Untuk Mas Firdaus Deni Febriansyah, mohon maaf sebelumnya, tapi saya tidak setuju dengan tulisan Anda yang berjudul “Nggak Ada Salahnya kalau Akhirnya Jabatan Presiden Jadi Tiga Periode”. Menurut saya cara berpikir Anda terlalu kaku dan cenderung ngegampangin sesuatu. Apalagi di saat Anda mengatakan kalau penambahan masa jabatan presiden tidak harus diributkan. No offense ya Mas, tapi masalah ini memang harus kita ributkan, bukan untuk menciptakan kegaduhan, tapi untuk kebaikan kita bersama.
Saya mengerti dengan pola pikir Mas yang antimainstream. Akan tetapi, saya tidak bisa memaklumi bagaimana cara Mas bisa menggampangkan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi concern kita bersama. Mungkin Mas sudah lupa dengan gaya pemerintahan otoriter ala Orde Baru, atau kerusuhan yang terjadi pada 1998. Namun, masyarakat masih ingat dan tidak ingin mengulangi neraka yang sama yang terjadi akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Kalau buat Mas, penambahan masa jabatan presiden itu tidak ada salahnya, ya fine-fine saja karena itu adalah opini Mas sendiri. Lagi pula konstitusi kita mengatur mengenai kebebasan mengeluarkan hajat pendapat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahannya adalah sering kali pendapat seseorang menggiring opini publik ke arah yang salah. Saya hanya tidak ingin masyarakat menjadi menggampangkan sesuatu yang padahal hal itu sangat berpengaruh bagi mereka di kemudian hari.
Bukannya mau menceramahi atau merasa sok lebih pintar, saya sekadar sharing mengenai pendapat saya soal mengapa penambahan masa jabatan presiden memang patut untuk diributkan. Berikut adalah pendapat saya.
#1 Penolakan Presiden
Pada statement pertamanya, Jokowi sudah mengatakan bahwa dia tidak ingin menjabat selama tiga periode. Bukan sampai di situ saja, bahkan ia mengatakan bahwa motif orang-orang yang ingin dirinya menjabat selama tiga periode adalah untuk menjerumuskan dirinya. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang itu ingin cari muka dan seakan-akan menampar mukanya dengan mengusulkan hal tersebut. Bayangkan saja bagaimana bisa seorang pendukung menampar muka panutannya sendiri. Alih-alih dapat nasi bungkus, yang ada mereka malah dibungkus dan dimasukkan penjara akibat menyerang presiden.
Pakde Jokowi juga menyatakan ketidaktertarikannya menjabat selama tiga periode dalam statement kedua yang ia berikan. Kali ini ia lebih tegas dengan mengatakan bahwa konstitusi sudah mengamanatkannya dua periode dan itu yang akan ia jalani.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya mengapa bisa para elite politik masih bersikeras dengan usulannya untuk menambah masa jabatan presiden yang mana pak presidennya sendiri sudah menolaknya mentah-mentah. Hal ini menimbulkan pertanyaan lain mengenai apa sebenarnya yang direncanakan oleh para elite politik dengan mengusulkan hal tersebut. Apa untuk melanggengkan kekuasaan yang akan bertahan selama bertahun-tahun? Saya tidak ingin suuzan. Namun, yang saya tau adalah bahwa yang paling diuntungkan dari usulan ini adalah orang-orang di lingkaran kekuasaan presiden, yang mana adalah para elite politik tadi.
Yuk, kita kawal terus, yuk.
#2 Masalah dalam amandemen
Kalau Mas Firdaus Deni Febriansyah kekeuh dengan pendapatnya mengenai amandemen yang sah-sah saja jika ingin dilakukan, saya di sini ingin mengatakan hal sebaliknya mengenai amandemen yang sangat janggal apabila dilakukan.
Biar saya jelaskan mengapa saya bisa mengatakan hal tersebut.
Amandemen konstitusi biasanya tidak terjadi dalam situasi hampa aktivitas politik seperti sekarang ini. Akan tetapi, amandemen bisa terjadi jika ada perubahan aktivitas politik yang luar biasa, seperti pada saat reformasi. Kalau kita hanya melihat suatu pasal sebagai benda mati atau teks yang kegunaannya hanya untuk dibaca, kita dapat mengatakan bahwa amandemen dapat dilakukan kapan saja dan dalam keadaan apa saja tanpa ada sedikit pun kontroversi mengenai hal tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya kita sedang membicarakan hukum dan politik, yang mana lazimnya amandemen biasa dilakukan jika ada aktivitas politik yang luar biasa terjadi di suatu negara.
Sekarang saya tanya, apa urgensinya untuk melakukan amandemen ini? Apa untuk alasan stabilitas politik? Atau kesinambungan ekonomi dan pembangunan nasional? Hal tersebut masih bisa kok kita lakukan dengan adanya presiden yang baru, dan nggak harus menambah masa jabatan presiden untuk melakukan hal tersebut. Pergantian presiden bukan berarti program yang sedang berjalan juga harus diganti, kan masih bisa melanjutkan program pemerintah sebelumnya. Yo ndak perlu malu toh, masa mau memimpin negeri gengsi kita yang harus dikedepankan terus?
#3 Cenderung menyalahgunakan kekuasaan
Saya dan Mas Firdaus Deni Febriansyah tentu sepakat menolak kekuasaan presiden yang absolut, hal itu memang nggak keren sama sekali. Namun, saya tetap nggak setuju dengan gagasan menambah satu periode itu nggak masalah. Hey, siapa yang bisa menjamin kalau mereka ini akan berhenti dengan tambahan satu periode saja? Bagaimana kalau satu periode sudah berhasil mereka dapatkan dan mereka menginginkan satu periode lagi? Tidak ada yang bisa menjamin hal tersebut.
Niccolo Machiavelli memandang kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Sebagian dari mereka berakhir menjadi tiran, atau menjadi diktator. Pasalnya, mereka merasa sudah mendapatkan segala-galanya, mereka jadi sewenang-wenang terhadap otoritas yang mereka miliki. Pada akhirnya demokrasi akan mati, dan hak rakyat akan dikebiri.
Situasi yang gaduh ini menurut saya adalah momentum yang bagus bagi pakde Jokowi agar dapat menunjukkan konsistensinya dalam mengeluarkan suatu statement. Saya sebagai warga negara yang berharap lebih kepada pakde Jokowi, berharap bahwa bapak dapat terus memegang teguh amanah yang sudah diberikan oleh konstitusi. Tentu kita semua tidak ingin dari kegaduhan yang terjadi akibat gagasan tiga periode ini, berita lama mengenai pakde Jokowi sebagai boneka politik muncul ke permukaan lagi.
Duh.
Sumber Gambar: YouTube Presiden Joko Widodo
BACA JUGA Jokowi Jadi Presiden biar Aman Saat Mengkritik Negara: Sebuah Plot Twist dan tulisan Muhammad Rayhan Nanda lainnya