Setelah Presiden Jokowi mengumumkan secara langsung bahwa dua orang WNI positif terinveksi virus corona, kepanikan terjadi. Mau menyembunyikan rasa panik, mengatakan kami tidak tidak panik juga tidak akan ada yang percaya. Lihat saja barang-barang di supermarket wilayah Ibukota dan sekitarnya ludes seperti negeri yang sudah mengumumkan untuk berperang. Parahnya masih ada yang mengambil keuntungan dari kepanikan ini.
Reaksi panik warga bisa dimaklumi karena memang secara konseptual virus itu dipahami dalam bingkai perang. Secara kognitif manusia memaknai suatu fenomena baru dengan meminjam ranah pengalamannya. Dalam kasus virus ini manusia mengkonseptualisasikan virus sebagai musuh dalam bingkai perang untuk memahami virus sebagai suatu fenomena baru. Manusia memiliki pengalaman tentang perang bahwa dalam perang di mana ada musuh yang dilawan, ada wilayah yang dilindungi, ada tentara yang berperang, dan ada hasil yang didapatkan.
Pengalaman tentang perang ini secara kognitif mengajari manusia memahami virus sebagai sebagai musuh yang harus dilawan dan tubuh adalah wilayah yang harus dilindungi. Semua ini adalah untuk mendapatkan kemenangan yang berarti manusia selamat dari invansi virus. Sistem kognisi manusia memproses informasi tentang virus dari pengalaman manusia ini yang memunculkan ungkapan-ungkapan linguistik seperti virus menginvansi tubuhnya; sistem imunnya berusaha mempertahankan dan melawan virus; virus itu menang atas sistem imunnya dan ia pun jatuh sakit.
Tidak hanya pada aspek linguistik saja dalam aspek perilaku reaksi kepanikan yang membuat barang-barang di supermarket habis adalah suatu perilaku yang dilakukan manusia dalam situasi perang. Perlengkapan yang dibeli juga adalah segala perlengkapan yang memungkinkan untuk bersembunyi menunggu keadaan kembali normal, bila perlu menghindari untuk bertemu siapa pun. Yap, seperti fans klub yang ketika kalah memutuskan untuk masuk goa. Apa mungkin Cules memanfaatkan situasi panik ini untuk persiapan masuk goa?
Melihat reaksi kepanikan warga yang membeli segala jenis barang-barang dari supermarket setelah diumumkannya dua orang yang positif terinveksi virus sedikit berbarengan dengan kalah telaknya Barcelona oleh musuh bebuyutannya Real Madrid, membuat saya menjadi suudzon. Jangan-jangan mereka memang Cules yang memanfaatkan situasi?
Reaksi panik dari masyarakat memang tidak terhindarkan. Mereka tidak pernah disiapkan untuk situasi ini. Begitu wabah corona menyebar saja elite negeri baik dari kalangan pemerintahan sampai publik figur lebih banyak ngelantur. Dari Menteri Kesehatan yang mengentengin situasi, ustaz yang mengatakan virus corona tentara Allah, akademisi yang mengatakan ruqyah bisa menyembuhkan corona, sampai Wakil Presiden yang mengatakan corona bisa ditanggulangi dengan doa qunut. Jadi jangan salahkan jika masyarakat panikan dan gampang percaya hoaks jika publik figurnya saja seperti itu.
Di saat warganya panik oleh virus corona, Menteri Kesehatan bukannya memberikan panduan jika terjadi outbreak corona di Indonesia malah dengan santai mengatakan, “Kasihan nanti nggak ada apa, coba kamu beli masker berapa?” Memang WHO sudah dengan tegas mengatakan untuk orang yang sehat tidak memerlukan masker tapi harusnya publik figur, apapalgi selevel Menteri Kesehatan bisa menyampaikannya dengan lebih baik bukannya mengentengkan masalah.
Pernah juga Pak Menteri ini ngedumel nyalahin warga yang bikin harga masker naik. Yaelah Bapak Menteri ini sudah tidak memberikan solusi malah ngomel, coba bagikan gratis, kan tidak naik harganya. Lagian masker satu-satunya proteksi yang bisa melindungi dari benda kasat mata di saat negara dengan santainya menggampangkan situasi. Bukannya bersiap-siap menghadapi kondisi terburuk malah santainya mengincer wisatawan mancanegara yang batal mengunjungi China, Korea, dan Jepang. Bahkan sampai menggelontorkan dana 500 juta subsidi untuk diskon tiket pesawat biar Indonesia diserbu wisatawan aseng.
Dalam kondisi normal ini sih okay saja. Tapi ini ada wabah global yang membuat semua negara menutup diri sampai Arab Saudi menutup pemasukan dari kolom asetnya untuk sementara dari kunjungan umroh. Lah Indonesia justru galak-galaknya ngincer para wisatawan padahal persiapan menghadapi serangan corona paling kurang. Jadi wajar saja kalau ada warga negaranya yang sampai menimbun masker yang sebelumnya hanya seharga 30 ribu kemudian menjualnya dengan seharga 350 ribu. Wong pemerintahnya saja masih coba-coba nyari profit di tengah siutasi menghimpit.
Saya sih maklum kalau bisnis itu mensyaratkan untuk kejelian melihat peluang dalam segala masalah. Tapi ya nggak gitu juga, Bambang. Masa semua-semua mau dibuat bisnis sampai hal yang menyangkut nyawa juga mau dibisnisin. Kalau sampai wabah ini menyebar secara luas yang rugi ya kita-kita juga. Kalau sampai gara-gara kurang duit ada warga yang mungkin terinveksi corona tidak mau beli masker yang rugi ya kita semua. Nggak penguasa, nggak rakyat jelata orientasinya kok profit terus. Apakah sisi kemanusiaan kita sudah seluntur itu sampai musibah juga dibisnisin? Hah?
BACA JUGA Saya Tinggal di Depok, Khawatir Virus Corona, Tapi Saya Tidak Sebar Hoax dan Borong Masker atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.