seperti dianaktirikan ya, mbok?
#4 Ikan lele
Oleh karena volume air kolam ikan atau empang yang meluber akibat hujan dan banjir, banyak ikan lepas dan berhamburan ke sembarang tempat yang digenangi air. Maka, kamu akan dengan mudah mendapati ikan, terutama lele, di halaman rumah atau di jalanan, seperti yang dialami teman saya.
Ikan-ikan itu pun mudah sekali ditangkap, sudah nggak lincah lagi. Barangkali disebabkan mereka lemas setelah melawat ke mana-mana. Dan yang nggilani, banyak ukuran ikan yang sebesar lengan.
Hal itu saya dapati sendiri pada Rabu malam, saat mencari udara segar dan menonton kendaraan-kendaraan menerjang banjir, saya mendapati dua orang bapak yang membawa sekeranjang ikan lele. “Kiye olih neng aring wangan karo gang kana kae,” atau dalam bahasa Indonesia, “Ini dapet di kali sama gang sana itu,” jawab salah satu dari mereka sambil menunjuk ke belakang saat saya tanya dapat ikan di mana.
Keempat hal baik di atas, mungkin tak akan diberitakan oleh media setiap ada bencana di desa. Seperti kata Mas Nurhady Sirimorok di podcast milik M. Aan Mansyur, desa memang selalu dikabarkan dalam kondisi yang menderita atau miskin. Tapi, saya lihat di sini justru begitu berkebalikan, nyatanya mereka masih bisa mendapat kebahagiaan di tengah bencana.
BACA JUGA Nostalgia Album ‘Hybrid Theory’, Musik Metal di Segala Mental dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.