Bandung di Mata Orang Palembang: Udah Mahal, Banyak “Anjing” pula

Bandung di Mata Orang Palembang: Udah Mahal, Banyak "Anjing" pula

Bandung di Mata Orang Palembang: Udah Mahal, Banyak "Anjing" pula (Unsplash.com)

Di benak saya sebagai orang Palembang, Bandung adalah kota yang sangat layak dikunjungi. Banyak cerita keindahan saat membayangkan kota yang penuh muda-mudi good looking ini. Dan, kesempatan itu datang sekitar setahun yang lalu, saat saya memutuskan untuk pergi ke Bandung setelah hampir sebulan menetap di Balikpapan.

Setelah sampai di Bandung dan diajak jalan-jalan oleh banyak teman di sana, saya mengalami gegar budaya. Ada beberapa hal yang bikin saya culture shock di Bandung.

#1 Batagor di Bandung kok pakai kuah kaldu?

Setahu saya, kuah batagor itu cuma satu saja jenisnya, yaitu kuah kacang. Namun, ketika makan batagor di Bandung, saya diberi dua pilihan. Batagor kuah kacang atau batagor kuah kaldu.

Jelas saya bingung memilihnya. Tapi karena penasaran, saya putuskan untuk mencicipi batagor kuah kaldu yang mirip seperti model (sejenis pempek di Palembang tapi bukan pakai cuko, melainkan kuah kaldu bening).

Awalnya saya merasa makan batagor kuah kaldu sama seperti makan batagor kuah kacang. Nyatanya, batagor kuah kaldu nggak cocok di lidah saya sebagai orang Palembang. Aneh aja gitu ketika menyantap bakso, tahu, dan kulit pangsit yang digoreng dengan kuah kaldu bening.

Selama tinggal di Palembang dan makan batagor, saya sama sekali belum pernah dikasih pilihan makan batagor kuah kaldu atau batagor kuah kacang. Yang dikasih oleh si penjual biasanya batagor kuah kacang. Dan kalau saya perhatikan memang nggak ada batagor kuah kaldu yang dijual di Palembang. Makanya ketika menemukan batagor kuah kaldu di Bandung, saya beneran syok.

Baca halaman selanjutnya: Sering mendengar kata “anjing”…

#2 Sering mendengar kata “anjing”

Bagi saya yang selalu bertutur kata sopan ini, kata “anjing” yang diucapkan orang Bandung membuat saya jadi syok sendiri. Lho, iya. Kata “anjing” memang sering disebut orang Palembang saat sedang kesal dengan sesuatu. Tapi masalahnya, kata ini cuma keluar saat orang Palembang marah saja. Beda sama orang Bandung yang mengucapkan kata ini seperti kata wajib yang dilontarkan 5 kali sehari.

Pernah suatu malam, saat saya baru tiba di Bandung, saya diajak makan ke sebuah warung makan. Kebetulan saat itu warungnya ramai. Selama makan, setidaknya saya sudah mendengar 10 kali kata “anjing” diucapkan oleh orang-orang sekitaran saya. Bukan hanya teman-teman saya yang mengucapkannya, muda-mudi yang sedang makan di sana juga sering mengucapkan kata “anjing”. Banyak banget!

Kadang saya merasa tersinggung dengan ucapan “anjing” ini. Tapi nyatanya, kata “anjing” sudah jadi budaya percakapan orang Bandung. Setelah saya amati, umpatan ini nggak selalu berarti kekesalan, tapi bisa juga jadi kalimat tanya maupun jadi penanda koma oleh orang Bandung.

#3 Di mana penjual seblaknya?

Setelah pulang, saya baru kepikiran kalau saya nggak menemukan seblak saat keliling Bandung. Entah saya yang mainnya kurang jauh atau gimana, tapi beneran saya nggak ketemu penjual seblak. Penjual makanan yang banyak saya jumpai justru penjual batagor, cimol, cilok, atau tahu jeletot.

Berbeda dengan Palembang, selain pempek yang selalu ada di setiap tikungan kota Palembang, seblak pun mulai sama banyaknya di sana. Namun, ketika saya beberapa kali diajak keliling pusat kota Bandung, kok saya sama sekali nggak ketemu penjual seblak.

Saat saya jalan-jalan di sekitar Jalan Braga atau Gedung Sate misalnya, kok yang ada malah satu warung yang menjual pempek. Apakah semua penjual seblak di Bandung sudah pindah ke Palembang, ya?

#4 Harga makanan di Bandung lebih mahal

Biasanya berbekal uang 5 ribu rupiah, saya sudah bisa makan batagor di Palembang. Itu sudah kenyang, lho. Tapi beda waktu di Bandung, saat saya memesan batagor di sana, kok rasanya nyesek ya karena harganya dua kali lipat dibanding harga batagor di Palembang!

Selama berkeliling Bandung dan bayar makanan di sana, rasanya uang di dompet saya cepat sekali terkuras. Harga seporsi batagor ada yang 15 ribu, belum ditambah es dogernya seharga 15 ribu juga. Kalau di Palembang sih uang 15 ribu bisa dapat 3 porsi batagor.

Bukan cuma itu, harga makanan di Bandung kadang membuat saya nggak enak dengan teman-teman di sana. Saat mereka bayarin saya makan, rasanya uang mereka cepat sekali habis cuma untuk bayarin makan malam. Padahal di Palembang uang ratusan ribu itu bisa untuk makan 3 hari, lho.

Begitulah Bandung di mata orang Palembang seperti saya. Walau mungkin mengejutkan, tapi bepergian ke Kota Kembang membuat saya jadi punya pengalaman baru.

Penulis: Muhammad Ridho
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA SCBD Bandung, Kawasan Baru yang Macetnya Nggak Manusiawi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version