Bulan lalu saya maraton serial Netflix yang berjudul Dark. Serial Dark ini bergenre thriller dan science fiction. Inti ceritanya berpusat pada rumitnya perjalanan lintas waktu yang melibatkan banyak karakter. Selain plotnya yang nggak mudah ditebak, bagi saya karakter film di dalamnya juga menarik karena sifatnya yang “abu-abu”. Kecenderungan karakter protagonis dan antagonis memang ada, tapi keduanya punya sisi “baik” maupun sisi “jahat”.
Salah satu karakter di series tersebut bernama Hannah. Para penonton Dark pasti setuju kalau karakter Hannah ini manipulatif, tukang bohong, dan hobi nikung temen, lengkap deh jadi karakter “antagonis”. Tapi bagi saya, Hannah adalah karakter film paling favorit dibanding yang lainnya.
Seperti yang saya tulis sebelumnya bahwa karakter-karakter Dark ini nggak plek-ketiplek orang jahat atau orang baik karena dari alur ceritanya kita bisa mengikuti motif si karakter dan apa yang membuatnya berbuat sedemikian. Saya melihat Hannah sebagai orang yang rapuh, super insecure, hampir-hampir putus asa. Jalan keluar yang selalu dipilih Hannah atas kesialan nasibnya ini adalah vengeance atau balas dendam. Prinsip hidupnya kira-kira seperti ini, “Kalau gue susah, orang lain harus susah juga, dong!”
Menurut sains psikologi, ketertarikan saya dengan karakter Hannah mencerminkan karakter yang ada dalam diri. Lalu, apakah saya ini sebetulnya manipulatif, tukang bohong, dan hobi nikung temen?
Evaluasi diri dari karakter fiksi
Dalam jurnal Can Bad Be Good? The Attraction of a Darker Self yang ditulis Rebecca J. Krause dan Derek D. Rucker adalah normal ketika manusia ikut mengevaluasi sisi “jahat” di samping sisi “baik” dalam dirinya. Meskipun mungkin ketika kita sedetik saja memikirkan bahwa kita punya kecenderungan berbuat jahat, cepat-cepat kita membuang pikiran itu. Takutnya kan terhasut bisikan setan.
Nah, ketika kita melihat sebuah karakter film atau buku yang sifat gelapnya mirip-mirip dengan karakter kita, kita jadi merasa aman untuk kembali evaluasi dan observasi sisi “jahat” itu dari jauh. Sebab itu terjadi pada karakter buatan, bukan kita. Di situlah kenapa kita kadang tertarik dengan karakter jahat di dunia fiksi.
Contohnya, mari kembali ke karakter Hannah tadi. Sebagai orang yang juga rapuh dan insecure, jauh di lubuk hati saya yang terdalam, ada keinginan untuk balas dendam ke orang-orang yang menzalimi saya. Tapi, saya tentunya nggak beli racun tikus untuk dituang ke minuman orang karena untungnya saya punya akal sehat, moral, dan agama. Melihat karakter Hannah kemudian saya jadi relatable karena saya mudah bersimpati dengan motifnya. Saya merasa aman belajar tentang balas dendam karena itu terjadi di orang lain yang tidak nyata.
Di jurnal tersebut juga dinyatakan bahwa karakter “jahat” ini membuat kita merasa telah jadi manusia yang lebih baik. Ilustrasi gampangnya adalah ketika saya berpikir, “Gila sih si Hannah sampe nipu gitu, gue sih nggak kayak gitu deh amit-amit.”
Dalam konteks karakter, pada dasarnya kita tertarik dengan karakter film atau fiksi yang mirip dengan kita, yang ternyata nggak cuma sisi baiknya, tapi juga sisi jahatnya. Kalau saya pikir-pikir lagi, semua karakter favorit saya di beberapa serial lain memang mirip dengan kualitas karakter saya sendiri, hanya saja dalam versi yang “berlebihan”. Kalau sisi gelap saya diwakilkan Hannah dari serial Dark, sisi suka-menolong-orang-tapi-sarkas saya mungkin diwakilkan Tony Stark dari MCU, sisi pendiam-tapi-bawel-kalau-sama-orang-dekat diwakilkan Raj Koothrappali dari The Big Bang Theory. The list goes on and on.
Jadi, kalau kamu simpati dengan Lord Voldemort tapi di kehidupan nyata kamu nggak Avada Kedavra-in orang yang bikin kamu bete, ya cukup tahu saja, mungkin ada sisi diri kamu yang merasa relate dengan kesepiannya si karakter Tom Marvolo Riddle ini.
Jurnal yang saya sebutkan tadi memuat eksperimen yang salah satunya menggunakan tes karakter di website CharacTour. Isinya seperti personality quiz dan hasilnya akan terlihat karakter film atau fiksi mana yang paling mirip—dan paling nggak mirip—dengan karaktermu. Silakan dicoba!
Sumber gambar: YouTube We Got This Covered
BACA JUGA Tokoh Protagonis Tidak Selalu Baik dan Hal Abu-abu dari Plot ‘Attack on Titan’