“Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali.” Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti “sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan.” Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan perkasa.
Jika kita dalami, kalimat ini adalah pengingat bagi raja atau pemimpin saat bersikap. Seorang raja dan pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan. Tidak ada istilah plin-plan atau berubah-ubah kata. Seorang raja atau pemimpin perlu ingat, setiap ucapan yang dikeluarkan adalah pedoman bagi rakyatnya. Keputusan yang plin-plan dapat menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.
Apakah falsafah ini benar dihayati? Kita bisa memahami falsafah ini dari kisah rakyat tentang Kyai Ageng Prawiro Purbo. Menurut kisah ini, Ndoro Purbo adalah keponakan dari Sri Sultan HB VII. Blio dikenal sebagai sosok yang membumi, jail, namun digdaya. Kejahilan ini menyebabkan Sultan jengah dan mengatai Ndoro Purbo sebagai orang gila.
Apa yang terjadi? Seketika itu juga Ndoro Purbo menjadi “orang gila”. Blio berakhir dengan hidup menggelandang. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Ndoro Purbo menjadi gila sebagai bentuk kepatuhan pada sabda Sultan. Jika Sultan sudah berkehendak agar Ndoro Purbo menjadi gila, Ndoro Purbo akan gila. Inilah contoh ekstrem dari pemaknaan Sabda Pandita Ratu.
Falsafah ini adalah pisau bermata dua bagi seorang raja atau pemimpin. Segala keputusan yang diambil akan diterima oleh rakyat sepenuh hati. Jika raja tersebut bijaksana, keputusannya akan berbuah manis bagi masyarakatnya. Namun, raja yang lalim akan membuahkan keputusan yang merusak hidup rakyatnya.
Namun, ada satu lagi jenis raja dalam bersabda. Dia adalah raja yang plin-plan. Raja plin-plan akan melahirkan suasana yang tidak menentu. Ketidakpastian dari keputusan raja yang plin-plan ini tidak pernah membawa efek positif bagi rakyatnya. Jika sabdanya saja plin-plan, bagaimana rakyat dapat berpegang pada sabda sang raja?
Oke, saya pikir penjelasan tentang konsep falsafah ini sudah cukup. Sekarang mari kita pindah suasana. Dari kondisi kebatinan dan menilik masa lalu menuju kondisi yang nyata dan yang sedang kita alami. Yang saya maksud adalah kondisi masyarakat Jogja saat diterpa pageblug Covid-19. Dan tentu kita tidak akan jauh-jauh dari pusat pemerintahan Jogja.
Mungkin masih hangat dalam pikiran kita tentang pencapaian Jogja. Pada Juli 2020, Jogja mendapat penghargaan lisan dari Presiden Joko Widodo. Menurut blio, Jogja (tepatnya DIY) adalah provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19. Tentu masyarakat berbahagia. Naik pula kebanggaan masyarakat pada figur pemimpin rakyat Jogja, yaitu Sri Sultan HB X. Bahkan, banyak warga Jogja yang menyarankan provinsi lain mengikuti jejak daerah istimewa ini. Bau-bau congkaknya sangat terasa.
Namun, sehari sebelum tulisan ini saya tulis, terjadi pecah rekor penambahan kasus Covid-19. Pada hari Sabtu (19/9/2020), terdapat tambahan 74 kasus baru terkonfirmasi Covid-19 di DIY. Menurut juru bicara Pemda DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, sebelumnya penambahan kasus tertinggi di DIY adalah 67 kasus.
Lebih mirisnya lagi, sebelum lonjakan ini juga ditemukan kasus terkonfirmasi di area Malioboro. Bahkan ada satu pedagang kaki lima yang meninggal dunia serta terkonfirmasi positif. Jika wilayah jujugan pariwisata Jogja saja menjadi kluster penyebaran Covid-19, artinya penyebaran virus ini tidak boleh disepelekan. Lalu bagaimana Sri Sultan HB X selaku gubernur dan raja Jogja menanggapi ini?
Dari hasil liputan Harian Jogja, Sultan menyatakan, “Ora papa nek positif yo wes nang rumah sakit (tidak apa-apa kalau positif ya dirawat di rumah sakit).” Sultan juga mengatakan saat ini lebih baik beradaptasi karena masyarakat butuh pemasukan. “Kita adaptasi saja jangan menakut-nakuti, teneh (kalau semua ditutup), rakyat Jogja laper mengko.”
Uhm… Mungkin Anda bertanya-tanya dengan maksud pernyataan ini. Saya pribadi tidak berani berspekulasi banyak. Namun, secara gamblang, Sultan menekankan bahwa kawula Jogja harus beradaptasi. Nah, beradaptasi dengan apa? Dengan kebiasaan baru atau dengan penambahan angka positif Covid-19?
Oke, kita kembali dalam falsafah sabda pandita ratu tadi. Sultan menyatakan bahwa jangan ada yang menakut-nakuti perihal Covid-19. Ingat, perkataan dan keputusan Sultan adalah panduan bagi rakyat Jogja. Jadi wajar jika ada kesan meremehkan dari masyarakat. Toh, Sultan bilang jangan menakut-nakuti kok.
Sebelumnya, Sultan juga memberikan pernyataan pada wartawan saat ada pedagang sayur di Beringharjo positif Covid-19. “Ya saya kira wajar aja. Kita jangan menganggap Corona (Covid-19) itu terlalu berbahaya.” Sultan juga menambahkan “Kita adaptasi aja, sakit ya sudah di rumah sakit. Karena pandemi ini tidak peak (masuk puncak) terus turun. Jadi selesainya kapan kita tidak tahu.”
Wah, pernyataan ini sangat extraordinary. Ketika pemerintah pusat dan daerah lain berlomba-lomba mengingatkan Covid-19 berbahaya, Sultan menyatakan agar kita (rakyat Jogja) jangan menganggap pandemi ini terlalu berbahaya. Tentu pernyataan ini menimbulkan polemik.
Tapi, sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Sultan tidak akan mencla-mencle dalam membuat pernyataan. Jadi, warga Jogja telah mendapat panduan dari Sultan, bahwa Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Tersenyumlah, Mylov.
Sebenarnya, pernyataan ini sangat menyenangkan bagi warga Jogja. Ketika daerah lain bersiaga bahkan ingin menerapkan PSBB kembali, warga Jogja diajak untuk memandang Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Jadi, wajar jika tidak ada sikap khusus selain mematuhi protokol kesehatan. Pokoknya loss doll saja, Sultan menyatakan Covid-19 tidak terlalu berbahaya.
Bicara protokol kesehatan di wilayah Malioboro sesudah ada kasus positif, Sultan juga menyampaikan “Protokolnya ora lalu itu aja, itu (Malioboro) merupakan tanggung jawab Pak Wali Kota Jogja.” Pernyataan ini seperti “lempar masalah”, tapi ya sudahlah. Ingat, sabda pandita ratu. Halo, Pak Haryadi, njenengan dicari Ngarso Dalem.
Namun, tidak ada pernyataan yang lebih dipertanyakan “sabda pandita ratu”-nya selain saat Sultan menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti demam berdarah (DB). Sultan menyatakan, “Jadi jangan berasumsi kalau kena Corona sepertinya bikin geger seluruh Yogyakarta, dianggap saja sama DB juga sama kok.”
Baik, mari kita pahami secara positif. Pasti Ngarso Dalem tidak ingin kepanikan berlebihan ketika muncul kasus Covid-19. Tentu harapan ini juga baik bagi kita rakyat Jogja. Namun, apakah harus menyamakan antara Covid-19 dengan DB? Apakah pernyataan ini pantas diungkapkan pada masa di mana rakyat bersama-sama saling mengawasi dan menjaga?
Menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti DB bisa menjadi bola liar bagi masyarakat Jogja. Dan terbukti dari tanggapan netizen, banyak yang menyetujui sekaligus mengamini untuk tidak takut pada Covid-19. Bahkan banyak yang menyatakan penanganan Covid-19 selama ini terlalu berlebihan. Nah kan jadi loss doll. Pasti JRX tersenyum ketika membaca berita ini.
Menurut saya, falsafah sabda pandita ratu tengah diuji. Ngarso Dalem sedang dihadapkan pada kondisi yang mana kepemimpinan dan arahan blio menjadi haluan bersama rakyat Jogja. Namun, bagaimana falsafah ini dihadapkan pada pernyataan blio yang terkesan menggampangkan dan bertolak belakang dengan usaha penanganan Covid-19? Apakah Ngarso Dalem tetap dapat mempertahankan sikap tan keno wola-wali?
Ngomong-ngomong, saya KTP Jogja. Lahir juga di Jogja. Trah Jogja juga. Bukan apa-apa, hanya sekadar memberi tahu. Hehehe.
BACA JUGA Menyuruh Orang untuk Cari Kerja biar Nggak Protes Melulu Itu Aneh dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.