Sudah memasuki bulan ke empat berlalu sejak kebijakan Work From Home (WFH) di beberapa kantor disusul Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah sebagai langkah menekan laju penyebaran Covid-19. Kini kita sedang bersiap memasuki era baru yang disebut kenormalan baru. Era baru ini disebut-sebut membawa perubahan signifikan pada cara kita memulai pagi sampai malam, dari tempat kerja menuju rumah, dari cara berpakaian hingga cara berkomunikasi.
Teruntuk cara berkomunikasi. Sudah banyak protokol Kesehatan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan di mana salah satu yang jadi sorotan saya kali ini adalah bagaimana cara kita menjaga jarak untuk berkomunikasi antar manusia. Jika sebelumnya untuk rapat kita bisa duduk memenuhi seluruh kursi dalam sebuah ruangan, kini hal tersebut menjadi suatu yang dihindari. Jangankan duduk dalam sebuah ruang rapat, untuk sekedar bertegur sapa satu sama lain saja harus ada jaga jarak fisik (physical distancing) dengan ketentuan minimal 1 meter, tidak bersalaman, tidak berpelukan apalagi berciuman pipi.
Hal ini tentu membawa pergeseran baru bagi kita dalam berkoordinasi terkait pekerjaan. Ini dimulai dengan maraknya penggunaan percakapan video melalui aplikasi Zoom atau Google Meet sejak Pandemi Covid-19 meledak. Seiring dengan meningkatnya pamor aplikasi Zoom, suka tidak suka kita diwajibkan beradaptasi terhadap perubahan aktivitas ini.
Ada sebuah cerita nyata. S, teman saya. Saya sangat yakin S merupakan orang yang sangat percaya diri dan fasih dalam berkomunikasi mengenai bidang keilmuannya secara tatap muka. Saya bersaksi tidak ada keraguan dalam riwayatnya. Semua orang juga mengamininya. Hingga pada suatu ketika, S diundang mengikuti test wawancara beasiswa via Zoom. S mengakui tidak pernah menggunakan aplikasi tersebut.
Sampai tiba proses wawancara dan siapa sangka, S menjadi sosok yang 180 derajat berbeda. Bicaranya gugup dan terbata-bata. Saat sesi wawancara berakhir, S mengakui bahwa wawancara daring melalui Zoom jauh lebih melelahkan daripada wawancara secara tatap muka. Adanya gap sepersekian detik dalam tanya jawab (lag), peserta yang mematikan suara dan video serta emosi peserta yang tidak dapat ditangkap oleh S adalah faktor kegagalan S lulus wawancara beasiswa.
Dari fakta tersebut kemudian timbul suatu pertanyaan, apa yang membuat aktivitas ini melelahkan? Dan bagaimana cara mengurangi kepenatan rapat melalui aplikasi Zoom?
Mengapa percakapan Zoom membutuhkan lebih banyak energi?
BBC News Indonesia dalam liputannya menjelaskan hasil wawancaranya dengan Gianrio Petriglieri, asisten professor di Insead Business School dan Marissa Shuffler, asisten professor di Clemton University bahwa berada dalam percakapan video memerlukan fokus yang lebih tajam ketimbang percakapan tatap muka. Percakapan video mengharuskan kita bekerja lebih keras memproses isyarat non-verbal seperti ekspresi wajah, gaya dan nada bicara serta bahasa tubuh. Memberi perhatian kepada sejumlah hal tadi (nyatanya) menguras banyak energi bagi sebagian kita.
Pikiran kita diminta fokus saat tubuh kita tidak siap. Situasi tidak harmonis itu yang menyebabkan perasaan campur aduk dan—tentu sungguh melelahkan. Kita tidak bisa menikmati perbicangan secara natural. Sementara kalau pun kita diam, maka diam kita tentu membuat lawan bicara menjadi tidak nyaman.
“ini kenapa malah kaya jadi siaran radio sih. Gue sendiri yang ngomong, kalian video sama suara dimatiin” ujar salah satu narasumber yang ucapannya menggelitik saya dalam suatu diskusi Hukum.
Pada hasil kajian tahun 2014 dalam liputan yang sama, jeleknya jaringan internet dalam konferensi membentuk pandangan negatif terhadap orang tertentu. Bahkan jeda 1,2 detik membuat orang memandang lawan bicaranya dalam percakapan video menjadi tidak ramah atau tidak fokus. Faktor lainnya, saat kita secara fisik terlihat melalui kamera, kita menjadi sangat sadar bahwa kita tengah diawasi oleh seluruh peserta. Kondisi ini bahkan diperparah saat seluruh peserta mematikan video dan suara. Ini seperti berada dalam panggung besar dengan sorotan lampu tertuju ke panggung yang secara tidak langsung memunculkan tekanan sosial dan perasaan bahwa ‘kita perlu terlihat prima’.
Maka bagi saya menjadi tidak heran ketika Shuffler berujar “harus tampil di hadapan orang lain itu menegangkan dan penuh tekanan”, sebab Zoom pada saat WFH misalnya, mengharuskan kita tampil prima meski situasi bisa jadi sangat berbeda satu sama lain. Jika beberapa orang bisa tenang melakukan Zoom Meeting di ruang rapat khusus kedap gangguan, maka hal ini tidak berlaku untuk orang yang memiliki rumah sangat sederhana atau orang yang melakukan rapat daring melalui sudut rumahnya saat anaknya masih kecil dan butuh perhatian, atau saat keadaan rumah tidak kondusif untuk melakukan rapat.
Beberapa kali saya mengikuti rapat via Zoom misalnya, acap saya temukan kondisi dimana lawan bicara saya berbicara diiringi suara tangisan anaknya atau teriakan istri untuk memanggil sanak famili untuk makan yang memekakkan telinga. Ini belum diperparah dengan buruknya kualitas video lawan bicara yang memaksakan diri menggunakan background.
Persoalan background pun juga tidak kalah menarik sebab tidak jarang background digunakan untuk memberi identitas bahkan sekedar iseng. Misalnya, dalam suatu diskusi Hukum yang bertema serius di awal bulan Maret—di mana Zoom masih baru digunakan dan semua peserta masih menyalakan video, saya pernah menemui peserta rapat yang menggunakan background luar angkasa atau pantai. Alih-alih memberi identitas, saya justru terkekeh sebab peserta ini seolah tengah mengikuti sesi diskusi di dimensi antah barantah. Membawa imajinasi saya melayang bahwa saya tengah berbicara dengan alien.
Maka bisa jadi (menurut saya) ini juga yang menjadi latar belakang mengapa belakangan (sejak bulan Mei s.d. sekarang) sudah tidak ada lagi peserta seminar atau diskusi serius yang menyalakan video dan suara, selain tentu menghabiskan energi untuk tampil prima, peserta jelas tidak mau repot-repot mempersiapkan hal sepele seperti harus duduk tegap, mempersiapkan pencahayaan maupun menghilangkan segala bentuk gangguan suara ghaib.
Bagaimana Covid-19 mempengaruhi kelelahan energi dalam percakapan video Zoom?
Saya termasuk orang yang kolot untuk urusan model bekerja. Jika diharuskan memilih Work From Home (WFH) atau Work From Office (WFO), tentu saya akan memilih WFO. Sebab pertimbangan sederhana saya adalah ketika WFO otak saya dipaksa untuk fokus bekerja produktif dari menit ke jam. Saya juga adalah orang yang senang bersosialisasi, mood bekerja saya jauh lebih solid ketika di kantor sebab sosialiasi mengisi sekat-sekat kosong bernama kesepian. Jam kerja yang pasti juga membuat tubuh saya cepat lelah begitu sampai rumah sehingga ritme tubuh terjaga antara bekerja, bersosialisasi dan beristirahat.
Sementara WFH membuat saya harus bekerja ekstra fokus. Ditambah fakta bahwa saya diwajibkan menatap layar ponsel lebih lama dari biasanya untuk berkoordinasi dengan rekan sejawat. Koordinasi via grup percakapan WhatsApp juga membuat emosi saya lebih cepat naik dari biasanya. Sebab, saya tidak merasakan emosi lawan bicara, intonasi maupun pesan dengan jelas layaknya bicara tatap muka. WFH juga membuat ritme tubuh menjadi sedikit berantakan. Jam biologis tubuh untuk beristirahat acap kali tertukar. Misalnya, saya kini lebih banyak bekerja pada malam hari karena bisa bekerja produktif dibandingkan siang hari saat WFH yang anehnya malah saya gunakan untuk sekedar tidur siang.
Maka keletihan kita-–pada saat menggunakan Zoom sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia didukung dengan kondisi lain yang tidak kalah memusingkan, misalnya faktor ekonomi, ketidakjelasan pengaturan PSBB, isolasi mandiri, aturan Surat Izin Keluar Masuk DKI Jakarta, gempuran berita negatif mengenai Covid-19 hingga keharusan kita mengikuti himbauan bekerja dari rumah, dst juga sangat berpengaruh terhadap habisnya energi kita.
Petriliegeri mengatakan “yang saya temukan adalah fenomena bahwa kita semua lelah. Tidak peduli apakah anda introvert atau ekstrovert. Kita mengalami tekanan yang sama selama pandemi ini. Kemudian fakta bahwa aspek kehidupan yang dulu terpisah secara tegas, pekerjaan–-teman-–keluarga, semuanya sekarang terjadi di ruang yang sama. Bayangkan jika anda pergi ke bar, dan di bar yang sama anda berbicara dengan professor anda, bertemu orang tua anda kemudian berkencan dengan seseorang, bukankah ini aneh? Itulah yang kita lakukan saat ini. Kita terkurung di ruang kita sendiri, dalam krisis yang sangat memicu kecemasan, dan satu-satunya ruang untuk berinteraksi adalah melalui jendela komputer”
Jadi bagaimana kita bisa mengurangi habisnya energi dalam percakapan video di Zoom?
Selain momen percakapan Zoom yang serius, kita sering bergabung dalam percakapan Zoom untuk pertama kalinya untuk tema yang baru, baik itu momen buka puasa bersama secara virtual, mengucapkan selamat hari raya idul fitri secara virtual, menghadiri acara reuni atau halal bi halal universitas secara virtual sampai dengan mengadakan acara pesta kejutan ulang tahun untuk seorang teman secara virtual.
Ini semua diadakan dengan intensi bersenang-senang, ditandai dengan perasaan bahagia yang timbul pasca percakapan Zoom selesai. Layaknya baru bertemu kekasih yang lama tak jumpa, kita larut dalam gegap gempita. Hal berbeda ditemui pasca percakapan Zoom bersama rekan kantor, meski sama-sama bersosialisasi mengapa atmosfer yang timbul berbeda?
Salah satu faktor yang menentukan, adalah apakah kita bergabung dalam percakapan Zoom karena keinginan sendiri atau karena suatu keharusan.
Percakapan dengan intensi bersenang-senang membuat kita tergerak untuk bergabung tanpa harus diminta, namun percakapan dengan tema serius dengan rekan kerja lebih sering terjadi karena diinstruksikan oleh bos/rekan sejawat. Untuk mereka yang diinstruksikan bos, tentu ini menjadi buah simalakama karena kita sudah di desain untuk bekerja secara tatap muka dimana setiap instruksi dari bos selalu bisa kita terjemahkan emosinya detik itu juga. Berbeda hal dengan percakapan Zoom dimana ada proses panjang via WhatsApp dari penjadwalan rapat, siapa peserta rapat, dan ada sedikit kecemasan-–apakah ada pekerjaan kita yang keliru misalnya. Semua ini belum ditambah dengan kewajiban kita tampil prima di depan kamera. Padahal situasi rumah atau mood sedang tidak kondusif.
Sampai di sini, lantas timbul pertanyaan sederhana: bagaimana cara kita berdamai dengan percakapan video di Zoom?
Pertama, pertimbangkan apakah percakapan video di Zoom benar-benar pilihan paling efisien. Kita bisa mempertimbangkan medium berbagi berkas bersama dengan catatan-catatan yang jelas. Bisa melalui WhatsApp sampai dengan media Google Docs, Google Drive, DropBox, dsb. Ini bisa menjadi pilihan yang efisien.
Kedua, pastikan apa ada aturan yang disepakati sebelum rapat Zoom untuk menyalakan Video & Suara atau diperbolehkan mematikannya. Setelah sudah, secara pribadi saya biasa membagi kedalam dua skala. Apakah percakapan merupakan percakapan skala besar atau kecil. Jika percakapan merupakan percakapan skala besar maka kita tidak mesti menyalakan video. Namun untuk percakapan skala kecil, saya anjurkan untuk menyalakan video karena komunikasi terjalin lebih intim ketimbang percakapan skala besar yang dihadiri 100 peserta misalnya. Pastinya, orang lebih menyukai pembicaraan dua arah ketimbang pidato satu arah bukan?
Ketiga, jika anda menggunakan kamera webcam/kamera tambahan. Membiarkan layar video miring ke samping, bukan lurus ke depan juga dapat membantu konsentrasi. Setidaknya anda sudah selangkah lebih maju menghargai para peserta rapat lain dengan menyalakan video. Menandakan bahwa anda hadir dalam ruang virtual Zoom.
BACA JUGA Berhati-hatilah Pengguna Aplikasi Zoom! atau tulisan M. L. Aldila Tanjung lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.