Mahasiswa UI Depok memang harus berdamai dengan jeleknya sinyal internet. Tapi, tetap saja menyebalkan. UKT elit, sinyal sulit!
Walaupun pandemi sudah lama mereda, nyatanya, kelas daring masih sering dilaksanakan di kampus saya, UI (Universitas Indonesia). Ketika dosen sedang berhalangan datang ke kampus, biasanya, kelas akan dilaksanakan melalui aplikasi konferensi daring.
Di satu sisi, jika kelas dilaksanakan secara daring, mahasiswa akan bersorak. Kami tidak perlu repot-repot mandi, berpakaian rapi, dandan, lalu berangkat. Tinggal duduk manis di rumah atau kos masing-masing, lalu menyalakan peranti.
Masalahnya, di Depok, terlebih di UI, sinyal internet sering jelek. Bahkan, ketika sedang berada di luar ruangan, ada kalanya mengunduh file atau membuka situs internet lamanya minta ampun.
Bagi kami mahasiswa, sinyal internet merupakan salah satu kebutuhan pokok. Buktinya, kebanyakan kos sekarang menyediakan Wi-Fi. Ini menjadi pertanda nyata bahwa mahasiswa butuh kualitas internet yang baik untuk mendukung kehidupan perkuliahannya. Bayangkan, sekarang tugas dan bacaan referensi serba-online. Praktis, sih, praktis, tapi kalau sinyal internet nggak mendukung, yo piye?
Sinyal internet yang buruk tidak hanya memengaruhi kehidupan akademis mahasiswa UI, tetapi juga aspek lain dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, kalau malam-malam saya tiba-tiba lapar, biasanya saya memesan makanan via aplikasi ojek daring. Eh, ndilalah, sinyalnya lemot. Hal ini sering sekali terjadi. Ujung-ujungnya, saya menyeduh mi lagi… mi lagi.
Tidak hanya itu, komunikasi pun sering terhambat. Ketika mau membalas pesan penting dari teman, pesan sering kali tidak kunjung terkirim. Ketika menelepon pun, percakapannya putus-putus. Agaknya hal ini yang masih kurang dipahami oleh orang tua saya. Kadang ketika mereka menelepon, telepon itu tidak saya angkat karena sinyalnya memang jelek sekali, sampai-sampai telepon mereka tidak masuk ke notifikasi saya.
Daftar Isi
Sinyal jelek malam-malam, cara “seru” menguji iman mahasiswa UI
Salah satu hal yang menjadi tantangan terbesar bagi kami mahasiswa UI Depok adalah ketika sinyal internet tiba-tiba down malam-malam saat mengerjakan tugas. Saya akui, kebiasaan begadang demi mengerjakan tugas itu memang kebiasaan buruk. Namun, bukankah seharusnya sinyal internet setidaknya bisa diajak berkompromi? Seharusnya, sinyal internet itu cepat tanpa hambatan, 24 jam.
Ketika mahasiswa sedang mengerjakan tugas malam-malam, mepet deadline pula, sinyal lemot adalah momok yang sangat menakutkan. Bayangkan, deadline tinggal beberapa menit, tapi server muter-muter terus. Karena nggak bisa mengakses referensi di internet, hasil penelitian jadi ala kadarnya. Tugas pun bisa-bisa terlambat karena situs buat mengumpulkannya tidak bisa dibuka. Bikin jantungan saja.
Server UI Depok itu memang sudah lambat, ribet, dan nyebelin dari sananya. Jadi, minimal sinyal internetnya jangan lemot juga, lah. Suka banget nambah-nambahin beban orang, sih?
Di mana-mana sama saja
Mungkin, memang, kualitas sinyal internet tergantung pada operator atau penyedia layanan Wi-Fi yang digunakan. Tapi, saya sudah punya 2 SIM dengan operator yang berbeda dan dua-duanya masih jelek-jelek aja, tuh.
Di kos yang saya tempati, ada Wi-Fi yang bisa digunakan penghuni. Router-nya pun tidak hanya satu, tapi ada banyak dan tersebar di berbagai sudut kos. Hanya saja, sinyal Wi-Fi ini tidak bisa diprediksi. Kalau lagi lancar, ya, lancar banget. Tapi kalau lagi lemot, ya, bisa bikin orang sabar mengelus dada.
Memang, kadang ibu kos sering memanggil tukang servis Wi-Fi untuk memeriksa router secara berkala. Namun, setelah sudah diperbaiki, biasanya Wi-Fi di kosan saya masih sering lemot lagi dan lemot lagi. Setiap pulang, saya selalu mengecek apakah Wi-Fi-nya bisa tersambung atau tidak. Ini bahkan sudah menjadi semacam ritual buat saya.
Bahkan, saya sudah membeli modem Wi-Fi portable. Saya membelinya supaya jika Wi-Fi kosan mati malam-malam saat sedang mengerjakan tugas, saya masih punya cadangan. Eh, hasilnya malah sama saja. Kadang lancar, kadang lamban. Kadang malah tablet saya tidak bisa tersambung sama sekali. Kalaupun tersambung, ada tulisan yang selalu sama di lama pengaturan: “connected, no internet”.
Saya tidak sendiri
Awalnya, saya mengira ini masalah saya sendiri. Ternyata, teman-teman saya juga banyak yang mengalami hal serupa, terutama teman-teman di daerah Kutek (Kukusan Teknik).
Teman-teman saya, khususnya yang datang dari rantau jauh dan tinggal di Asrama UI, juga kadang-kadang mengeluhkan hal serupa. Kata mereka, router Wi-Fi di asrama adanya di lantai bawah, jadi penghuni lantai atas biasanya harus turun terlebih dahulu supaya mendapat sinyal yang kencang.
Jika ada yang coba-coba memakai kuota dan bukan Wi-Fi kampus di beberapa titik di Kampus UI, biasanya nggak ada sinyal sama sekali. Memang, di lingkungan kampus UI, ada Wi-Fi kampus yang bisa diakses dengan akun SSO (Single Sign-On) alias akun mahasiswa. Ini juga sinyalnya kadang bagus dan kadang jelek. Anekdotnya, UKT elit, sinyal sulit… eh!
Ironi UI: daerah kampus kok sinyalnya jelek?
Kualitas sinyal di UI betul-betul tidak bisa diprediksi. Apa lagi kalau musim hujan. Saya sering heran, kenapa, sih, kalau sedang hujan, sinyal internet jadi lemot. Katanya, sih, hujan bisa memengaruhi kecepatan sinyal internet karena adanya hamburan gelombang radio.
Lantas, saya jadi teringat ketika seorang kenalan saya dari Jepang mengeluh tentang sinyal internet di Indonesia. Kalau musim hujan, kok, sinyal jelek banget, katanya. Padahal, di negaranya, kalaupun hujan turun, sinyal internet juga masih aman-aman aja. Di situ, saya sadar bahwa selama ini, sebenarnya kesalahannya ada di pembangunan, bukan di air hujan.
Baiklah: kenyataan tidak semudah itu untuk direalisasikan. Negara kita luas dan membangun BTS itu cukup mahal. Namun, saya merasa bahwa pembangunan ini juga terhambat karena faktor struktural lainnya, seperti penggelapan dana.
Mungkin inilah salah satu alasan banyak mahasiswa UI yang nongkrong di kafe atau tempat umum lainnya, sekaligus numpang Wi-Fi. Lha, itu juga mumpluk semua di Margonda. Jalan Margonda yang panjangnya tidak lebih dari 5 km itu memiliki 4 mal, apartemen 20 tower, kafe, dan tempat nongkrong borju lainnya. Pemkot Depok sudah beberapa kali berkata bahwa pembangunan Depok tidak Margonda-sentris. Namun, nyatanya, hal itu masih sering terjadi.
Depok, ‘kan, luas, tapi saya rasa pembangunan BTS-nya masih kurang sepadan dengan pertumbuhan penduduknya. Apa lagi, UI, ‘kan, daerah kampus. Masa, sih, sinyalnya jelek? Mikir!
Penulis: Dinar Maharani Hasnadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menengok Biaya Kuliah Universitas Indonesia (UI) yang Diprotes Calon Mahasiswa