Ekonomi digital sedang gandrung-gandrungnya di bahas mulai dari pemerintahan, organisasi, komunitas, sampai bapak-bapak komplek yang sedang ronda pun ikut membahasnya. Kemkominfo yang mencanangkan digitalisasi di Indonesia sangat yakin betul bisa memberikan manfaat bagi berbagai sektor di Indonesia, termasuk ekonomi.
Salah satu hal yang disoroti dalam ekonomi digital selain belanja online di e-commerce adalah transaksi digital. Kita tahu sendiri banyak dompet digital di Indonesia, tapi masih sedikit peminatnya. Paling-paling anak kuliahan yang suka main di kafe. Tempat usaha yang memakainya pun masih sedikit, biasanya restoran, mungkin beberapa angkringan sudah mulai pakai.
Meskipun demikian, transaksi digital yang cuma scan barcode sangat mempermudah konsumen dan pelaku usaha. Konsumen nggak perlu lagi nyiapin uang kecil ketika beli kopi yang harganya nanggung, Rp14.500 misalnya. Pelaku usaha pun nggak harus kelimpungan nyari uang kecil buat kembalian, apalagi sampai ngasih permen sebagai kembalian.
Tetapi, ada hal yang sepertinya tertinggal untuk disorot dalam penerapan transaksi digital, yaitu tukang parkir. Di setiap sudut jalan, kita pasti menemukan tukang parkir. Ketika ke kafe, restoran, minimarket, bahkan WC umum. Meski, kita nggak tahu dia tukang parkir legal atau nggak, tapi siapa peduli? Pemerintah? Ngimpi!
Membayar tukang parkir kadang menyulitkan. Khususnya para pengendara motor yang kadang cuma harus bayar Rp2 ribu atau Rp3 ribu. Ketika bayar pakai duit goceng, eh nggak ada kembalian. Akhirnya, kita dengan berat hati dengan terus menanamkan niat sedekah memberikan uang goceng itu ke tukang parkir.
Maka, coba kita bayangkan apabila tukang parkir mulai menyentuh transaksi digital. Tinggal scan barcode, kita bisa bayar dengan mudah tanpa nyari uang kecil dan nunggu kembalian. Barcode yang dipindai pun bisa beragam, bisa lewat smartphone yang dipakai sang tukang parkir, atau disablon di bajunya.
Pasti ada yang bilang, “Kan nggak semua punya smartphone!” Memang saya tidak menampik hal itu. Tapi, saya sangat memiliki keyakinan hal itu bisa terwujudkan. Di mal-mal besar bisa saja ide ini muncul. Coba pemerintah setempat, Dishub misalnya, ikut mengedukasi petugas parkir soal keuntungan transaksi digital. Pasti bisa, kok!
Apalagi, dompet digital sekarang banyak dan bisa dicairkan menjadi tunai dengan berbagai cara. Hanya perlu edukasi, pasti bisa, kok! Kalau ekonomi digital cuma dirambah oleh orang-orang yang “merasa” pinter dan cerdas, kapan majunya Indonesia?
Setidaknya, kalau kita nggak bisa ngasih sesuatu bagi orang yang membutuhkan, kita bisa memberi cara yang mudah bagi orang lain untuk mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya. Dengan menerapkan transaksi digital pada para petugas parkir di jalanan.
Untuk petugas parkir resmi malah seharusnya lebih mudah. Dengan menggunakan aplikasi dompet digital terintegrasi, pasti akan mudah dalam memantau hak-hak petugas parkir. Nggak akan ada lagi kabar-kabar petugas berbaju biru muda menggasak duit petugas parkir demi perutnya yang buncit. Ya, korup lah intinya mah.
Transaksi digital untuk petugas parkir juga sangat memudahkan dalam hal efisiensi tempat duit. Saya lihat kebanyakan petugas parkir bawa tas kecil, atau bahkan cuma dikantongin! Padahal, jika terjadi sesuatu yang nggak-nggak, kayak copet misalnya, bisa nggak makan anak-istrinya di rumah. Siapa yang mau bertanggung jawab? Pemerintah? Ngimpi!
Dengan transaksi digital, petugas parkir menerima scan barcode, duit langsung masuk ke dompet digital. Copet pun akan kelimpungan cari cara mencuri uang. Karena semakin berkembang teknologi, duit semakin gaib. Sehingga, khazanah percopetan di Indonesia bisa sangat berkurang.
Tapi, kalau copetnya pinter, bisa saja dia melakukan peretasan terhadap smartphone atau akun dompet digital si tukang parkir. Hal ini sangat mungkin terjadi karena para penjahat IT bisa melenggang bebas. Toh, UU ITE aja cuma dijadikan untuk mempermasalahkan status Facebook. Perlindungan data aja sekarang semakin nggak jelas. Kalau sudah gini siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah? Ngimpi!
Bahaya tersebut bisa sangat mengintai di zaman sekarang. Makanya, kalau kebijakan ini diterapkan, tukang parkir perlu berhati-hati. Peretasan terhadap pegawai KPK saja dibiarkan, apalagi terhadap rakyat kecil kayak tukang parkir? Hidup tukang parkir!
Bismillah komisaris.
BACA JUGA Liberalisasi Ekonomi Ditinjau dari Peluit Tukang Parkir dan tulisan Muhammad Afsal Fauzan S. lainnya.