Penggemar anime saat ini sedang dimanjakan dengan banyaknya serial besar adaptasi dari manga terkenal ataupun sekuel dari adaptasi sebelumnya yang tayang pada musim kali ini. Di satu sisi ada adaptasi dari manga terkenal Horimiya menjadi serial anime dan di sisi lain beberapa sekuel anime terkenal dalam beberapa tahun terakhir rilis pada musim yang sama. Sebut saja Dr Stone: Stone Wars, The Promised Neverland Season 2, dan tentunya Attack on Titan: Final Season.
Namun, dari semua tayangan anime di musim dingin 2021, satu yang menurut saya kurang mendapat apresiasi terutama dari otaku dalam negeri. Anime tersebut adalah Beastars Season 2, adaptasi dari manga Paru Itagaki dengan nama sama. Season pertama anime ini tayang pada musim gugur 2019 dan didistribusikan oleh Netflix untuk wilayah luar Jepang.
Saat adaptasi Beastars season pertama diumumkan, semua faktor yang bisa membuat anime jadi gagal maning ada di dalam proses produksi anime ini. Anime ini masuk genre antropomorfik atau penggambaran dunia binatang seperti layaknya dunia manusia. Dari tampak luar, pasti banyak yang langsung meremehkan anime ini cuma sebagai Zootopia versi Jepang.
Namun, jalan cerita yang ditulis oleh Itagaki jauh dari kata simpel. Di dalam dunia Beastars, kita mengikuti kisah para siswa yang hidup di dalam Cherryton Academy, sekolah berasrama yang menerima murid herbivor dan karnivor. Lewat pengambilan latar belakang sekolah, anime ini memberikan perhatian khusus terhadap upaya yang dilakukan otoritas sekolah dalam menjaga harmoni antara hewan herbivor dan karnivor.
Maka dari itu, kumpulan sekolah-sekolah elit menciptakan gelar “Beastar” untuk hewan yang berhasil mempromosikan persatuan di antara semua makhluk hidup. Implementasinya tentunya tidak seindah yang dibayangkan saat masing-masing spesies dan otoritas sekolah berbeda berusaha mendapatkan gelar tersebut demi kepentingan golongannya sendiri. Mentalitas ala tribalisme ini menjadi fokus utama dari serial Beastars.
Spesies yang hidup di dunia ini sering kali melakukan segregasi diri sendiri ke dalam kelompok eksklusif. Hewan herbivor selalu curiga terhadap kelompok karnivor karena dianggap mengancam nyawa mereka dan sebagai sumber masalah. Sedangkan hewan karnivor mengeluh bahwa masyarakat mereka berjalan berdasarkan ideologi supremasi herbivor di mana mereka disisihkan dari banyak posisi penting di sekolah akibat kecurigaan tersebut.
Di tengah dikotomi antara herbivor dan karnivor, karakter utama kita, Legosi hidup sebagai spesies serigala yang bergabung di dalam klub teater. Walaupun begitu, Legosi cenderung pendiam dan kurang percaya diri, sifat yang dianggap tidak erat dengan spesies karnivor di dunia Beastars. Berbanding terbalik dengan Louis, rusa yang merupakan kakak tingkat dari Legosi di klub teater.
Louis selalu mengedepankan persona pemimpin dan berani di hadapan publik. Dia tidak segan menghardik mereka yang tidak memenuhi ekspektasinya, bahkan jika hewan tersebut termasuk spesies karnivor. Sebagai rusa, Louis bertindak lebih seperti hewan karnivor daripada Legosi yang merupakan serigala.
Selain itu ada juga kelinci Haru yang menjadi heroin cerita ini. Sebagai kelinci putih, banyak spesies hewan lainnya melihat dirinya sebagai makhluk lemah. Akibatnya Haru sendiri merasakan perundungan dari sesama spesies kelinci. Perbedaan antara ekspektasi masyarakat terhadap diri kita dan jati diri kita sebenarnya juga menjadi tema utama dalam perkembangan karakter di anime Beastars.
Walaupun Beastars punya jalan cerita dan karakter yang luar biasa menariknya, ada satu hal lagi yang membuat banyak orang skeptis bahwa anime ini bakal sukses. Komite Produksi Beastars memutuskan bahwa anime ini bakal diproduksi menggunakan CGI. Kita tahu banyak otaku punya sentimen berlebihan sama animasi 3D.
Namun, produksi anime Beastars berhasil sukses berkat keterlibatan banyak orang yang ahli dalam menangani animasi CGI, salah satunya sutradara Shinichi Matsumi. Sebelum menjadi sutradara Beastars, Matsumi adalah asisten sutradara dari Land of the Lustrous, anime 3D yang sering dipuji sebagai terbaik di era sekarang. Baik Beastars maupun Land of the Lustrous, sama-sama diproduksi oleh studio kecil bernama Orange.
Studio kecil yang didirikan animator CGI Eiji Inomoto pada 2004, awalnya hanya perusahaan outsourcing CGI untuk studio anime lainnya. Inomoto sebagai pendiri Orange dan juga Kepala Animasi CGI Beastars, mengaku menghabiskan separuh hidupnya untuk melawan penolakan penggemar anime terhadap CGI. Dalam wawancara dengan CGWorld pasca produksi Land of the Lustrous, Inomoto mengatakan bahwa studionya menggunakan CGI sebagai alternatif dari animasi 2D yang cenderung semakin statis pada adegan kurang penting sebagai upaya studio untuk menghemat sumber daya.
Daripada harus memilih untuk membuat beberapa adegan penting jadi dinamis dengan mengorbankan adegan lainnya, kru di studio Orange merangkul penuh penggunaan animasi 3D. Lalu apakah Inomoto cuma ngomong besar soal kemampuan studionya? Kalian bisa nilai sendiri dengan melihat salah satu adegan latihan Legosi dengan Bill di episode 4.
Mentalitas tim produksi anime yang tidak terkungkung pakem industri juga terlihat saat mereka mengundang studio lain hingga ilustrator independen ke dalam tim produksi. Opening dari Beastars dikerjakan oleh studio CYCLONE GRAPHICS di bawah arahan Michiya Kato dengan menggunakan metode stop motion. Sedangkan pada adegan mimpi Haru di episode 7 digambar secara 2D oleh ilustrator independen Yoko Kuno menggunakan pensil warna. Melawan pakem bahwa adegan 2D digambar menggunakan pensil biasa sebelum diwarnai secara terpisah menggunakan komputer.
Saya sarankan buat kalian untuk menambahkan Beastars baik season pertama dan kedua ke dalam daftar tontonan kalian. Bukan hanya punya jalan cerita dan karakter yang menarik, tetapi proses produksi dari anime ini bisa dibilang visioner. Sebuah adaptasi yang harus diancungin jempol dan tentunya ditunggu-tunggu kehadiran episode terbarunya.
Sumber gambar: YouTube Carolina.
BACA JUGA Selain Makoto Shinkai, Ini Sutradara Anime Naik Daun yang Perlu Kalian Tonton Karyanya dan tulisan Raynal Arrung Bua lainnya.