Banteng Loreng Binoncengan, Falsafah Lokal yang Harus Dipahami Jika Ingin Menjadi Pemimpin di Tegal

Banteng Loreng Binoncengan, Falsafah Lokal yang Harus Dipahami Jika Ingin Menjadi Pemimpin di Tegal

Banteng Loreng Binoncengan, Falsafah Lokal yang Harus Dipahami Jika Ingin Menjadi Pemimpin di Tegal (Pixabay.com)

Banteng Loreng Binoncengan merupakan salah satu falsafah lokal Tegal yang sudah ada sejak dulu, yang menggambarkan watak orang Tegal yang kritis dan berani melawan

Jika ingin menjadi pemimpin di sebuah daerah, baik itu menjadi gubernur, bupati, anggota dewan, penting untuk memahami karakteristik daerah tersebut. Jika tidak memahami, siap-siap saja kalah dalam kontestasi politik. Kalaupun menang akan ada gejolak di dalamnya. Tak terkecuali Tegal.

Tegal, merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah, secara administratif dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten dan Kota Tegal. Jika kita mengamati dinamika politik yang ada di Tegal, dari dulu hingga sekarang. Maka saya kira pembaca akan sepakat dengan pendapat saya, bahwa dinamika politik di Tegal itu sangat menarik.

Banteng loreng binoncengan, watak orang Tegal

Sebelum itu, saya akan membahas terlebih dahulu tentang watak orang Tegal. Bagi kalian penikmat sepak bola Indonesia, tentu tidak asing dengan istilah Banteng Loreng Binoncengan, julukan dari Persekat, klus sepak bola asal Kabupaten Tegal yang sekarang mentas di Liga 2.

Banteng Loreng Binoncengan merupakan salah satu falsafah lokal Tegal yang sudah ada sejak dulu, yang menggambarkan watak orang Tegal yang kritis dan berani melawan. Digambarkan watak orang Tegal itu seperti banteng (kerbau liar). Banteng sendiri memiliki arti gagah berani dan sukar untuk dikendalikan.

Akan tetapi, pada hakikatnya watak orang Tegal yang seperti banteng (kerbau liar) sebenarnya dapat dikendalikan, dituntun, ditunggangi, dan dikuasai oleh orang yang lemah lembut dan ramah-tamah serta tidak mempunyai maksud buruk. Hal tersebut digambarkan dengan seorang anak laki-laki penggembala atau bocah angon yang mengerti betul perwatakannya, yang sedang menunggangi banteng.

Diceritakan anak laki-laki penggembala atau bocah angon tersebut menjaga dan merawat bantengnya dengan penuh kasih sayang. Pada suatu waktu harimau hendak menerkam si bocah angon, nah banteng tersebut melindungi dan menyelamatkan si bocah angon. Meski akhirnya banteng menderita luka parah di sekujur tubuhnya.

Dari cerita tersebut, sebenarnya jika ditelisik banyak tafsir (makna) yang terkandung di dalamnya. Tafsir yang umum menjelaskan bahwa orang yang bisa memimpin Tegal itu pemimpin yang bermental seperti bocah angon. Dengan kata lain pemimpin Tegal itu harus sabar, pengertian, penuh kasih sayang, dan punya sifat mengayomi.

Peristiwa Tiga Daerah, perwujudan Banteng Loreng Binoncengan

Peristiwa Tiga Daerah merupakan suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945, dan terjadi di Brebes, Tegal, dan Pemalang.

Saat itu, seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, dan camat) dan sebagian besar kepala desa diganti oleh aparat pemerintahan yang baru. Terdiri dari aliran Islam, Sosialis, dan Komunis. Nah, Tegal menjadi daerah awal mula meletusnya Peristiwa Tiga Daerah, yang kemudian merembet ke daerah lain. Kemudian Tegal menjadi daerah yang dikenal saat Peristiwa Tiga Daerah.

Sebenarnya peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh rasa muak atas kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh elite birokrat dan pangreh praja sejak zaman Penjajah Belanda hingga zaman Penjajahan Jepang.

Peristiwa Tiga Daerah membuktikan bahwa memang benar watak orang Tegal itu Banteng Loreng Binoncengan. Peristiwa Tiga Daerah membuktikan bahwa orang Tegal itu berani melawan siapapun tanpa rasa takut. Hasilnya ya dapat menggulingkan para elite birokrat dan pangrah praja, lalu menggantinya dengan yang baru.

Banteng Loreng Binoncengan dan Pemilu

Saya akan mengkorelasikan falsafah Banteng Loreng Binoncengan ini dengan kontestasi politik atau pemilu.

Berdasarkan pengamatan saya di Kabupaten Tegal misalnya, dalam kontestasi Pilbup 2013 salah seorang Pasangan Calon (Paslon) nomor 4 berhasil menjadi Bupati dan Wakil Bupati. Lalu saya menanyakan kepada beberapa pemilih yang waktu itu mencoblos paslon tersebut. Jawaban mereka sama, karena melihat rekam jejak sang Wabup yang aktif di salah satu organisasi keagamaan. Di mana ia mengabdikan diri dengan tulus dan ikhlas di organisasi tersebut.

Pada 2018 Sang Wabup mencalonkan diri, kali ini ia mencalonkan diri menjadi Bupati, dan saat itu ia berhasil menang mutlak. Saya masih ingat betul di tahun 2018 masyarakat desa tempat saya tinggal begitu antusias dalam ajang 5 tahunan tersebut, mereka mengatakan bahwa sang bupati merupakan sosok yang benar-benar mengayomi.

Kemudian terkait dengan Pemilihan Legislatif (DPR/DPRD Provinsi), Tegal itu masuk dalam Dapil IX meliputi Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Tegal. Menariknya jika kita teliti detail, beberapa calon tersebut bukan orang yang lahir dan besar di Tegal, bahkan ada yang terpilih.

Sebenarnya boleh-boleh saja, nggak ada masalah. Tetapi sudah sepantasnya putra daerah asli yang menjadi wakil rakyat di daerah tersebut, karena yang benar-benar memahami seluk beluk permasalahan di daerah tersebut.

Agaknya mereka memahami watak masyarakat yang diibaratkan seperti Banteng Loreng Binoncengan guna mendapatkan suara.

Pemilu 2019, pengalaman pertama berpolitik di Tegal

Pada 2019 saya termasuk ke dalam pemilih pemula dan belum memahami politik, bahkan nama-nama wakil rakyat di kertas suara pun terasa asing bagi saya. Saat itu ada beberapa tokoh masyarakat yang mengatakan supaya coblos nomor urut sekian dari partai ini, dan saya saat itu manut-manut saja. Bukan hanya saya yang manut, pemilih yang bukan kategori pemula juga manut-manut saja kepada tokoh masyarakat tersebut.

Alasan saya dan banyak pemilih manut saran dari tokoh masyarakat tersebut, karena ia sosok yang jujur, ikhlas, mengayomi. Jadi rekomendasi atau sarannya tidak akan keliru. Padahal ya belum tentu saran tersebut benar, buktinya anggota dewan yang saya pilih, tidak tahu apa kontribusinya untuk Tegal setelah jadi anggota dewan, Hehehe.

Itulah watak orang Tegal, yang perlu diperhatikan banyak caleg dan peserta pemilu lain. Tapi, pesan saya, ingat, yang manut pun belum tentu tidak akan memberontak. Bisa jadi, jika salah langkah, yang terjadi malah di luar dugaan.

Penulis: Malik Ibnu Zaman
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Culture Shock Berkendara di Tegal: Nyala Lampu APILL yang Agak Laen dan Bau Teh di Mana-mana

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version