Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Alasan Saya Rela Beli Kopi Mahal padahal Saya Konsumen Bergaji UMR

Prabu Yudianto oleh Prabu Yudianto
9 September 2020
A A
Alasan Saya Rela Beli Kopi Mahal padahal Saya Konsumen Bergaji UMR terminal mojok.co

Alasan Saya Rela Beli Kopi Mahal padahal Saya Konsumen Bergaji UMR terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Dua artikel dari Mas Sofyan Azis dan Mas Riyanto memang menarik bagi saya. Sebuah tesis yang segera bersambut antitesis. Bagaikan Plato dan Aristoteles. Tema yang sejajar dengan sabda para filsuf. Menurut saya, kedua artikel tersebut lebih layak diromantisasi daripada kopi mahal dan tidak mahal itu sendiri!

Jika kita amati, Mas Sofyan menawarkan sudut pandang dari penikmat kopi yang merasa kopi harus murah. Sedangkan Mas Riyanto menawarkan sudut pandang dari seseorang yang terjun dalam dunia kopi dan mengetahui kenapa kopi bisa mahal. Tapi, dari kedua argumen tersebut harus dilengkapi dari sudut pandang konsumen yang merasa kopi mahal itu wajar.

Maka, saya menawarkan diri sebagai orang ketiga. Orang yang menyampaikan argumen mengapa kopi yang dipandang mahal tetap dibeli. Apalagi, saya merasa pantas memberikan argumen dengan gaji saya yang mepet-mepet UMR Jogja. Bagaimana bisa seseorang bergaji “narimo ing pandum” masih mau membeli kopi yang seharga 2 liter pertalite?

#1 Saya tahu apa yang saya beli

Ini adalah alasan utama saya. Sedikit banyak saya mengerti rata-rata Harga Pokok Penjualan (HPP) dari segelas es cappucino (yang selalu saya pesan dimanapun saya berada). Dengan memahami HPP ini, saya tidak keberatan merogoh kantong lebih dalam demi segelas kopi. Dan saya tidak pikir pusing membandingkan harga segelas kopi saset dengan segelas kopi artisan.

Tentunya, mengetahui rerata HPP membuat saya pemilih. Saya tetap rewel ketika melihat harga kopi yang (menurut saya) terlalu mahal. Tapi, kadang kala saya tetap membeli kopi yang (menurut saya) terlalu mahal karena alasan berikutnya.

#2 Saya menyewa tempat dan fasilitas.

Inilah yang saat ini menjadi alasan utama seseorang rela nongkrong berjam-jam di kedai kopi. Dari uang yang kita bayarkan saat membeli kopi, kita juga membayar “sewa” atas tempat dan fasilitas yang tersedia. Mulai dari tempat duduk, pajangan dinding, sampai wifi yang selalu saya butuhkan saat menulis artikel.

Alasan kedua ini yang membuat saya tidak terlalu hype pada kultur kopi susu cup. Alasannya, tempat yang mereka sediakan cenderung kecil, ramai, dan tidak bisa merokok. Saya lebih nyaman menikmati kopi di lokasi yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan bisa merokok. Daripada memaksa diri ngopi di tempat yang tidak sesuai demi Story Instagram saya.

#3 Saya membeli suasana

Sedikit bersinggungan dengan alasan kedua, suasana juga sesuatu yang membuat saya rela merogoh kantong lebih dalam. Beberapa kedai kopi sudah membuat saya nyaman sejak turun dari motor. Dan kenyamanan ini cukup pantas untuk saya bayar lebih. Tentu urusan nyaman ini sangat relatif, dan cocok-cocokan. Hal ini menyebabkan saya jarang berpindah dari kedai langganan.

Baca Juga:

4 Alasan Saya Tetap Setia dan Tidak akan Menjadikan Kopi Kenangan sebagai “Mantan”

3 Dosa Janji Jiwa yang Sulit Dimaafkan dan Bikin Pembeli “Kabur” Kopi Kekinian Lain

Alasan ini juga membuat saya rela melakukan perjalanan belasan kilometer demi mampir ke kedai kopi. Mungkin, alasan ketiga ini bisa disebut meromantisasi kopi seperti opini Mas Sofyan Azis.

Tentu Mas Sofyan akan terkejut dan berpikir saya terlalu halu.

Jangan dikira saya terlalu halu dan meromantisasi kopi. Alasan saya melakukan perjalanan ini sama seperti orang lain yang rela jauh-jauh menuju tempat wisata atau rumah ibadah yang nyesss di hati. Dan saya tidak sendiri kok Mas Sofyan, biasanya saya boncengan atau rame-rame 5 motor setiap “wisata kopi”.

#4 Saya membeli seni

Nah alasan ini juga sering dicap sebagai meromantisasi kopi. Apalah arti seni dalam segelas kopi. Apalagi saya selalu mencampur gula yang katanya “merusak rasa kopi”. Tapi, kopi artisan tetaplah sebuah karya seni. Dari latte art sampai kompleksitas rasa segelas kopi tetaplah memiliki nilai lebih dari segelas kopi yang dibuat serampangan.

Andai ada kopi murah dengan “nilai” yang sama dengan selera saya, belum tentu saya berpindah ke lain hati. Toh, 3 alasan di atas juga harus diperhatikan. Tapi, alasan keempat ini juga membuat saya enggan membeli kopi kekinian yang umum dijumpai di mal atau bioskop (dan berlogo perempuan berwarna hijau putih).

#5 Saya menganggarkan “dana plesiran”

Ini alasan terakhir saya selalu siap mampir ke kedai kopi. Saya memperhatikan kesehatan mental yang seringkali diabaikan seorang pekerja. Untuk menjaga agar mood dan kinerja dalam posisi maksimal, saya selalu memiliki waktu khusus untuk relaksasi dan melepas penat. Kebetulan, relaksasi terbaik saya adalah ngopi di kedai yang memenuhi 4 alasan di atas.

Mungkin, alasan saya dipandang terlalu berlebihan dan meromantisasi kopi. Namun, tidak saya pungkiri bahwa saya tetap nyaman menikmati kopi dengan gaji saya yang mepet UMR Jogja. Justru, saya tahu persis apa yang saya butuhkan dan apa yang saya beli. Jadi saya tidak perlu terjebak dalam situasi membenci romantisnya kopi yang memang ada.

BACA JUGA Panduan Memahami Spektrum Agnostik dan Ateis dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 9 September 2020 oleh

Tags: Kopi KekinianWarung Kopi
Prabu Yudianto

Prabu Yudianto

Penulis kelahiran Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer marketing. Founder Academy of BUG. Co-Founder Kelas Menulis Bahagia. Fans PSIM dan West Ham United!

ArtikelTerkait

Sampai Kapan Nogkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran?

Sampai Kapan Nongkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran?

1 Desember 2019
Filsuf Adalah Tonggak Peradaban Bangsa dan Kini Mereka di Kedai Kopi terminal mojok.co

Tipe Warung Kopi atau Kafe Berdasarkan Fungsinya

28 Mei 2020
warung kopi

Ke Warung Kopi: Pamitnya Ngopi, Tapi Pesannya Teh Jumbo

28 Mei 2019
Mempertanyakan Coffee Shop yang Mematok Harga Tanggung, Bikin Repot Pembeli Saja Mojok.co

Mempertanyakan Coffee Shop yang Mematok Harga Tanggung, Bikin Repot Pembeli Saja

30 Juni 2024
Janji Jiwa, Raja Kopi Kekinian yang Mulai Ditinggalkan karena Tak Lagi Konsisten

Janji Jiwa, Raja Kopi Kekinian yang Mulai Ditinggalkan karena Tak Lagi Konsisten

10 Juni 2025
kopi mama

Mama, Kopi Memang Pahit

9 Juli 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

26 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025
Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

23 Desember 2025
Derita Jadi Pustakawan: Dianggap Bergaji Besar dan Kerjanya Menata Buku Aja

Derita Jadi Pustakawan: Dianggap Bergaji Besar dan Kerjanya Menata Buku Aja

23 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025
Gak Daftar, Saldo Dipotong, Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life Stres! (Unsplash)

Kaget dan Stres ketika Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life, Padahal Saya Nggak Pernah Mendaftar

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu
  • Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.