Angkringan di Bogor: Berusaha Meniru Jogja, tapi Gagal Total, Tidak Ada Kehangatan!

Angkringan Sering Disalahpahami dari Cawas Klaten atau Jogja, padahal Cikal Bakalnya dari Desa Ngerangan Klaten Mojok.co bogor

Angkringan Sering Disalahpahami dari Cawas Klaten atau Jogja, padahal Cikal Bakalnya dari Desa Ngerangan Klaten (unsplash.com)

Angkringan di Bogor saya rasa gagal meniru Jogja. Tak ada kehangatan, dan tak bisa memberi rasa yang sama 

Saya tidak begitu memusingkan pendapat orang-orang yang bilang bahwa “Jogja sudah tidak seperti dulu”, atau berbagai berita negatif lain tentangnya. Bagi saya, di antara sekian banyak kota di Indonesia yang telah saya kunjungi, hanya Jogja yang selalu memanggil saya untuk kembali.

Jogja, dengan segala daya tariknya, seolah memiliki pesona magis yang membuat saya selalu merindukannya. Kalo ditanya kenapa, entahlah saya juga tidak tahu, yang pasti, di antara jalan-jalan bersejarah dan senyum pedagang kaki lima, ada keajaiban yang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Setiap kali meninggalkan Jogja, hati ini selalu tertinggal di sana, menanti momen untuk kembali merasakan kehangatan dan keindahannya.

Untuk mengobati kerinduan saya pada Kota Gudeg itu, pernah pada suatu malam saya mencoba nongkrong di salah satu angkringan yang berada di Kota Bogor. Kebetulan lokasinya selalu saya lewati setiap hari saat perjalanan pulang ke rumah. Lebih tepatnya dekat Perumahan Taman Yasmin.

Angkringan dan seblak… really?

Ketika motor yang saya tunggangi mulai menepi, perasaan saya mulai tidak enak ketika membaca tulisan di spanduk “Angkringan dan Seblak Prasmanan”. Nah loh, kolaborasi macam apa ini. Menggabungkan sesuatu yang sudah khas, buat saya justru malah melemahkan keduanya.

Walaupun bukan berasal dari Jogja, kini angkringan telah menjadi simbol khas dari dari kota itu. Dengan bersantai sambil menyeruput kopi, saya berharap bisa mengulang kembali romantisasi ketenangan dan kenyamanan Kota Jogja melalui kesederhanaan dan kehangatan sebuah angkringan.

Namun, apa mau dikata, angkringan di Bogor tak ubahnya seperti warung kopi kebanyakan. Hanya konsep dan menunya saja yang serupa. Suasananya jelas berbeda. Pertama, letaknya di pinggir jalan raya yang notabene merupakan jalur cepat, jelas ini terlalu berisik untuk jadi tempat ngobrol yang asyik.

Kedua, para pengunjung ngobrol dengan teman-temannya sendiri, atau kalau datang sendiri  sibuk dengan gadget-nya. Tidak ada interaksi antarpengunjung. Yah mirip-mirip angkringan di Malioboro, yang pengunjungnya kebanyakan emang wisatawan yang menjadikan angkringan sebatas tempat kulineran.

Ketiga, menurut saya lampunya terlalu terang untuk sebuah angkringan. Biasanya angkringan dibuat agak remang-remang. Ini penting agar cahaya fokusnya ke makanan bukan ke orang. Sorot cahaya yang berfokus pada makanan menjadikan seseorang tidak terlihat terlalu jelas. Itu adalah bagian dari filosofi dari angkringan bahwa tidak ada stratifikasi sosial dalam angkringan.

Bolak-balik Jogja-Bogor

Bicara soal angkringan mengingatkan saya pada dua tahun yang lalu, ketika untuk sebuah keperluan, hampir setiap pekan saya bolak-balik Jogja-Bogor. Sering kali sampai Terminal Jombor sekitar jam tiga pagi. Untuk menunggu pagi, saya biasanya nongkrong di angkringan tepat di depan terminal. Sebuah hal yang atas dasar keamanan, saya juga enggan melakukannya bahkan di kota tempat saya tinggal.

Di angkringan ada suasana egaliter. Saya tidak pernah merasa kesepian. Di sela-sela menyeruput kopi atau teh saya bisa berbincang dengan pengunjung lain tentang berbagai hal. Mulai dari peristiwa sehari-hari, cerita lucu, hingga isu-isu terkini. Bahkan ketika tidak ada pengunjung lain, pedagang yang ramah akan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan.

Nah, hal-hal semacam itu tidak saya dapatkan di angkringan yang kemarin saya datengin. Padahal angkringan bagi saya bukan sekedar tempat untuk menikmati kopi, nasi kucing, sate usus, atau kepala ayam. Lebih dari itu, di balik gerobaknya yang mungkin terlihat lusuh, ada filosofi yang dalam tentang kesederhanaan, kebersamaan dan keterbukaan.

Angkringan, dengan menu dan tampilan yang sederhana, mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak melulu soal kemewahan. Di balik gerobak beratap terpal plastik dan sekepal nasi kucing ditambah secuil oseng tempe atau teri, terdapat kehangatan yang tak ternilai. Angkringan mengajak kita untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

Akhirnya saya menyadari, mungkin ekspektasi saya saja yang terlalu berlebihan. Jogja dan angkringan buat saya sudah jadi satu paket. Orang boleh saja meniru konsepnya dan menjajakan jajanan serupa di tempat lain, namun tetap tidak akan pernah sama, karena atmosfer Jogja tidak mungkin dihadirkan di kota lain.

Penulis: Roy Waluyo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Angkringan Palsu di Jogja Meresahkan: Dikonsep Ala Kafe, Jualnya Minuman Sachet dan Tempura Sosis

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version