Tempo hari, ketika sedang berselancar di media sosial, saya mendapati status Mas Puthut EA yang relate dengan saya. Mas Puthut mengatakan lebih menyukai berbagi pesan tertulis sebagai bentuk komunikasi melalui gawai. Bukan telepon. Saya langsung setuju. Inilah alasan tidak suka menerima telepon tanpa janjian dulu.
Sebagai salah satu orang yang pernah mencicipi bangku kuliah di Jurusan Komunikasi, percayalah, saya merasa tidak nyaman dengan aktivitas telepon-menelepon. Bukan seakan-akan ingin merasa dianggap penting atau apa, tetapi saya mempunyai alasan tidak suka menerima telepon.
Daftar Isi
Menyita waktu dan terkesan “memaksa”
Bagi saya, menelepon seseorang itu menyita waktu pribadi orang tersebut. Dan juga seolah memaksa seseorang untuk berbicara pada kita.
Sudah kita merugikan waktunya, pun belum tentu yang bersangkutan mau berbicara pada. Terlihat sepele. Tapi itu salah satu bentuk sederhana untuk menghargai seseorang. Karena pada dasarnya kita tidak tahu kondisi orang yang ingin kita telepon. Itulah salah satu alasan saya tidak suka menerima telepon.
Ada sebuah teori Komunikasi Antar Pribadi (KAP) yang saya pelajari ketika kuliah. Isinya, proses pertukaran makna antara dua orang atau lebih yang saling berinteraksi melalui telepon, dapat meningkatkan hubungan insani, menghindari konflik, mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian, dan berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Namun tetap saja. Saya merasa tidak nyaman dengan aktivitas tersebut. Mood saya seakan langsung berubah ketika ada telepon masuk tiba-tiba. Ini juga salah satu alasan saya tidak suka menerima telepon
Kegelisahan saya dianggap tidak nyata
Sialnya, banyak orang enggan memahami hal tersebut. Mereka merasa bahwa kegelisahan yang saya alami ini tidak nyata dan menganggap semua yang dilakukan sah-sah saja. Alias disepelekan. Mereka tidak mau memahami alasan saya tidak suka menerima telepon. Apalagi yang nggak pakai janjian dulu. Mending kirim WhatsApp dulu.
Dampaknya, saya sering mengabaikan telepon seseorang. Meskipun orang tersebut sudah berusaha berkali-kali menelpon, saya terus mengabaikannya. Hingga saya merasa situasi sudah aman tidak ada telepon lagi, barulah saya akan mengirimkan pesan tertulis sebagai bentuk respons.
Tentu dengan bermacam alasan. Karena tidak mungkin berterus terang, saya tetap tidak ingin menyinggung perasaan seseorang.
Jadi terbiasa mengabaikan telepon seseorang
Orang-orang yang nomornya tersimpan di handphone saya saja, belum tentu saya bisa dan mau angkat ketika telepon masuk. Begitu juga dengan keluarga saya sendiri. Apalagi dengan orang yang saya tidak ketahui nomornya.
Berulang kali saya berantem dengan bapak sendiri perkara telepon ini. Iya, beliau belum bisa memahami alasan saya tidak suka menerima telepon tanpa janjian dulu.
Sampai beliau berkata, “Kamu anak Komunikasi doang, tapi komunikasinya nggak bagus, blas!” Atau, “Rumit sekali komunikasi denganmu, Saar?? Saya hanya terdiam, lalu meminta maaf, tapi tetap mengulanginya.
Lain cerita kalau memang itu situasinya darurat, mendesak, atau saya sudah tahu kondisi dan situasi sebelumnya. Saya akan menghentikan segala bentuk aktivitas. Saya akan standby untuk menerima telepon.
Di sisi lain, saya lebih menyukai pesan tertulis. Menurut saya, saya jadi mempunyai waktu untuk memahami isi pesan dan memikirkan sebaik-baiknya jawaban yang tepat. Bisa agak santai, dan tidak terburu-buru atau gegabah.
Maka dari itu, saya lebih memilih untuk berbagi pesan tertulis daripada telepon ketika berinteraksi dengan seseorang.
Alasan saya tidak suka menerima telepon juga karena saya pelupa
Saya cenderung pelupa orangnya. Juga pendengaran yang sudah nggak bagus-bagus amat. Tidak jarang saya merekam pembicaraan ketika sedang menelpon. Hanya untuk memastikan sekali lagi isi pembicaraan sudah sesuai dengan respons yang saya berikan atau belum. Jika merasa belum atau ada kekeliruan, saya akan menuliskan pesan tertulis untuk menyambung obrolan.
Maka dari itu, saya lebih memilih untuk berbagi pesan tertulis. Terasa lebih bisa mengekspresikan emosi ketika menuangkan komunikasi dalam bentuk tulisan.
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menelepon seseorang?
Jawabannya, menurut saya, tidak ada. Kita tidak bisa memaksa untuk menyita waktu seseorang secara tiba-tiba untuk mau dan berbicara dengan kita. Ingat, kita tidak tahu apa yang sedang orang alami ketika hendak meneleponnya.
Kita juga tidak tahu apakah orang tersebut mau berbicara dengan kita. Makanya, kita tidak tahu apakah orang tersebut sedang bisa kita ajak bicara atau tidak. Inilah alasan saya tidak suka menerima telepon yang paling hakiki. Ini prinsip.
Yang bisa kita lakukan adalah mengirim pesan tertulis kepada orang tertuju untuk memberitahukan bahwa kita ingin meneleponnya. Agar orang tersebut bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan kita.
Bahkan dengan bapak saya sendiri, saya selalu mengirim pesan terlebih dahulu ketika ingin meneleponnya. Ketika dia bersedia, baru saya menelepon. Itu prinsip.
Jadi mohon maaf jika ada yang merasa teleponnya tidak terangkat. Itu ada dua sebab. Pertama, saya sengaja tidak mengangkatnya lalu lupa mengirim pesan untuk merespons karena sudah tenggelam kolom chatnya.
Kedua, karena memang tidak sengaja tidak terangkat. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk memasang mode bisu di hape. Jadi, saya sarankan, jika ingin mengobrol langsung dalam waktu lama, kirim pesan dulu dan share lokasi. Saya akan menghampiri Anda kalau saya bisa. Daripada ditelepon nanti saya cuma hah hoh hah hoh.
Penulis: Saar Ailarang Abdullah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tipe Orang Berdasarkan Cara Bilang “Ok” Ketika Membalas WhatsApp
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.