Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan kawan kuliah. Saya satu kelas dengan dia. Satu Program Studi dan satu angkatan pula. Meski satu angkatan, masuk kuliah bisa bareng, tapi keluarnya (lulusnya) belum tentu bisa bareng. Singkat cerita, ia lulus duluan. Sedangkan saya, sialnya sampai hari ini belum lulus juga. Padahal sudah semester dua digit.
Saya hitung, teman saya ini menyandang gelar sarjana sudah hampir satu tahun. Terhitung dari wisudanya. Tentunya, waktu satu tahun bukan waktu yang sebentar. Meski juga tidak bisa dikatakan sebagai waktu yang lama. Paling tidak, dalam waktu satu tahun ada banyak hal yang bisa kita lakukan.
Dalam satu tahun belakangan ini, saya dan kawan saya bertemu hanya beberapa kali. Seingat saya pertemuan diantara kita hanya terjadi dua kali. Hal ini menjadi maklum, karena status kita yang sudah berbeda. Ia sarjana dan saya masih mahasiswa. Adapun faktor utama minimnya intensitas pertemuan disebabkan oleh jarak yang membentang. Kita tidak satu kota lagi setelah status kita berbeda.
Kami saling menanyakan kabar dalam perjumpaan itu. Kemudian, lazimnya perjumpaan dengan kawan lama, tidak ada menu yang istimewa selain cerita. Kami saling bertukar cerita. Menikmatinya dengan minuman surgawi, kopi. Sebagai seseorang yang sadar diri, saya mempersilakan kawan saya untuk bercerita terlebih dahulu. Karena saya paham, cerita saya tidak terlalu menarik dan mudah ditebak. Sesuatu yang pernah ia alami juga, yakni perihal skripsi. Kan basi.
Ia bercerita tentang pengalamannya setelah wisuda. Sebuah pengalaman yang dialami oleh seorang sarjana muda. Tidak lain dan tidak bukan adalah soal pekerjaan. Kawan saya menceritakan bagaimana susahnya mendapatkan pekerjaan.
Sudah banyak surat lamaran yang ia kirimkan ke berbagai instansi. Interview juga sudah banyak ia lakukan. Apalagi mendatangi jobfair, itu sudah semacam ibadah bagi dia. Meski usaha yang sedemikian rupa sudah dijalani, ia masih belum mendapatkan pekerjaan. Saya juga heran saja dengan ceritanya, ini karena dianya yang terlalu milih atau karena takdir yang belum berpihak saja. Atau, semua ini karena Jokowi? Ckck. Kan gitu ya bahasa kaum oposan kita, apapun masalahnya, semua salah Jokowi.
Pengalamannya mencari pekerjaan tersebut sungguh mengharukan. Saya jadi iba dibuatnya. Bagaimana tidak iba, untuk interview dan mendatangi jobfair ia sampai harus ke luar kota. Surabaya, Jakarta, Semarang, Jogja, bahkan sampai Jakarta. Niat banget kan kawan saya itu. Semua ini dilakukan demi untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Bukankah ini sebuah usaha yang sangat luar biasa. Meski sudah berusaha sekeras demikian, masih saja belum mendapatkan pekerjaan.
Saya merasa ngilu jika membayangkan ceritanya. Rela jauh-jauh ke luar kota untuk mencari pekerjaan. Bayangan saya tentang betapa capeknya melakukan usaha tersebut. belum lagi ongkos dalam perjalanan dan biaya hidup selama di luar kota. Kan ngga mungkin ya semua ongkos itu ditanggung oleh perusahaan yang hendak dimasuki. Kalo ditanggung semua sih baik banget itu perusahaan. Kan jadi seperti dongeng kalo ada perusahaan baik di negara ini.
Setelah mendengar cerita tersebut, saya dihinggapi perasaan lain selain iba dan sedih. Perasaan bahagia tepatnya. Bukan bahagia atas nasib yang menimpa teman saya itu. Bukan. Melainkan sedikit merasa bahagia atas keterlambatan lulus ini. Betapa capek raganya, capek pikiran jika saya merasakan apa seperti apa yang dialami kawan tersebut. Meski menjadi mahasiswa skripsi juga anu, agaknya saya masih bisa menikmati kehidupan mahasiswa ini. Masih ada kemudahan yang bisa diakses selama menjadi mahasiswa. Setidaknya dapat kortingan naik bus trans kota milik pemerintah.
Ada dialektika pikiran akan realitas tersebut. Sebuah realita susahnya mencari pekerjaan. Meskipun sudah sarjana. Dan meskipun, menjadi sarjana itu juga tidak mudah apalagi murah. Ternyata gelar sarjana tidak menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Apalagi jika berasal dari Prodi yang begitu-begitu. Ehmm tidak favorit untuk perusahaan maksudnya.
Ah, persoalan kawan saya itu apakah kasuistik saja. Hanya terjadi pada ia, atau banyak pula yang bernasib sama. Apa memang realitas semacam itu menjadi sesuatu yang normal bagi sarjana muda. Jika memang susah mendapatkan kerja adalah suatu yang lumrah, berarti pekerjaan seorang sarjana adalah adalah mencari pekerjaan. Begitukah?
Sebagai kawan yang saleh. Setidaknya saleh minimalis. Saya mengajak kepada semuanya untuk mendoakan kawan saya. Agar ia segera diberikan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.