Sebongkah batu yang memecahkan harapan
Saya, dan banyak suporter Arema serta klub sepak bola Indonesia lainnya yang masih memiliki nalar dan logika, optimis bahwa tragedi Kanjuruhan akan menemukan keadilannya. Mungkin bukan hari ini, tapi besok, atau besoknya lagi. Selama, kita terus menerus mengingat korban. Entah, di setiap rapalan doa selepas beribadah, banner-banner yang dibentangkan di stadion, atau peringatan tahunan setiap 1 Oktober.Â
Tapi sayang, harapan kita sirna karena sebuah batu. Batu tersebut tidak hanya memecahkan kaca bus tim Persik Kediri, namun juga mimpi bahwa tragedi ini akan bertemu titik akhirnya. Melihat video yang beredar di media sosial, bagi saya, orang tersebut layak dipisuhi 24 jam full.
Belum ada rilis resmi dari pihak kepolisian, terkait tangan siapa yang menodai perdamaian antarsuporter yang perlahan mulai dirajut. Tapi, saya yakin betul bahwa dalam waktu dekat, akan muncul sebuah nama yang nantinya dibeberkan ke masyarakat. Hal seperti ini bukan sesuatu yang berat, menangkap orang-orang yang merusak kantor saja bisa sat-set, apalagi hal remeh gini, iya kan?
Kita memang tak pernah belajar apa-apa. Arema atau bukan, kita tak belajar apa-apa
Tidak sedikit suara-suara ‘bubarkan Arema’ yang saya dengar. Tidak kawan, Arema (entah yang mana yang asli), di Malang tak hanya sekadar sepak bola. Lebih dari itu. Dia mengalir di setiap darah arek-arek Malang. Jadi, memisahkan Arema dengan warga Malang, lebih mustahil dari sebuah ketidakmungkinan.
Hampir 1.000 hari berlalu tanpa arah, sebagian orang mungkin sudah puas, namun sebagian lain meminta lebih. Ini membuat kubu di Malang terpecah belah, ada yang dicap loyalis, ada juga yang dilabeli pembenci.
Padahal, warga Malang harusnya menjadi kumpulan yang paling bawel, yang paling kritis meminta haknya. Kalau terpecah belah, ya kita tak ubahnya menjadi badut para kekuasaan. Kita akan terus disuguhi hal-hal yang nggak masuk akal. Masak kalian lupa, rekonstruksi dipindah ke Surabaya, alih-alih di tempat kejadian perkara? Ini mah Joko Sembung bawa golok, nggak nyambung blas, blok.
Kita tuntut permintaan maaf dan pengakuan bersalah dari negara dan stakeholder terkait atas kejadian malam itu. Semua yang salah wajib dihukum seberat-beratnya, seadil-adilnya. Kita minta juga penegasan bahwa kejadian itu adalah nyawa terakhir di sepak bola Indonesia.
Mungkin tidak akan sama, tapi sepak bola Malang bisa saja kembali seperti dulu kala, setelah memberikan hak-hak mereka yang kehilangan nyawa. Kalau dalam kondisi saat ini, sebagai manusia, masak ya tega bernyanyi dan bersorak di atas tribun, saat hak-hak korban belum terpenuhi.
Kalau terus-terusan menjadi benang kusut, ya siap-siap saja menelan buah busuk. Dan, sepertinya memang benar, ‘Tentang Tragedi Kanjuruhan, kita belajar untuk tidak belajar’.
Penulis: Devandra Abi Prasetyo
Editor: Rizky Prasetya




















