Pose foto ASN aja sampai diatur biar nggak dianggap mendukung pasangan calon presiden. Lha ini malah ada menteri yang terang-terangan nunjukin dukungan. Kok saya jadi bingung ya?
Debat Cawapres kedua dilaksanakan dengan euforia yang menyenangkan. Saya pikir masing-masing calon memberikan penampilan terbaiknya. Meskipun banyak tema penting yang belum terbahas secara komprehensif, namun secara umum saya menikmati jawaban masing-masing calon terkhusus pada tema lingkungan dan pangan.
Sayang sekali kepuasan menonton debat kedua buyar justru saat press conference dilaksanakan. Bukan karena pertanyaan media yang nyeleneh, bukan karena jawaban paslon yang ofensif, tapi kekecewaan saya timbul karena adanya penampakan pejabat negara yang terang-terangan menunjukkan keberpihakan ke salah satu paslon. Saya sebut saja langsung yaitu Menteri BUMN, Bapak Erick Thohir.
Saya nggak ada masalah dengan paslon yang didukung dan saya juga nggak ada masalah dengan Pak Erick Thohir. Tapi, ngapunten jujur saja Pak, kemunculan panjenengan memperlihatkan suatu hal yang tak pantas. Bukannya negara ini membungkam para ASN untuk menyuarakan pilihannya? Kok tiba-tiba seorang menteri hadir secara jelas mendukung paslon tertentu?
Daftar Isi
ASN dilarang ini itu
Melansir Badan Kepegawaian Daerah Yogyakarta menyebutkan bahwa ASN, baik PNS dan PPPK wajib menjaga netralitasnya sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Bahkan, terdapat banyak poster dan video mengenai larangan untuk berpose foto yang memiliki tendensi mendukung salah satu paslon. Bayangkan, berpose foto saja dilarang, tapi kok ada seorang menteri terang-terangan mendukung?
Orang-orang terdekat saya yang berprofesi sebagai ASN saja sampai tidak ingin membahas politik karena takut mendapatkan sanksi. Setelah saya lihat UU di atas, memang sanksi ASN yang melanggar cukup berat sih yaitu sampai dinonaktifkan dari jabatannya. Tapi, apa sih influence yang bisa dibuat oleh satu orang yang tak memiliki banyak pengikut dibandingkan pejabat negara sekelas menteri?
Perlakuan tak sama antara ASN dan pejabat negara
Pemandangan tersebut justru menimbulkan pertanyaan, apakah memang ada perbedaan perlakuan antara ASN dengan pejabat negara yang tinggi? Pejabat negara yang justru memiliki peluang lebih besar menimbulkan ketidaknetralan akibat besarnya influence tadi malah dibiarkan begitu saja. Seorang pegawai eselon IV yang tinggal di desa kecil justru dipaksa tak boleh menyuarakan pilihannya.
Sebenarnya keresahan saya simple saja. Kenapa terdapat perbedaan perlakuan antara dua pegawai negara yang sama-sama memberikan tenaga untuk negaranya? Saya tahu menteri memang bukan termasuk ASN yang dimaksud dalam UU tersebut. Tapi keberpihakan yang dengan jelas ditunjukkan ke salah satu paslon menurut saya tidak etis. Tak hanya Bapak Menteri BUMN saja. Terdapat berita lain yang menunjukkan para Kepala Daerah dan pejabat lainnya bersikap tidak netral kok dengan memberikan dukungan ke paslon tertentu.
Mana komitmen netralnya?
Bapak Presiden yang terhormat, Pak Jokowi berulang kali menggaungkan sikap netral ke seluruh pejabat negara termasuk aparat. Kalau sudah begini, justru saya yang menanyakan komitmen Bapak untuk menegakkan netralitas tersebut. Kalau memang ASN saja harus netral, seharusnya seluruh pejabat termasuk Bapak juga tidak mengintervensi demokrasi yang sedang berlangsung. Saya nggak meminta para pejabat yang sudah menunjukkan dukungannya untuk dihukum. Tapi, mbok ya tolong diluruskan.
Saya cuma pengen pemerintah ini konsisten dalam memberikan pernyataan. ASN saja dilarang berpose saat foto, seharusnya para pejabat ini juga nggak boleh seenaknya muncul di TV dengan atribut kemenangan salah satu paslon. Itu saja, kok, yang saya pengin, Bapak Presiden.
Saya pikir masyarakat yang menonton press conference debat kedua juga menyadari adanya indikasi ketidaknetralan dari pejabat publik. Kalau nggak, anggap saja pejabat negara memang boleh deh menunjukkan keberpihakan. Mbok ya tolong mainnya agak smooth dikit gitu diam-diam. Kalau terlalu terang-terangan gini kan nggak enak sama yang nonton. Jadi, jangan salahkan kalau masyarakat berasumsi yang macam-macam~
Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Rizky Prasetya