Move on dari hubungan romantis yang kandas di tengah jalan mungkin merupakan hal sepele bagi sebagian orang. Tapi, bagi sebagian (besar) yang lain bisa jadi itu menjadi sebuah perkara yang tak sepele. Kenapa saya berani bilang sebagian besar walaupun nggak ada datanya? Karena saya pernah berada di masa di mana menjadi sadboy dan sadgirl dirayakan begitu meriahnya oleh kalangan anak muda. Seolah perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan pasca-kandasnya hubungan telah menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari hidup mereka. Entah nahas atau beruntung, saya juga jadi bagian dari sebagian yang besar itu.
Iya, saya juga pernah menjadi kaum susah move on. Kira-kira butuh lima tahun lamanya untuk saya benar-benar bisa ikhlas melepaskan kenangan mantan. Sayangnya selama lima tahun tersebut saya belum kenal istilah sadboy dan sadgirl. Coba kalau udah ada, bisa dipastikan saya bakal jadi aktivis atau bahkan mencalonkan diri menjadi pimpinan regional. Untungnya, lima tahun itu sudah berlalu dan sekarang nggak pernah lagi terusik sama kenangan mantan dan sejenisnya.
Meski demikian, kadang kalau ketemu teman lama masih suka ditanya “kok bisa sih lama banget move on nya? Padahal udah bertahun-tahun dan mungkin dianya juga sudah lupa”. Pertanyaan itu biasanya saya senyumin aja, tapi kadang juga beneran diobrolin, tergantung motivasi sang penanya.
Kalau saya renungkan lagi sekarang, ada beberapa hal yang membuat saya butuh waktu sampai lima tahun untuk move on. Pertama, perencanaan yang sudah terlanjur matang. Sebagai anak kelas dua SMP, merencanakan akan kuliah di mana sama pacar memang terlihat terlalu mengada-ada. Sayangnya waktu itu saya beneran berharap dan sekaligus percaya diri bahwa hal itu bakal beneran terjadi. Mulai dari mau lanjut SMA di mana, mengkhayal nanti bakal berangkat bareng walaupun nggak satu sekolah, sampai tujuan kampus luar negeri yang akan kita tuju buat kuliah bersama, hal tersebut sudah kami diskusikan secara serius tanpa pernah kepikiran kalau nantinya hubungannya lebih dulu pupus. Bagi saya hal ini menyumbangkan porsi cukup besar terhadap sulitnya proses move on.
Kedua, punya banyak pengalaman dan kepentingan bersama. Oleh karena sama-sama aktif di organisasi, yang mana waktu itu basecamp untuk semua organisasi di sekolah saya campur jadi satu ruangan, sudah barang tentu setelah putus pun masih ada kepentingan bersama yang berkaitan dengan organisasi. Kalaupun nggak ada, pasti masih ada teman yang menanyakan hubungan personal baik untuk basa-basi atau beneran ingin tahu. Ini yang membuat tahun pertama move on terasa amat berat untuk saya. Bahkan pada tahun itu, kami masih ada keperluan untuk lomba mewakili organisasi sekolah. Ya, gimana nggak sedih, tiap hari masih ketemu tapi udah bukan siapa-siapa, nggak ada lagi ngobrolin SMA apalagi universitas tujuan.
Ketiga, dikelilingi oleh orang-orang dari masa lalu. Walaupun sempat memutuskan untuk melanjutkan SMA di luar kota, saya tetap punya hubungan dekat dengan teman-teman alumni SMP saya saat itu. Sebagian besar dari mereka satu sekolah dengan sang mantan tersebut, jadi tak jarang kalau lagi ngobrol sama mereka via chat maupun ketemu langsung. Ada saja yang ngasih update kabar si mantan tanpa pernah saya minta. Nggak jarang mereka juga cerita kalau kadang si mantan masih nanyain saya ke mereka, apalagi kalau saya habis dapat pencapaian baik di sekolah. Ini yang namanya akibat kabar setitik, rusak move on sebelanga. Iya-iya, saya lemah, dikasih update kabar aja langsung ingat yang dulu-dulu, padahal orangnya juga udah gonta-ganti pasangan melulu.
Beruntungnya, setelah lulus SMA saya kuliah di lingkungan yang benar-benar baru. Teman baru, aktivitas baru, kesibukan baru, dan tujuan hidup yang baru pelan-pelan membantu saya untuk terbebas dari jerat kenangan mantan. Yang tadinya tujuan hidup saya cuma buat “bikin mantan menyesal”, setidaknya di tempat baru saya pengen bikin diri saya nggak menyesal karena membuang banyak kesempatan untuk belajar dan berkembang di kampus. Gara-gara banyak kegiatan dan sibuk begadangin tugas bikin saya jadi nggak punya banyak waktu untuk nostalgia, apalagi mengungkit-ungkit rasa yang pernah ada sudah tiada.
Pada tahun pertama kuliah itulah, saya merasa sudah benar-benar bisa move on, sudah nggak baper lagi kalau denger kabar tentang dia dari teman-teman, sudah nggak takut lagi kalau update-an dia di sosmed tak sengaja lewat di beranda, dan sudah siap untuk ngasih selamat di nikahan dia (walau akhirnya nggak diundang, hahaha).
Kalau ada yang bilang bahwa cara terbaik buat move on adalah menyibukkan diri, bagi saya itu bisa benar dan bisa tidak. Bisa benar kalau kesibukan itu beneran panggilan hati dan kita menikmatinya. Bisa salah kalau kesibukan itu kita bikin-bikin untuk mengelabui perasaan sendiri, seperti halnya yang saya lakukan waktu SMA yang bukannya bikin move on justru bikin makin kepikiran gimana caranya biar si mantan menyesal.
BACA JUGA Tutorial Balikan dengan Mantan buat Kalian yang Gagal Move On dan tulisan Utamy Ningsih lainnya.