Ayam Bakar Artomoro bukan sekadar kuliner ayam, tapi sudah jadi legenda di Jogja.
Sebagai manusia perantauan di Jogja yang gampang lapar dan mudah tergoda video-video makanan di TikTok, saya harus membuat pengakuan. Jadi, saya telah beberapa kali menjadi korban makanan viral.
Bukan korban yang fatal sih, cuma korban harapan. Dan harapan yang tak terpenuhi itu, seperti biasa, lebih menyakitkan daripada sambal level 30.
Mari kita mulai dari lontong kikil yang antreannya selalu tampak mengular di video-video food vlogger. Saya sampai antre belasan menit demi semangkuk menu ini karena katanya worth it.
Tapi, begitu semangkuk itu mendarat di depan saya, saya cuma bisa melongo. Loh, ini lontong kikil apa sop kikil? Kuahnya kebanyakan, dagingnya sedikit. Potongannya pun kecil-kecil, tidak sebesar dan semenggoda yang saya lihat di video para food vlogger Jogja.
Belum sembuh luka hati saya dari kikil tadi, saya coba menenangkan diri dengan mencoba iga bakar viral Jogja di tempat lain. Saya pikir, oke, ini saatnya redemption.
Tapi ternyata, yang lumer itu bukan dagingnya, melainkan minyaknya. Saya bukan benci makanan berminyak. Tapi, kalau setiap gigitan membuat saya merasa kayak baru nyium kepala motor yang habis diservis, itu sudah tidak sehat. Dan daging iganya? Lebih banyak koyor daripada daging.
Saat itu saya hampir menyerah. Saya mulai berpikir. Mungkin makanan viral memang diciptakan untuk mereka yang kuat iman. Bukan buat saya yang gampang berharap.
Sampai akhirnya, saya mencoba Ayam Bakar Artomoro. Sebuah tempat makan yang juga viral, bahkan terbilang legendaris tapi kali ini hasilnya sungguh berbeda. Kalau kata netizen, “Ini baru makanan yang pantas viral.”
Ayam Bakar Artomoro pantas jadi legenda
Saya datang ke sana di hari Minggu pukul 9 pagi. Saya sampai ngecek Google Maps dulu biar tahu kapan warungnya buka untuk memastikan saya tidak perlu berdesakan dengan pengunjung lain.
Pukul 9 itu warung Ayam Bakar Artomoro masih sepi. Saya merasa seperti orang pertama yang tahu rahasia negara. Pesanan saya datang dalam 10 menit, dan saat ayam bakarnya mendarat di meja, saya sudah bisa mencium aroma kemenangan.
Daging ayamnya besar dan juicy. Nggak ada cerita daging kering kayak ayam sisa hajatan 2 hari lalu. Bumbu bakaran di Ayam Bakar Artomoro itu meresap, sedikit karamelisasi di permukaan bikin rasa manisnya pas, nggak lebay.
Menu andalan Ayam Bakar Artomoro adalah ayam bakar pedas dan manis. Sengaja saya pilih yang manis karena asam lambung ini gemar sekali memberontak tiap ada sedikit saja cabe masuk.
Untuk nasinya bisa refill. Sebuah kemewahan yang semakin jarang ditemukan di kota besar seperti Jogja, di mana kadang kita harus bayar seribu buat tambahan sambal.
Bikin hati senang
Begitu suapan pertama mendarat di mulut, saya tahu. Ayam Bakar Artomoro bukan sekadar ayam bakar. Ini adalah bentuk nyata dari kasih sayang.
Saya makan perlahan, takut momen bahagianya cepat berlalu. Rasanya seperti ketemu mantan yang udah tobat dan minta balikan. Manis, menenangkan, dan penuh harapan.
Ketika saya selesai makan dan melangkah keluar dari warung Ayam Bakar Artomoro, saya merasa ringan. Perut kenyang, hati senang, dan dompet tidak menangis. Saya tidak hanya puas karena makan enak, tapi juga karena akhirnya bisa bilang, “Ini loh, makanan viral yang memang layak.”
Antrian panjang itu bukan karena FOMO
Dalam dunia perkulineran yang makin banyak FOMO-nya, Ayam Bakar Artomoro berdiri tegak bukan karena gimik. Bukan juga karena endorsement influencer, tapi karena rasa. Kedainya rame bukan karena orang penasaran, tapi karena orang kangen.
Dan mungkin itu kuncinya. Makanan viral boleh datang dan pergi, tapi yang benar-benar enak akan tetap hidup di ingatan. Karena kita tidak akan kembali ke tempat yang viral, tapi ke tempat yang membuat kita merasa pulang.
Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Kuliner Jogja yang Jarang Disantap, Bahkan Dihindari Orang Lokal
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
