Baca Di Tebet wajib dikunjungi kalau kalian ingin melihat sisi lain dari Tebet yang berisik.
Tebet adalah salah satu kecamatan di Jakarta Selatan. Bisa dibilang, Tebet termasuk kawasan yang sangat bising. Tiga tahun hidup di kawasan ini membuat saya merasakan bagaimana Tebet adalah representasi sebuah distrik yang tidak pernah tidur.
Orang-orang di dalamnya terus beraktivitas dan saling berinteraksi. Mereka meramaikan tiap warung bubur ayam atau STMJ pinggir jalan, memenuhi lapak-lapak pedagang kaki lima, dan bercakap-cakap di cafe-cafe yang jumlahnya hingga ratusan. Apalagi, Tebet punya ruang terbuka Tebet Eco Park yang jadi langganan destinasi warga yang datang dari berbagai kawasan di Jabodetabek.
Mungkin, satu-satunya momen Tebet tampak membisu adalah ketika musim mudik Lebaran. Saat itu, kondisi Tebet begitu sepi dengan toko, warung, dan cafe-cafe yang tutup. Selebihnya, Tebet seperti biduan yang terus berdendang siang dan malam.
Daftar Isi
Tempat “melarikan diri” dari Tebet yang bising
Di tengah Tebet yang bising, ada satu tempat yang menawarkan alternatif suasana sunyi bernama Baca Di Tebet. Lokasi pastinya berada di Jalan Tebet Barat Dalam Raya No 29. Baca Di Tebet buka tiap hari Selasa hingga Sabtu. Pada hari Selasa hingga Kamis, perpustakaan ini buka pada pukul 10.00-18.00 WIB dan Jumat-Sabtu pukul 12.30-20.30 WIB.
Terdiri dari dua lantai, Perpustakaan ini terletak di lantai dua dengan dua jenis ruangan, yaitu ruang temu (ruang utama yang biasa digunakan sebagai acara workshop) dan ruang baca yang terletak di samping ruang temu. Di ruang baca, pengunjung bisa membaca dan mengerjakan sesuatu secara lebih private dan intim. Para penjaga juga memperbolehkan pengunjung untuk membawa minuman dan makanan.
Sosok di balik kelahiran Baca Di Tebet
Perpustakaan ini merupakan swadaya pribadi dari sosok Wien Muldian dan Kanti W. yang sama-sama menyukai buku. Keinginan membuka perpustakaan publik ini bermula ketika Wien Muldian dan Kanti W. bertemu dan berkenalan dalam sebuah komunitas kepenulisan. Setelah melalui diskusi yang panjang, keduanya pun bersepakat untuk membangun sebuah perpustakaan kecil pada tahun 2018 dengan diisi buku-buku dari koleksi pribadi mereka. Bangunan dari perpustakan tersebut juga berasal dari kontribusi pribadi sosok Kanti.
Para pendirinya itu percaya bahwa untuk merawat pikiran dan pengetahuan, dibutuhkan proses membaca yang tidak hanya dilakukan secara individu, tapi juga kolektif. Tentu dengan suasana yang tenang dan mendukung.
Baca di Tebet kemudian terus berkembang dengan ratusan buku donasi yang masuk tiap tahunnya. Hingga saat ini, Baca di Tebet telah memiliki sekitar 26 ribu koleksi buku dari berbagai bahasa. Uniknya, ketika berkunjung ke perpustakaan ini, pengunjung gak jarang menemukan berbagai buku asing keluaran tahun-tahun jadul yang sudah langka di pasaran.
Tempat yang nyaman
Beberapa kali mengunjunginya, Baca di Tebet memang jadi hidden gem bagi siapapun yang butuh ketenangan. Saya biasanya ke sini tiap hari Sabtu untuk sekadar membaca buku atau mencari ketenangan di tengah kesibukan hidup di Jakarta. Menikmati malam minggu bersama aroma buku ditemani dengan beberapa biji kacang almond yang dikunyah sambil membaca buku novel-novel jaman dulu. Karya terjemahan dari Jepang seperti milik Murakami, Keigo Higashino, atau Toshikazu Kawaguchi juga bisa ditemukan di sini.
Kondisi ruangan di dalamnya pun sangat nyaman dan cukup estetik. Kalian juga tidak perlu khawatir mengenai koneksi internet. Para pengelolanya menyediakan wifi gratis bagi para pengunjungnya. Suasana tersebut tentu sangat mendukung bagi mereka yang ingin membaca, mengetik untuk kebutuhan pekerjaan, atau hal-hal lain yang butuh konsentrasi tinggi.
Menariknya, di salah satu ruang bacanya juga di-setting seperti ruangan podcast yang bisa digunakan untuk berdiskusi sambil membuat konten. Namun untuk melakukannya, pengunjung harus mereservasinya terlebih dahulu. Ruang temunya juga acap kali digelar workshop seperti kelas menulis, teater hingga gelaran seni sastra yang bisa dinikmati para pengunjung.
Sayangnya, buku Baca Di Tebet tidak bisa dipinjam
Meski begitu, Baca di Tebet tetap punya kekurangan, yakni tiap buku yang dipinjam tidak bisa dibawa pulang. Tiap pengunjung yang datang hanya diperbolehkan menikmati tiap buku di dalam area perpustakaan. Selain itu, karena perpustakaan ini merupakan swadaya perorangan, tiap pengunjung yang masuk dikenai biaya dengan penawaran beberapa paket, yaitu Rp35.000 untuk tiket harian, Rp100.000 untuk tiket bulanan sekaligus sebagai anggota, dan Rp800.000 untuk tahunan dengan benefit bisa membawa pulang buku yang dipinjam.
Akan tetapi, bagi saya, pemberlakuan tarif tersebut saya rasa lumrah dan harus dilakukan. Segala kebutuhan perawatan dan pembaruan kan butuh biaya. Semua itu tidak ditanggung oleh perintah. Lagi pula membayar Rp35.000 dengan keuntungan mendapat tempat yang tenang dan bisa membawa masuk makanan dan minuman menjadi keuntungan tersendiri, ketimbang harus ke café dan menghadapi kebisingan yang acapkali tidak bisa diantisipasi.
Sekali lagi, bagi saya, Baca di Tebet menjadi oase bagi para penyendiri, para pecandu ketenangan, dan orang stress yang butuh tempat untuk menepi di tengah bisingnya Tebet dan sumpeknya Kota Jakarta.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sarapan Mie Ayam Adalah Kebiasaan Orang Jakarta yang Paling Aneh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.