10 Bahasa Jawa Suroboyoan yang Paling Unik dan Sulit Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Para Perantau di Surabaya Wajib Tahu!

Bahasa Jawa Surabaya yang Sulit Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (Unsplash)

Bahasa Jawa Surabaya yang Sulit Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (Unsplash)

Ada banyak Bahasa Jawa Surabaya yang unik dan sangat sulit diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Berikut 10 di antaranya.

Di artikel saya sebelumnya tentang deretan kosakata daerah plat AG, menuai banyak perhatian teman-teman mahasiswa dari daerah Malang, Jombang, khususnya Surabaya. Mereka memberi apresiasi lantaran artikel tersebut bisa sedikit meringankan saat berdialog dengan teman mahasiswa dari daerah plat AG.

Namun, selain mengapresiasi, mereka juga turut meminta tolong ke saya agar membuatkan daftar Bahasa Jawa dialek Suroboyoan. Katanya, supaya seimbang, supaya teman mahasiswa dari daerah plat AG yang kuliah di Surabaya, juga turut belajar perbendaharaan kata Suroboyoan. Mereka juga bilang, bahwa masih banyak bahasa Suroboyoan yang unik dan sulit diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

Berikut daftarnya:

#1 Bahasa Jawa Surabaya “dapak” yang mempunyai 2 makna

Kata “dapak” biasanya dipakai ketika ada pertanyaan yang harus dikonfirmasi dengan perasaan kecewa. Jika dimaknai ke dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa Suroboyoan satu ini sebenarnya bisa saja dimengerti dalam 2 arti, yakni ‘jangankan’ dan ‘maka dari itu’.

Tapi perlu diingat, menggunakan kata ini jangan sampai rancu. Jangan sampai yang harusnya untuk makna ‘jangankan’, malah konteks dialognya membutuhkan makna ‘maka dari itu’. Supaya tidak sampai keliru, saya beri contoh.

“Yok opo, wingi jare sido dolen karo gebetanmu?” (Gimana, kemarin katanya jadi main sama gebetanmu?)

“Dapak dolen, chat ku ae gak dibales, kok” (Jangankan jadi main, chat saya saja tidak dibalas, kok.)

Itu contoh penggunaan kata “dapak” dalam makna ‘jangankan’. Lalu untuk penggunaan yang maknanya ‘karena itu, contohnya seperti ini: 

“Yok opo iki rek, mosok wes tanggal tuek, bayaran sek gurung cair.” (Gimana ini, kawan, masak sudah tanggal tua, gajian belum cair.)

“Dapak gak ngunu, padahal kate digae malam mingguan lho” (Maka dari itu, padahal mau dibuat malam mingguan, lho.)

Intinya, kalau penggunaan kata “dapak” dalam arti ‘maka dari itu’, ada tambahan kata “gak ngunu”. Sementara penggunaan kata “dapak” dalam arti ‘jangankan, tidak ada tambahan kata lain.

#2 Mblindis, merujuk ke orang yang hanya memakai celana

Kata dalam Bahasa Jawa Surabaya selanjutnya adalah “mblindis”. Jika ditafsirkan ke dalam Bahasa Indonesia secara sederhana, kata satu ini bisa bermakna ‘tidak pakai baju’. Tapi, kata “mblindis” bukanlah kata yang akan dipakai orang Surabaya ketika mau mandi. Sebab, ‘tidak pakai baju’ di sini menggambarkan orang yang hanya memakai celana saja.

Dalam dialek Suroboyoan, kata “mblindis” akan dipakai ketika seseorang merasa badannya gerah karena suhu yang cukup panas. Makanya kenapa, yang dicopot hanya bajunya saja, bukan sekaligus celananya. Contoh kalimatnya begini: 

“Wadoh, puanas e dino iki, tak mblindis ae lah” (Waduh, panas sekali hari ini, aku copot baju saja, lah.)

#3 Andus, yang maknanya sangat tidak sederhana

Secara sederhana, kata “andus” dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ‘sangat bersemangat melakukan sesuatu’. Namun, dalam Bahasa Jawa Surabaya,, maknanya tidak sesederhana itu. Sebab, kata ini cenderung dipakai untuk mendeskripsikan perbandingan kelakuan seseorang yang lain, yang tidak terlalu bersemangat.

Misal si A dalam hal menulis, sangat bersemangat. Semantara itu, dalam hal bersih-bersih, tidak bersemangat. Contoh kalimat untuk kata ini sebagai berikut: 

“Deloken, lek dikongkon nulis ae andus, lek dikongkon resik-resik omah muales.” (Lihatlah, kalau disuruh menulis saja sangat bersemangat, tapi kalau disuruh bersih-bersih rumah sangat malas.)

#4 Gak gedugo, dalam Bahasa Indonesia maknanya sederhana saja 

Istilah Bahasa Jawa Surabaya selanjutnya adalah “gak gedugo”. Kata ini dipakai ketika menegasikan sesuatu yang tidak recommended untuk diperhatikan secara kasar. Atau juga bisa digunakan saat ada seseorang yang kelakuannya menjijikkan ataupun tercela. Contoh kalimatnya begini:

“Aku gak gedugo tuku mangan seng panggone rusuh.” (Aku tidak akan beli makan yang tempatnya kumuh.)

“Aku gak gedugo pacaran karo arek seng gak tau ados.” (Aku tidak mau sama pacaran sama orang yang tidak pernah mandi.)

#5 Nglencer, Bahasa Jawa Surabaya merujuk ke jarak bepergian

Kata Bahasa Jawa Surabaya satu ini jika ditafsirkan ke Bahasa Indonesia secara sederhana, maknanya adalah ‘bepergian jauh’. Tapi, dalam dialek Suroboyoan, maknanya tidak sekadar bepergian jauh saja. Sebab kata ini juga sering digunakan ketika hari raya Idul fitri, tepatnya saat mau bersilaturahmi ke tetangga sekalipun jaraknya dekat rumah.

Contoh kalimatnya seperti ini: 

“Ayo nglencer nang Jogja” (Ayo, bepergian ke Jogja). Atau, “Ayo nglencer nang tonggo-tonggo sekitar omah.” (Ayo silaturahmi ke tetangga dekat rumah).

#6 Cuwawakan, merujuk ke sesuatu yang keterlaluan

Kalau Bahasa Indonesia ada “bercandanya keterlaluan”, Bahasa Jawa Suroboyoan ada “cuwawakan”. Tapi, seperti saya katakan di awal tadi, dialek Suroboyoan maknanya tidak sesempit ketika ditafsirkan ke Bahasa Indonesia secara sederhana. Makna “bercandanya keterlaluan” pada kata “cuwawakan” ini punya dua spesifikasi, yakni ‘bicara dan tertawa yang terlalu keras’.

Contoh kalimatnya begini: “Awakmu kok cuwawakan ngunu seh.” (Kamu kok bercandanya dengan cara bicara dan tertawa terlalu keras, sih.”

#7 Medhag, Bahasa Jawa Surabaya yang artinya itu sebetulnya sederhana

Kata dalam dialek Suroboyoan selanjutnya adalah “medhag”, yang artinya ‘tidak pernah digunakan’. Kata satu ini biasanya digunakan ketika ada barang yang terlalu lama disimpan dan tidak pernah dipakai. Berikut contoh kalimatnya: 

“Iko lho, sepeda ontelmu medhag sampek rausuh.” (Itu lho, sepeda ontelmu tidak pernah digunakan sampai keadaannya kotor sekali.)

#8 Atek, yang menjadi konjungsi dalam dialek Suroboyoan

Kata Suroboyoan satu ini jika ditafsirkan ke Bahasa Indonesia maknanya persis konjungsi seperti ‘dan/dengan’. Hanya, dalam dialek Suroboyoan, makna ‘dan/dengan’ ini cenderung ke arah konjungsi yang melengkapi objek kalimat. Contoh kalimatnya begini: 

“Pak, tuku tahu tek atek endog e pisan ya, Pak” (Pak, beli tahu tek sama telornya sekaligus ya, Pak.)

Tapi, kadang kata “atek” ini juga bermakna ‘usah/perlu’. Dan kata “atek” yang punya makna demikian selalu ada tambahan kata “gak”. Sehingga contoh kalimatnya begini: 

“Lek jik cilik, gak atek pacaran.” (Kalau masih kecil, tidak usah pacaran.)

#9 Laopo, yang maknanya nggak sesederhana itu

Kata dalam dialek Bahasa Jawa Suroboyoan selanjutnya adalah “laopo”. Jika ditafsirkan ke Bahasa Indonesia secara sederhana, maknanya adalah ‘kenapa’. Tapi, dalam dialek Suroboyoan, makna kata tanya ‘kenapa’ pada kata “laopo” ini lebih menekan karena keheranan. Contoh ungkapannya bisa seperti ini: 

“Laopo kon iku.” (Kenapa, sih, kamu sampai begitu.)

#10 Koyok yok-yok o, yang kamu banget

Bahasa Suroboyoan yang terakhir adalah “koyok yok-yok o”. Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia secara sederhana, maknanya ‘kebanyakan gaya’. Cuman, dalam Bahasa Jawa Surabaya, makna ‘kebanyakan gaya’ terasa lebih dalam dan spesifik. Bisa dikatakan, kata “koyok yok-yok o” adalah kebanyakan gaya yang bermuatan sombong dan arogan.

Itulah deretan Bahasa Jawa Suroboyoan yang paling unik dan sulit ditafsirkan ke Bahasa Indonesia. Silakan dibaca lagi sampai paham maksud dari bahasanya. Sebab kalau kalian perantau, beberapa bahasa tadi cukup sering digunakan orang-orang Surabaya dan sekitarnya ketika berdialog. Terlebih lagi, deretan bahasa tersebut cukup sulit bahkan nyaris mustahil jika harus mencari padanan bahasa indonesianya.

Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 8 Kosakata Bahasa Jawa Orang Grobogan yang Nggak Dimengerti Orang Kudus, padahal Wilayahnya Tetanggaan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version