Bagi Saya, Angkringan Jogja Itu (Kini) Overrated, Tidak Perlu Dipuji Sampai Setinggi Itu

Sisi Gelap Penjual Angkringan yang Perlu Diwaspadai, Pelanggan Sebaiknya Hati-Hati Mojok.co angkringan jogja angkringan di kediri

Sisi Gelap Penjual Angkringan yang Perlu Diwaspadai, Pelanggan Sebaiknya Hati-Hati (surakarta.go.id)

Jogja, daerah yang segala sisinya selalu jadi perbincangan banyak kalangan. Sebab, bagi yang pernah mendatanginya, Jogja itu romantis dan ngangenin. Salah satu yang selalu dijadikan objek romantisme adalah angkringan. Tempat makan yang menjual makanan serba mini ini selalu dipandang sebagai identitas dari Jogja.

Bagi banyak orang, angkringan Jogja adalah simbol keberagaman sosial dan penjaga tradisi kearifan lokal. Kemudian tempat paling asyik untuk berdiskusi dan menggali inspirasi, dan menawarkan ketahanan pangan 24 jam dengan harga terjangkau bagi mereka para pengembara rupiah di malam hari.

Ini preferensi, tapi bagi saya, yang beberapa kali bolak-balik Yogyakarta, semua anggapan soal angkringan Jogja terlalu berlebihan alias overrated. Pada kenyataannya, angkringan Jogja (apalagi di kawasan pusat kota dan sekitarnya) tidak selalu menawarkan semua romantisme di atas.

Angkringan Jogja nggak menawarkan keistimewaan

Pertama soal menu dan rasa makanan, bagi saya angkringan Jogja tidak menawarkan keistimewan sebagaimana nama daerahnya. Biasa saja. Artinya begini, apa yang disuguhkan angkringan Jogja, seperti nasi kucing/nasi bungkus, teh, gorengan, sate-satean, dan makanan pendukung lain, juga bisa saya dapatkan di daerah lain seperti Semarang dan Solo.

Bahkan dengan rasa yang lebih enak dan harga yang lebih murah. Apalagi kalau kalian memasuki angkringan di daerah pusat Jogja dan sekitarnya, dijamin menu angkringannya template dan gitu-gitu aja. Kalaupun ada yang beda, paling kopi arang. Yah itu menu yang unik sih, tapi bukan minuman yang bisa dinikmati siapa saja, kan? Status sebagai wisatawan juga bisa membuat seseorang diketok dengan harga tinggi ketika selesai makan di angkringan.

“Oh tapi kan yang dicari suasananya yang hangat, tenang, syahdu, dan membumi?”

Baca halaman selanjutnya: Kedua, romantisme suasananya tidak selalu…

Kedua, romantisme suasananya tidak selalu bisa didapatkan ketika makan di angkringan Jogja. Banyak yang berharap dapat nuansa yang katanya “Jogja banget”, yaitu suasana syahdu, musik keroncong, ngobrol sama orang random. Kenyataannya sebaliknya, kebanyakan angkringan cuma ramai orang makan, habis itu pulang. Tidak selalu ada momen magis seperti di cerita FTV.

Hal naif seperti itu sudah sulit ditemukan oleh kalian para wisatawan, apalagi di pusat Kota. Yang kalian temukan bisa jadi adalah misuh-misuh karena padatnya Jogja. Kemudian, karena berstatus kota wisata, yang kalian dapatkan hanya lalu-lalang sesama wisatawan yang kadang kelihatan norak dan nggak inklusif. Nggak jarang, ketika kondisi ramai, kalian para wisatawan hanya mendapat tempat duduk seadanya, bahkan duduk di pinggir jalan sambil kena asap kendaraan.

Unsur ketenangan baru bisa kalian dapatkan kalau mau menetap lebih lama di Jogja dan menjelajah ke lebih dalam sudut Jogja, misalnya di daerah Sleman, Bantul, atau sisi lain dari Gunungkidul.

Memory keeper

Ketiga, soal higienitas dan kesegaran makanan yang dijual juga patut dipertanyakan. Bukan bermaksud suudzon nih, saya beberapa kali makan di angkringan Jogja selalu mendapat masalah soal gorengan yang terlalu keras (mungkin karena sisa kemarin digoreng lagi), dan nasi bungkusnya yang sudah agak berkeringat. Jadi nggak bisa dinikmati.

Selain itu, karena angkringan ini warung yang modelnya kebanyakan open kitchen, maka makanan atau gorengannya pun banyak yang terbuka sehingga berpotensi kena debu jalanan, kadang ada lalat, dan kena polusi kendaraan yang ramai berlalu-lalang. Yang paling sering saya lihat adalah cara membersihkan alat makan yang cuma dicelup air seadanya.

Semua hal di atas membuat saya merasa bahwa angkringan Jogja adalah bukti dari romantisme berlebihan yang nggak dibarengi dengan penguatan identitas dan inovasi yang baik yang bisa mengikuti zaman. Mungkin, awalnya, terutama era sebelum adanya media sosial, angkringan Jogja memang menawarkan banyak hal yang memberikan pengalaman mental dan sosial. Tapi perkembangan zaman melunturkan identitasnya yang penuh kesederhanaan dan kearifan lokal, menjadi hanya alternatif tempat makan yang dianggap murah. Padahal bisa jadi lebih mahal.

Boleh jadi, sebelumnya angkringan Jogja adalah “memory keeper”. Banyak kisah hidup, cinta, bahkan perjuangan mahasiswa di Jogja yang bermula dan berakhir di angkringan. Ada nostalgia yang tidak semua tempat makan bisa berikan. Tapi itu dulu. Saat ini angkringan hanyalah komoditas wisata yang menurut tidak lagi istimewa. Karena toh masih banyak objek yang khas dari Jogja yang lebih bisa dinikmati.

Jadi aneh betul ada orang yang jauh-jauh ke Jogja hanya ingin nyoba makan di Angkringan. Lah wong di daerah lain juga ada.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Bakpia Jogja yang Bikin Kecewa, Wisatawan yang Mau Beli Mending Pikir Dua Kali

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version