“Ealah gondes pekok!” Umpat saya saat di-blayer oleh pengendara RX-King yang menyalip. Mas-mas berpakaian gombor dengan sandal jepit itu melaju kencang tanpa peduli umpatan saya. Ya maklum sih, cuma mengumpat dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi? Saya sedang berada di Bantul Jogja. Tempat kultur gondes tumbuh berkembang layaknya kembang tebu sing kabur kanginan.
Saya malah jadi penasaran: kenapa Bantul banyak gondes? Kenapa bukan Kota Jogja dan Sleman? Apa istimewanya kabupaten pinggir laut ini sehingga bisa melahirkan generasi yang penuh cibiran ini? Pertanyaan ini berbuah permenungan panjang. Terkesan nggak penting? Yo sakkarepku tho?
Permenungan ini berlanjut menjadi penelitian sederhana. Dan penelitian itu berbuah artikel yang kini sedang Anda baca.
Gondes yang tak lagi gondrong
Sebenarnya apa itu gondes? Salah satu artikel Mojok pernah membedah kultur ini. Singkatnya, gondes adalah singkatan dari gondrong ndeso. Tapi gondes tidak sesederhana itu. Mereka yang disebut gondes kini juga tidak gondrong. Tapi masih bisa dianggap ndeso karena muncul di daerah suburban dan rural.
Gondes sendiri punya konotasi negatif. Yaitu penyebutan pemuda nakal khas desa. Kenakalannya sih beragam. Dari kebut-kebutan kemaki di jalan sampai playboy. Para gondes ini adalah society misfits yang berperilaku diluar norma masyarakat.
Saya jadi kepikiran tentang lahirnya kultur punk di London dan New York. Kata punk sendiri juga digunakan untuk menyebut para pemuda misfits dan melawan norma masyarakat. Toh anak “punk” di Jogja juga sering dipisuhi sebagai gondes. Anak punk di London dan New York juga berada di daerah pinggiran kota.
Meskipun hari ini kata gondes sudah mengalami perubahan makna, namun Bantul Jogja masih jadi pusatnya. Tapi kenapa Bantul?
Bantul yang selalu ndeso
Ketika mendengar nama Bantul, yang terlintas adalah daerah rural alias ndeso. Memang benar, karena Bantul adalah kabupaten di mana unit pemerintahan di bawah kecamatan adalah desa. Tapi istilah ndeso tidak hanya bicara pemerintahan desa.
Bantul memang daerah agraris dan sentra industri UMKM. Kabupaten ini juga menjadi salah satu penyuplai utama bahan pangan bagi Kota Jogja, terutama daging. Kegiatan ekonomi Bantul jelas lebih ndeso daripada Kota Jogja yang lebih modern. Maka wajar jika Bantul juga ndeso secara ekonomi. Kabupaten ini jelas kalah dengan Sleman dan Kota Jogja yang penuh perputaran uang.
Paparan budaya ala kota yang dibawa perantau dan mahasiswa juga belum menyentuh Bantul Jogja. Berbeda dengan Kabupaten Sleman yang jadi pusat pendidikan dan kos-kosan, terutama di daerah suburban yang dekat Kota Jogja. Meskipun di Bantul mulai bermunculan perguruan tinggi, namun lokasinya masih di tepi kota dan belum banyak. Infrastruktur pendukung mahasiswa juga masih mepet kota.
Perkara hiburan, Bantul juga tetap ndeso. Kabupaten Bantul menolak keberadaan Mall. Hiburan modern seperti club malam juga gagal di Bantul. Lihat saja Pyramid Café yang harus bertekuk lutut di hadapan dangdutan dan jathilan.
Maka karakter sosial di Bantul juga ikut ndeso. Kegiatan khas desa masih terpelihara di Bantul. Hiburan masyarakatnya masih identik dengan dangdutan dan jathilan. NDX AKA yang jadi simbol gondes juga lahir di Bantul. Pada akhirnya, warga Bantul juga masih dilabeli ndeso. Anda akan tetap dianggap ndeso ketika lahir dan hidup di bantul. Meskipun Anda adalah CEO Google atau komisaris Meta.
Bantul memang ideal bagi gondes
Karakter sosial Bantul yang ndeso ini cocok untuk melahirkan gondes. Para pemuda misfits ini bertahan dengan model adu maskulinitas yang dianggap ndeso. Dari reseh di dangdutan, blayer-blayer di jalan, sampai menjadi garangan pemikat perempuan. Inilah cara aktualisasi paling realistis bagi para gondes.
Akhirnya kultur gondes terus terpelihara di Bantul Jogja. Meskipun tren modern terus tumbuh di kota sebelah, anak-anak terus meniru gaya para seniornya. Dan mereka bahagia dengan kegondesan mereka. Percuma mereka sok-sokan mencoba dugem, kalau njogeti dangdutan di lapangan desa lebih keren di kelompoknya. Apa gunanya jalan-jalan di mall, kalau nongkrong di depan gapura desa lebih menyenangkan dan akrab.
Pada akhirnya, gondes tetap terpelihara dan terus tumbuh di Bantul. Mungkin style mereka akan berubah seiring perkembangan zaman. Namun spirit gondes, punk ala Bantul, tetap terpelihara di tengah dangdutan dan jathilan. Suara aktualisasi diri mereka akan tetap lantang bersama geberan RX-King blombongan. Inilah Bantul, dan inilah gondes.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya