Banyak orang membandingkan antara tarung jalanan dan bela diri. Berebut mana yang lebih baik, apalagi kalau ditandingkan. Tarung jalanan dipandang lebih superior karena mengedepankan insting dan pengalaman. Selain itu, petarung jalanan juga dipandang keren karena mereka “ditempa oleh realita”. Sedangkan bela diri dinilai hanyalah tarian dan pamer jurus.
Kalau begitu, apa benar tarung jalanan lebih superior daripada bela diri? Saya pikir jawabannya bukan sekadar ya atau tidak.
Sebelumnya mari kita samakan dulu apa definisi tarung jalanan. Kalau menilik perjalanannya, tarung jalanan dekat dengan dunia gangster dan klub motor. Entah untuk melepas penat atau memang memperjuangkan sesuatu seperti wilayah. Ia juga erat dengan kekerasan jalanan. Akhir-akhir ini, banyak penggiat tarung bebas dan MMA yang menyebut tanding mereka sebagai tarung jalanan.
Izinkan saya mengerucutkan arti tarung jalanan ini. Tarung jalanan adalah pertarungan dua individu, bukan keroyokan ataupun penyerangan tiba-tiba. Jadi, klitih dan tawuran tidak akan saya masukkan. Kedua, mayoritas tarung jalanan tidak memiliki aturan kecuali kesepakatan bersama. Jadi, model fight club ataupun sparing antar geng sama-sama tarung jalanan. Terakhir, tarung jalanan tidak merujuk pada teknik dan aturan bela diri tertentu. Maka untuk penggiat MMA yang merasa street fighter, boleh menyingkir dulu.
Kenapa saya kerucutkan? Karena banyak orang menganggap tarung jalanan sebagai hal bebas. Termasuk ketika para atlet bela diri bertanding dengan nuansa jalanan seperti di Makassar. Saya pikir mereka tidak tepat disebut petarung jalanan. Tarung jalanan lahir tanpa ada tatanan dan aturan baku. Tujuannya hanya satu: menang.
Baiklah, kita sudah dalam satu frekuensi. Sekarang mari kita bandingkan. Tarung jalanan memang tidak memiliki aturan tegas, apalagi kalau terjadi secara dadakan seperti ricuh antar geng. “Aturan” tarung jalanan sering disebut “no holds barred” alias tanpa aturan. Mungkin aturan yang sering muncul hanya jangan membunuh lawan.
Tentu ini berbeda dengan bela diri. Kalau bicara latih tanding mereka, pasti aturan ketat diterapkan. Dari tidak boleh menyerang titik lemah tertentu, sampai larangan memakai senjata. Memang beberapa pelaku bela diri akan menyerang titik terlarang ketika mempertahankan diri di luar ring atau sasana. Namun secara umum mereka punya aturan baku.
Bicara teknik, tarung jalanan umumnya tidak mengenal ini. “Latihan” mereka cenderung mencari serangan terbaik untuk melumpuhkan. Sering kali mereka memadukan beberapa teknik bela diri yang dianggap perlu, tapi tidak ada latihan tegas dan terstruktur. Mungkin tidak akan kepikiran untuk latihan juga. Yang penting mereka tahu apa yang dilakukan ketika harus bertarung. Latihan mereka hanyalah pertarungan yang dialami.
Para atlet bela diri punya latihan yang jelas. Bahkan ada sanksi ketika melanggar latihan. Dan latihannya tidak hanya cara menghajar musuh. Dari latihan pernapasan, teknik menghindar, sampai mengunci serangan akan mereka pelajari. Mental bertarung juga ditempa. Hasil tempaan ini teruji dan terbukti dengan sabuk atau jenis tingkatan lain. Jadi secara bekal, atlet bela diri cenderung lebih siap.
Penggunaan senjata oleh petarung jalanan cenderung kreatif. Mereka akan memanfaatkan objek di sekitar mereka sebagai perpanjangan serangan. Dari pasir sampai botol pecah akan mereka pakai jika memungkinkan. Namun, penggunaannya cenderung serampangan alih-alih melatih memanfaatkan foreign object dengan efisien.
Beberapa cabang bela diri mempelajari penggunaan senjata. Bahkan seni bela diri Arnis (disebut juga Kali dan Eskrima) dari Filipina benar-benar menjadikan senjata sebagai materi utama. Penggunaan senjata dalam bela diri tentu lebih efisien. Mereka menjadikan senjata sebagai perpanjangan lengan dan kaki. Selain belajar menggunakan senjata, pelucutan senjata juga dipelajari dalam banyak bela diri.
Terakhir, saya ingin membahas tentang serangan “mematikan”, yaitu serangan fatal di titik lemah yang berfungsi melumpuhkan musuh. Petarung jalanan cenderung hanya mengenal titik populer seperti selangkangan, hidung, dan ulu hati. Mereka akan memanfaatkan serangan di titik ini untuk memenangkan pertarungan dengan cepat.
Serangan serupa juga dipelajari di berbagai bela diri. Dan titik lemah manusia lebih dieksplorasi dalam materi bela diri. Dari sendi sampai area ginjal menjadi sasaran dari serangan fatal atlet bela diri. Dan dengan latihan dan pembentukan mental, serangan pada titik lemah ini bisa lebih berbahaya.
Lantas, bagaimana membandingkan keduanya? Akan sangat sulit! Jika membandingkan antar bela diri, kita bisa memakai konsep tingkatan mereka. Misal sabuk hitam Karate vs sabuk hitam Taekwondo. Sementara kalau tarung jalanan, kematangan dan pengalaman ini tidak terdefinisi. Hanya publikasi kelompok mereka yang jadi acuan seberapa tangguh si petarung.
Apalagi kalau ditandingkan, akan banyak faktor yang berpengaruh. Namun kesiapan mental serta latihan akan membuat atlet bela diri lebih unggul. Apalagi untuk cabang bela diri yang lebih fleksibel dalam pertarungan. Bahkan dalam situasi no holds barred sekalipun, atlet bela diri masih bisa menguasai permainan. Tapi semua akan dipengaruhi oleh pengalaman.
Menurut saya, petarung jalanan menang mental dan kreativitas. Untuk yang sudah senior, mental mereka jelas kuat bahkan di keadaan serba mendadak. Mereka juga akan jeli melihat peluang melumpuhkan musuh. Dari menendang selangkangan, menggigit telinga, sampai memakai senjata.
Sementara itu, atlet bela diri akan lebih superior, terutama untuk atlet senior. Secara mental mereka juga tertempa dalam latihan. Fisik tentu lebih kuat oleh latihan serius bertahun-tahun. Dan lebih penting, mereka belajar cara bertarung yang efektif. Termasuk dalam memakai senjata serta melumpuhkan lawan.
Pada akhirnya atlet bela diri akan lebih unggul. Glorifikasi tarung jalanan akan sirna melawan individu yang berlatih untuk bertarung. Bahkan dalam situasi yang tidak imbang, misal masalah senjata, atlet bela diri masih punya kesempatan untuk menang. Semua karena mereka dilatih untuk menuntaskan pertarungan dengan efisien dan cekatan. Bukan hanya membanggakan diri ala-ala underground fight club.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Meniru Tutorial Bela Diri Mentah-mentah, kalau Masih Sayang Nyawa.